Total Pageviews

Sunday, March 31, 2013

CANDIKALA - SENJA JINGGA




Sore dengan langit jingga selalu menjadi waktu kesukaanku. Saat langit berpendar dengan arakan awan berwarna merah keemasan dan pilar-pilar cahaya yang menembus kumpulan awan yang lebih tebal menghujam ke bawah lalu hilang membias sebelum menyentuh bumi, semuanya begitu menakjubkan. Dikejauhan, di sela-sela pegunungan yang menggelap sisi depannya, mentari sore bergerak perlahan begitu pelan menghilang keperaduannya, menyisakan cahaya jingga kemerahan yang mengintip malu-malu. Mungkin aku terlalu berlebihan, tapi memandang lukisan alam yang begitu menakjubkan ketika melintasi jalan di tengah areal persawahan ini begitu menenangkan, hatikupun terasa ringan melayang. Sejenak aku lupa dengan segala kegelisahan yang akhir-akhir ini begitu akrab dengan diriku.

Aku berdiri di bibir pembatas jalan, melayangkan pandanganku ke hamparan sawah yang ada di bawahku. Padi yang baru mulai tumbuh tampak menggelap, menampilkan ilusi danau beriak tertiup angin. Sore yang jingga, sore yang indah mulai menghilang, digantikan oleh pekatnya malam berangin semilir yang meniup kegelisahan kehatiku lagi. Aku pun beranjak pulang. Rumahku tak jauh dari tempatku sering menghabiskan sore, ‘jalan baru’ kami menyebutnya, walaupun jalan di tengah areal persawahan ini tak lagi baru, 5 tahun mungkin tak kurang usianya semenjak jalan ini diaspal dan menjadi akses alternatif menuju kota. Langkahku pulang diiringi suara adzan maghrib dari surau tua di dekat rumahku. Aku harus bergegas atau aku akan ketinggalan sholat maghrib berjamaah lagi. Aku tidak mau kuping bapakku panas mendengar bisik-bisik tetangga yang menggunjing tentang anak lelakinya yang tidak rajin ke surau, pulang main-main tidak penting dan lupa sholat. Tinggal di desa kecil di daerah pedalaman yang kultur budaya religiusnya begitu kental haruslah selalu sholat berjamaah di surau atau masjid, kalau tidak bersiaplah menjadi bahan gunjingan tetangga.

Aku berusia 16 tahun, tapi aku masih kelas 3 SMP padahal teman-temanku sudah kelas 1 SMA. Aku pernah tidak naik kelas waktu SD jadi aku tertinggal satu tingkat dari teman-temanku. Aku tidak pernah menyesali ketidaknaikkanku itu. Ibuku selalu bilang, aku tidak boleh terlalu menyesali sesuatu. Penyesalan selalu datang diakhir, jadi kata ibu, sebelum penyesalan itu datang aku harus berusaha keras dan berdoa kepada Allah agar segala sesuatunya dilancarkan. Akan tetapi jika kenyataan tidak seperti yang aku harapakan, itu bukan karena aku gagal tapi karena Allah punya rencana lain untukku. Jadi jangan pernah menyesal apa lagi menyerah. Itulah ibuku, perempuan sederhana yang berprinsip dan penyayang. Aku juga tak akan menyesal karena tertahan satu tahun di SD waktu itu. Aku tidak naik bukan karena aku bodoh tapi karena aku dulu sakit tifus sampai 2 bulan lalu guru kelas 3 ku tidak menaikkanku dengan alasan terlalu banyak pelajaran yang aku lewatkan.

Bapakku seorang petani. Beliau pendiam dan pemikir. Tak banyak yang bapak ucapkan jika memang tidak perlu tapi menurutku bapak kadang bicara banyak juga. Bapak bicara banyak atau bercerita hanya kepada orang yang beliau kenal baik, orang yang akan setia mendengarkannya tanpa banyak menimpali hal-hal yang tidak disukainya. Siapa lagi kalau bukan dengan ibuku. Aku tahu karena ibu sering memperingatkanku untuk tidak boros, untuk rajin sholat, belajar dan bergaul yang benar dan itu semua kata beliau adalah atas suruhan bapak. Bapak juga tidak marah-marah atau mengata-ngataiku dengan hal-hal yang buruk, tapi jika beliau sudah terlanjur emosi dan tak tahan maka beliau akan langsung bertindak. Aku masih ingat, waktu itu bapak melepaskan sandalnya dan melemparkannya kepada ku gara-gara beliau menyangka aku mengganggu adikku sampai menangis. Padahal adikku menangis gara-gara temanku yang menjahilinya. Aku lari ke tegalan di belakang rumah dan sampai takut mau pulang.  Sejak saat itu aku berjanji untuk tidak membuatnya marah. Meskipun saat itu ketika aku mengendap-endap pulang beliau telah menungguku di samping kamar mandi, tempat yang pasti akan aku tuju karena hari telah sore dan aku harus mandi. Bapak menungguku dan memandikanku. Aku tahu bapak menyesal telah melempariku dengan sandalnya walaupun tidak kudengar beliau meminta maaf padaku tapi aku tau dari sorot matanya ketika menungguku dan membelai kepalaku yang dikeramasinya dengan lembut. Aku masih ingat saja kejadian itu walau sudah lama berselang, ketika aku duduk dikelas 2 SD.

