Nayala
tersenyum riang. Berjalan pelan melenggak-lenggok seperti biasa. Rasa puas
terpancar dari matanya yang hitam kebiruan, sungguh indah. Dia sesekali melirik
Lovita dan ibunya yang sejak tadi menatapnya, sejak dari belokan di kanan rumah
mereka. Nayala tak perlu cemas dengan tatapan ibu dan anak itu, mereka selalu
bahagia melihatnya pulang apa lagi dengan binar keceriaan menyelimutinya.
Tubuh
Nayala kecil, putih, mulus dan halus. Dia juga gesit dan lincah. Kadang saat
dia malas berjalan memutar melewati gerbang rumah, dia meloncat pagar saja dan
segera masuk lewat jendela samping. Nayala yang selalu dicintai dan disayang
oleh seluruh keluarga Lovita.
***
Tangis
Tari begitu keras. Tangis kecewa dan lapar. Tangis gadis tiga setengah tahun
yang membuat para tetangga iba, jengkel atau mungkin tak peduli lagi. Tapi tangis
itulah yang selalu membuat neneknya bertahan untuk hidup lebih lama, demi
cucunya. Neneknya yang sudah renta berusaha menenangkan cucunya. Mbah Sani
hanya bisa menghibur semampunya. Dia tak kuat lagi untuk menggendong Tari. Tubuh
70 tahunnya yang ringkih tak akan mampu menopang Tari yang menangis
terguncang-guncang. Mbah Sani hanya bisa memangku Tari di dipan kecil reyot di beranda
rumahnya yang miring. Begitulah keadaannya. Miskin. Tak ada yang mudah dalam
kehidupan manusia beda generasi ini. Si mbah yang uzur dan cucunya yang masih
balita di rumah bambu penuh lubang yang hampir roboh.
“Nduk,
maafkan simbah. Simbah tadi tertidur, lupa tidak menindih tompo nasi sama
ulekan batu. Ikan asin Nduk Tari yang simbah goreng hilang.” Tak ada bedanya,
tangis Tari tidak juga mereda. Mana mungkin anak sekecil dia bisa mengerti
alasan neneknya. Dia hanya tahu rasa lapar dan kesal hatinya karena lauk
satu-satunya telah hilang. “Nduk, simbah dulu suka makan nasi sama garam lo. Ini
nasinya simbah kasih jelantah ikan asin tadi ya. Haak Nduk, coba di maem ya.”
Tari membuka mulutnya, bukan untuk makan tapi karena jerit tangisnya. Mbah Sani
tidak peduli, dia masukkan sejumput nasi yang telah dia campur dengan jelantah
bekas dia goreng ikan asin. Tari menutup mulutnya, merasakan nasi dan rasa
gurih seperti ikan di mulut membuatnya sedikit tenang. Si mbah menarik ujung
jarik tapihnya, dia usap air mata cucunya dengan sayang. “Gak popo ya Nduk,
nanti si mbah belikan lagi ikannya.” Si mbah jelas hanya berbohong agar Tari
mau makan. Mana mungkin dia mau membeli ikan asin, dia mau berhutang lagi
sambil bilang nunggu kiriman uang ibunya Tari dari kota untuk membayar.
***
Nayala
pulang dengan senyum sumringah. Berjalan pelan melenggak lenggok seperti biasa.
Senyumnya tak memudar sampai dia masuk ke rumah dan meletakkan sayap goreng di
piringnya. Dia makan dengan lahap. Lovita datang menghampirinya, menatapnya
dengan heran. Lalu dia mengelus manja kepala Nayala dengan sayang. “Makan yang
banyak ya Dedekku. Ini aku kasih susu.” Lovita berjalan ke ruang tamu setelah
menuangkan susu ke gelas kecil Nayala. Tak ada yang lebih indah dari pada melihat
Nayala yang lucu makan dengan lahap, kecuali mungkin jika kekasihnya akan
datang seperti sore ini.
***
Dipan
dari bambu yang bergerak dengan suara keriyat keriyut setiap kali diduduki
adalah satu-satunya perabot yang ada di bagian luar rumah mbah Sani. Dia baru
saja pulang dari sawah. Bukan karena baru saja mengolah tanah tapi untuk
mencari kayu bakar. Kayu apa yang bisa dicari di sawah? Hanya pohon cabe yang
telah dicabut dan dibiarkan kering oleh pemiliknya yang dibawa si nenek ini. Dia
gendong dengan kain di punggunnya yang bungkuk sambil menggandeng tangan kiri
Tari. Gadis kecil ini sedang senang. Di tangan kanannya ada tulang daun Lamtoro
yang ujungnya diikat menjadi satu sehingga berkumpul di tengah. Si mbah bilang
ke cucunya itu adalah wayang-wayangan.
Tari
sedang minum air putih dan gula dari botol. Sambil tidur di atas ranjang tanpa
kasur, hanya beralas tikar pandan dan beberapa potong selimut tua yang kumal. Di
tangan kanannya tetap tergenggam wayang-wayangan dari tulang daun Lamtoro tadi.