Bukankah tadi aku bilang kalau akhir-akhir ini aku gelisah? Aku ingin menceritakannya padamu. Aku juga akan memberitahu kalian kenapa aku suka menghabiskan waktu soreku di jalan baru tengah sawah itu.
***

Maya adalah teman sekelasku. Dia tinggal di lain desa dan aku hanya berjumpa denganya di sekolah. Maya duduk di depanku dengan Dika, bendahara kelas. Maya anaknya pemalu. Sering kali ketika guru kami memberinya pertanyaan dia menjawab tanpa berani menatap langsung sang guru. Begitu pula ketika teman-teman menggodanya, dia hanya tersipu, menahan senyumnya dan memerahlah pipinya. Berbeda dengan Dika yang lebih pemberani. Mungkin dia adalah siswa perempuan yang paling berani di kelasku. Dia tak segan memprotes guru yang sering terlambat bahkan menantang panco guru olah ragaku. Mereka begitu kontras.

Setiap hari aku melihat maya dari belakang. Aku senang melihat rambutnya yang bergelombang sebahu. Aku suka memandangi punggungnya, entahlah aku suka saja. Rambutnya harum dan pakaiannya segar, menghirupnya dari belakang ketika ada angin yang bertiup membuatku bersemangat belajar. Tapi aku paling suka ketika melihat dia tersenyum dan pipinya merona. Dia manis.

Tapi seminggu ini aku belum melihat dia tersenyum. Dia tampak lebih pendiam walaupun biasanyapun dia tidak banyak bicara. Tapi aku tahu dia murung. Aku bukan teman dekat Maya tapi karena aku selalu duduk di belakangnya maka aku tahu ada yang tidak biasa dengannya. Saat bel istirahat berbunyi anak-anak berhambur keluar. Membeli makanan ringan atau minuman di kantin adalah hiburan. Aku tidak punya banyak uang jajan. Kadang jika ibu punya uang lebih aku diberinya uang saku tapi jika tidak aku juga tidak meminta. Aku cukup sarapan saja di rumah. Biar Ijal, adikku yang mendapat uang saku. Hari ini ibu memberiku 500 rupiah. Aku sudah akan berjalan melewati pintu ketika aku menyadari hanya Maya yang tidak keluar kelas. Dia tampak malas memasukkan bukunya ke dalam tas, tatapannya kosong. Aku mengurungkan niatku. Aku berjalan kearah bangkunya dan bertanya, “Ada apa Ya? Kok sepertinya dari tadi diam saja. Sakit ya?” “Eeh.. Wan, aku tidak apa-apa. Malas saja rasanya.” “Kok tumben malas. Apa tidak ingat kata pak Agus, kelas tiga gak boleh malas ujian sudah dekat,” kataku tidak percaya mendengar jawaban Maya. “Itu dia. Andaikan saja ujian masih jauh... Kamu kalau mau beli makanan beli saja. Aku gak apa-apa kok.” “Iya. Kalau beneran tidak apa-apa ya sudah. Kalau perlu bantuan bilang saja jangan sungkan ya” Aku sebenarnya heran mendengar Maya berkata seperti itu. Tidak biasanya siswa sepintar seperti Maya mengeluh tentang ujian. Aku saja sudah tidak sabar untuk bisa sekolah di SMA, artinya aku bisa lebih sering pergi ke kota Kabupaten. Tapi entahlah, aku pergi keluar kelas ke perpustakaan sekolah.

Betapa rapuh hati ini saat melihat orang yang kita cintai sakit. Begitu pula dengan temanku yang manis, Maya. Ibunya sakit-sakitan sejak melahirkan adiknya dua tahun yang lalu. Aku tahu ibu Maya sakit karena aku melihat Maya, ibunya, ayahnya dan seorang lelaki naik sebuah mobil sedan berwarna biru telur bebek melintas di jalan baru ketika aku sedang duduk di pinggir sawah petang itu. Kira-kira dua minggu yang lalu. Mobil itu melintas cukup pelan karena memang aspal di jalan itu sudah tidak rata lagi. Aku melihat ibunya bersandar lemas di bahu suaminya dan Maya memijit lengan ibunya. Ketika aku tahu ada Maya di dalam mobil itu, aku berdiri agar bisa melihat siapa saja di sana. Aku sempat melihat maya memandangku tetapi ketika mobil itu semakin mendekati tempatku berdiri, Maya membuang mukanya dariku. Aku tidak tahu kenapa. Keesokan harinya, di sekolah aku bertanya kepadanya tentang apa yang kulihat kemarin sore. Benarkah itu dia. Maya menjawab benar. Mereka mengantar ibu ke Puskesmas untuk dirawat di sana. Kondisinya tiba-tiba drop setelah pulang dari ziarah Wali Songo. Aku juga bertanya siapa lelaki yang mengemudikan mobil itu tapi Maya tidak mau menjawab. Dia pergi dengan alasan ada keperluan dengan temannya di kelas lain.

Aku tidak pernah berpikir macam-macam tentang hal yang tidak jelas tapi kejadian sore itu mau tak mau membuatku penasaran juga. Itu adalah sore keempat setelah aku melihat Maya mengantarkan ibunya ke Puskesmas. Apalagi akhir-akhir ini ada yang berubah dari sikapnya. Sore itu, ketika aku sedang duduk di pinggir sawah seperti hari-hari biasa. Menatap langit sore yang jingga, mengingat kata-kata Bapak ketika aku masih kecil bahwa langit sore yang seperti ini namanya Candikolo. Aku juga tidak tahu apa maksud dari istilah itu tapi Bapak bilang pada saat langit sore jingga keemasan dan awan bercahaya, itu menandakan bahwa gerbang kerajaan langit sedang dibuka untuk mengizinkan para bidadari masuk kembali ke istana. Aku begitu tertarik dengan sepenggal cerita yang Bapakku biasa katakan ketika mengajakku duduk-duduk di teras depan rumah. Aku selalu ingin tahu di mana letak istana itu dan seperti apa bidadari itu tapi Bapak bilang itu mustahil karena jika kita berlama-lama melihat Candikolo sampai Adzan Maghrib berkumandang kita bisa diculik raksasa. Oleh karena itu sebelum gelap tiba kita harus segera pergi ke surau.

Ya, sore itu senja jingga, Candikolo sedang terpampang di langit Tuhan. Aku tidak mau melewatkannya maka aku pergi ke jalan baru untuk menikmati pemandangan itu. Selang lima belas menit aku duduk di pembatas jalan, aku melihat mobil sedan warna telur bebek itu lewat. Mobil itu berjalan perlahan kearah utara. Aku ingat itu adalah mobil yang membawa ibu Maya ke Puskesmas. Pandanganku kualihkan ke mobil itu. Aku melihat lelaki dewasa berusia sekitar 30 tahunan mengemudi dan seseorang lagi sedang duduk di kursi sebelahnya. Dia tidak memandang ke depan ataupun ke arahku. Seseorang itu sepertinya tidak ingin aku tahu siapa dirinya tapi aku tahu siapa dia. Dia adalah gadis berambut sebahu. Maya, siapa lagi.

Semakin hari aku semakin merasa suka dengan Maya. Mungkin aku sedang jatuh cinta tapi aku tidak mengatakannya. Bukan aku tidak berani tapi aku merasa ini adalah perasaan yang aneh tapi sekaligus menyenangkan. Aku tidak tahu harus berbuat apa setelah aku mengatakan kalau aku menyukainya. Yang aku tahu, jika seorang lelaki menyukai seorang perempuan maka tidak lama kemudian mereka akan menikah. Seperti Mas Ahmadi tetanggaku dan mbak Karmila dari desa sebelah. Aku tidak mungkin menikah setelah lulus SMP, aku ingin sekali bersekolah lagi. Tapi hari ini aku tidak bisa tinggal diam. Di kelas, wali kelasku memanggil Maya ke depan. Beliau bertanya dengan suara pelan ke Maya tapi aku bisa membaca dari bibirnya apa yang Ibu wali kelas tanyakan. Beliau menanyakan tentang uang LKS sebesar Rp. 105.000 yang rupanya belum dibayar oleh Maya padahal semua teman sekelas telah melunasinya. Maya tampak hanya tertunduk diam. Aku tidak tahu apa yang dia katakan karena dia berdiri membelakangiku.