Dia senang. Air gula dan rasa capek yang Tari rasakan mungkin yang membuatnya
lebih tenang hingga dia menutup matanya. Tari bermimpi bermain wayang-wayangan
dengan neneknya di atas ranjang itu. Tari yang senang dan si mbahnya yang
berurai air mata.
Mbah
sani merebahkan tubuhnya di atas dipan di serambi. Di bawah kakinya ada
tumpukan pohon cabe kering. Rasa lelah dan lapar mungkin yang membuat matanya
terpejam. Dia bermimpi menggoreng ikan asin dengan kayu pohon cabe yang baru
dia dapat di tungku kecilnya. Cucunya sedang menunggu dibelakangnya dengan nasi
putih di piring, sendok di tangan kirinya dan wayang Lamtoro di tangan
kanannya. Si mbah yang tersenyum dan cucunya yang gembira menunggu ikan asinnya
digoreng. Di mimpinya.
***
Nayala
pulang dengan senyum bangga. Dia berjalan tergesa-gesa tidak seperti biasanya. Dia
melompat ke atas pagar batu bata dan berjalan di atasnya. Sekali lompat dia sudah
ada di depan pintu rumah. Dimulutnya ada anak ayam kecil berwarna putih dengan bulu
hitam halus dibagian sayapnya yang mungil. Lovita dan ibunya melihat kedatangan
Nayala. Mulut mereka terbuka sedikit. Ada rasa tidak percaya dengan apa yang
mereka lihat. Bukan anak ayamnya tapi leher Nayala yang merah dan bulunya yang
tercerabut paksa. Lovita berteriak geram. “Siapa yang melakukannya Dedekku?
Kejam sekali.” “Atau kamu baru saja main cinta dengan pejantan ya?” Ibu lovita
ikut bertanya. Nayala tidak peduli. Ayam kecilnya yang bernafas kembang kempis
lebih menarik dari pada ibu dan anak yang sedang mencemaskan keadaannya. Lalu Lovita
memegang kucingnya, menarik ke pangkuannya dan menyingkirkan ayam sekarat itu. “Kamu
ini. Dari mana lagi kau dapat anak ayam ini Nayala? Kamu ini pasti bikin aib
bagi keluarga lagi.” Nayala mengeong manja sedikit sebal.
***
Suara
tangis Tari tak terbendung oleh pelukan para tetangganya. Suara tangis anak
tiga setengah tahun yang merindukan suara neneknya. Suara tangis gadis kecil
yang menginginkan neneknya mengajaknya makan di dipan reyot depan rumahnya. Tapi
nenek hanya diam di atas ranjang tanpa kasur. Matanya terpejam, alisnya robek.
Mbah
sani sedang letih menyapu lantai tanah dapurnya ketika Tari bernyanyi Garuda
Pancasila, memamerkan hafalan lagunya kepada sang nenek. Lagu Garuda Pancasila
yang biasa dia dengar ketika mau tidur. Si mbah ikut bernyanyi pelan, memberi
kesempatan cucunya memperdengarkan kebolehannya. Lalu suara ribut di samping
pintu belakang itu membuat semuanya terhenti. Si mbah terkejut, tersadar dari
rasa lemas yang menggelayuti tubuhnya. Ada kardus bekas air mineral yang dia
taruh di sana sebagai kandang ayam sementara untuk anak-anak si Blorok, ayam
betinanya. Mbah sani melihat seekor kucing gemuk berwarna putih sedang
mengacak-acak anak ayam itu. Dua ekor digigit mati, dua ekor lari ke bawah rak
piring dan seekor lagi kembang kempis di mulut si kucing. “Kucing kurang ajar.
Hayo pergi… pergi… jangan makan ayame Nduk Tari!” Si mbah ini mengacungkan
sapunya. Tergopoh kakinya melangkah di dalam balutan tapih kainnya, Mbah Sani
mengusir kucing itu. Sayang kakinya tak selincah kucing putih itu, dia terjerat
kain dan jatuh. Sayang tangannya tak segesit kucing itu, tak mampu menopang
tubuh tuanya yang limbung. Dia tersungkur dan pelipisnya menghantam gagang sapu
yang tadi dia pegang. Lalu Tari menangis meminta si mbahnya bangun.
Si
mbah masih terpejam tapi bibirnya tampak berkomat-kamit. Jemari tanganya yang
keriput membelai dahi cucunya. Mereka berdua bernyanyi dalam hening malam. Mereka
berdua sudah hafal rasanya lapar seperti mereka hafal lagu ini. “Pancasila
dasar Negara. Rakyat adil makmur sentosa. Pribadi bangsaku ayo maju maju ayo
maju maju…ayo maju maju”
Supra
D’Ocean
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan dan kesediaannya membaca posting dari blog sederhana ini. Apresiasi anda akan menjadi kesan yang lebih mendalam bagi admin dan pembaca yang lain jika anda berkenan menuliskan komentar atau pertanyaan anda di kolom comment ini. <3 :)