Pada jam istirahat, ketika teman-teman yang lain pergi ke kantin aku berhenti di samping bangku Maya. “Kamu belum bayar uang LKS ya?” tanyaku. Dia tampak terkejut lalu berkata, “Iya belum, belum ada uang.” Aku agak heran dan tidak percaya mendengar jawaban itu. “Kamu kan tahu kalau akhir minggu ini adalah batas pembayarannya dan ini juga sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian akhir. Bagaimana nanti?” tanyaku kepada Maya. “Aku tahu Wan, besok aku bisa bayar kok. Hari ini hanya lupa tidak bawa saja.” “Apakah benar seperti itu? Jika kamu butuh bantuan mungkin aku bisa meminjamimu sedikit. Aku ada tabungan atau pinjam ibuku.” “Tidak, tidak Wan. Jangan, terima kasih. Kamu tidak perlu melakukan itu, aku sebenarnya ada uang kok.” Keherananku bertambah, “Lalu kenapa tidak segera kau bayar? Aku tidak percaya jika kamu lupa atau tidak punya uang atau ayahmu belum memberimu. Jika benar orang tuamu belum punya uang, paman atau saudaramu yang punya mobil itu pasti bisa meminjamimu kan?” aku tidak menyangka jika kalimat yang aku ucapkan tanpa pikir panjang ini akan membuat suasana berubah drastis. Aku melihat perubahan ekspresi di wajah Maya, dia tampak lebih tegang dan sedih. “Wan, itu bukan pamanku atau saudaraku,” kata Maya dengan suara bergetar. “Aku lebih suka tidak lulus dari pada harus meminta uang kepadanya.” Matanya sekarang berkaca-kaca dan aku jadi bingung. “Ada apa Ya? Lalu dia siapamu?” “Sudahlah Wan, aku tidak ingin membicarakannya.” “Tapi aku peduli denganmu May, aku tidak ingin kamu mendapat masalah sehingga kamu tidak lulus. Aku ingin bisa bersekolah lagi sama-sama kamu.” Maya memandangku dengan ekspresi terkejut tapi dia tidak berkata apa-apa. Beberapa teman masuk ke kelas membawa makanan dan minuman mereka, aku menghentikan percakapanku dengan Maya.

Sore itu tidak ada Candikolo, langit sore gelap karena mendung tebal. Aku tidak pergi ke jalan baru karena memang hujan tampaknya akan turun. Aku sedang membantu Ijal mengerjakan PR nya ketika ibu datang dan berkata, “Wan, anak perempuan Bu Aminah yang tinggal di desa sebelah itu teman satu sekolahmu ya?” “Anak Bu Aminah? Siapa ya Bu?” “Itu yang rumahnya dekat Balai Desa. Dia agak sering sakit-sakitan setelah melahirkan.” Aku ingat sekarang, “Oh, mungkin itu ibunya Maya. Iya anaknya teman sekelas Wawan. Ada apa Bu kok tiba-tiba bertanya tentang dia?” “Maya ya namanya,” ibuku bertanya tapi lebih ke dirinya sendiri, aku tidak perlu memberinya jawaban. “Anaknya cantik ya Wan?” Aku tertawa mendengar ibu yang tiba-tiba bertanya seperti itu. “Hmm ya cantik bu, manis. Memang kenapa bu? tanyaku lagi. “Ibu dengar dari ibu-ibu di Jamaah Yasinan, si Maya itu mau dinikahkan selepas lulus dari SMP ini.” Kata-kata ibu sangat mengejutkanku. Aku terbelalak tidak percaya mendengar apa yang ibu katakan. “Yang benar bu?” “Ibu juga kurang tahu, Wan. Kata ibu-ibu dia akan dilamar sama Deni anaknya Pak Abu pemilik toko bangunan di desa situ.” Percakapan kami terputus sampai disini karena kudengar suara Bapak memanggil Ibu dari dapur. Aku tiba-tiba merasa lemas. Perasaanku tidak enak sekali. Aku tidak tahu kenapa tapi hal ini kurasakan setelah aku mendengar bahwa Maya mau dinikahkan. Ada perasaan tidak rela yang sulit untuk aku jelaskan.

Hari ini Maya tidak masuk sekolah, di papan absensi tertulis izin. Aku jadi menduga-duga kalau acara lamaran itu berlangsung hari ini. Rasanya sungguh tidak adil bagi Maya dan akupun turut geram membayangkannya. Tapi siapa tahu, Maya juga menghendakinya. Sore ini aku membawa sepedaku ke jalan baru, ke tengah areal persawahan tempat aku biasanya menghabiskan sore. Aku mengayuh sepedaku cepat-cepat. Pukul setengah lima tapi hari sudah mulai gelap. Mungkin senja berwarna jingga akan muncul. Dari kejauhan aku melihat seseorang duduk di pembatas jalan yang bisanya aku gunakan untuk duduk. Aku penasaran siapa yang telah merebut tempat favoritku itu. Semakin dekat semakin jelas siapa yang terlihat disana. Gadis berambut sebahu dan sepeda jengki berwarna gelap. Jantungku berdegup kencang, mungkin karena aku terengah-engah mengayuh sepedaku terlalu kencang atau mungkin saja karena hal lain. “May, kenapa kamu ada disini?” Dia tersenyum sebentar lalu kembali memandang gunung di barat sana, ke semburat jingga keemasan yang mulai merebak. “Aku tahu sekarang kenapa kamu suka ada di sini hampir setiap sore Wan. Aku melihatmu beberapa kali ketika melewati tempat ini tapi kamu tidak mempedulikan jalanan yang ada di belakangmu. Sore di sini begitu indah.” “Iya aku suka melihat langit di sini. Candikolo itu selalu membuatku tertarik sejak aku masih kecil. Tapi kenapa kamu tumben kesini? Tadi pagi kamu juga tidak masuk sekolah.” Maya menjawab pertanyaanku tanpa memandangku, “Iya, aku juga ingin menikmati hari-hari terakhirku di SMP. Aku tahu tempat ini bagus jadi aku kesini.” Aku jarang sekali mendengar Maya berbicara sebanyak ini, dia biasanya pendiam. “Aku tidak masuk sekolah hari ini karena dilamar sopir sedan biru itu.” Kata-kata Maya begitu tajam. Suaranya terdengar menahan luapan emosi. Aku hanya diam. “Aku akan segera menikah Wan. Kamu tidak akan melihatku di SMA manapun. Menikah.” Suara Maya tidak setajam tadi, aku mendengar getaran di suara itu. Getaran kegetiran dan ketidakrelaan. “Kenapa Ya? Kamu tidak suka bersekolah? Itu juga alasanmu tidak segera membayar kan?” “Aku sangat ingin bersekolah Wan, tapi orang tuaku memintaku untuk berhenti sampai SMP saja. Tak baik menolak pinangan orang, itu kata mereka” kata Maya menahan tangis. “Kamu tidak bisa menolaknya?” tanyaku. “Aku sudah pernah menolaknya tapi Ibuku berkata ini adalah pemintaannya yang terakhir, Wan. Ibuku sakit-sakitan, beliau ingin melihatku berumah tangga sebelum Allah memanggilnya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa mendengar Ibu berkata seperti itu. Bapakku pun setuju saja. Aku tidak punya pilihan lain.” Kami berdua berdiri terdiam. Memandang langit yang sekarang bercahaya keemasan dan awan yang merah kekuningan. Lalu aku memecah kesunyian itu, “Aku harus mengucapkan selamat atau apa ke kamu Ya? Jika saja aku sudah dewasa, aku ingin membantumu. Tapi sekarang ini akupun tak tahu harus berkata apa atau berbuat apa untuk membantumu. Itupun jika kamu benar-benar membutuhkan bantuan.” “Kamu tidak perlu melakukan apa-apa, Wan. Aku bahagia sekali bisa berada di sini melihat pemandangan ini bersamamu. Ini cukup membantuku.”

Lalu suara sedan kecil warna biru telur bebek itu terdengar berhenti. Aku menoleh dan melihat lelaki itu keluar dari mobilnya. Dia memanggil Maya, setengah berteriak marah karena melihat calon istrinya bersama lelaki lain di pinggir sawah pada jam seperti ini. Maya berbalik, dia berjalan menuju ke sepedanya. Dinaikinya sepeda itu lalu dia beranjak. Aku masih mendengar dia berkata ‘terima kasih, Wan’ sesaat sebelum mobil itu mengiringinya. Aku kembali melihat ke langit di barat sana. Cahaya jingga mulai meredup menghilang dan bidadari telah pulang ke istananya. Aku mendengar sayup suara Adzan Maghrib dari surau dekat rumahku. Akupun harus pulang.

By Supra D’Ocean