Total Pageviews

Sunday, February 24, 2013

I'm alright. It just hurts every time I take a breath


Aku menertawakan cinta bukan karena dia lucu, tapi betapa cinta mampu menertawakan kita. Manusia yang terkena panah asmara hingga cinta berkobar di dadanya mampu berbuat apa saja. Menjadi pemberani, menjadi pemberontak, menjadi ceria, menjadi gila, menjadi hidup, menjadi mati ataupun menjadi konyol. Dan apa yang dilakukan cinta saat sang korban bergulung-gulung dalam kenikmatannya, lari pontang-panting mengejar cintanya atau duduk terpekur dalam tangis meratap akan nafas cintanya? TERTAWA. Apalagi? Kau pikir dia akan sedih atau bergembira menari-nari? Tidak, dia hanya tertawa saja. Dari pada cinta saja yang menertawakan kita, izinkan aku untuk menertawakan cinta juga. Mungkin lebih tepatnya si Cupid, dewa asmara. Tawaku mungkin tawa sinis. Biarlah. Kau yang bahagia karena cinta, berbahagialah. Kau yang menderita karena cinta, tertawalah bersamaku. Tapi jangan sangka aku juga sedang merana sepertimu. Aku menertawakan Cupid dan panah cintanya karena dirinya sendiri diciptakan buta dan tanpa kekasih. Saat dia mencoba memanah jantungnya agar cinta datang padanya, matilah dia. Tapi aku juga tidak yakin apa yang dirasakannya selama ini. Mungkinkah dia kesepian, atau mungkinkah dia bahagia karena melihat manusia bercinta. Tapi yang pasti dia juga sedih karena ada begitu banyak cinta yang kandas. Yang tak aku harapkan hanya satu. Cupid adalah dewa tanpa perasaan. Tapi mungkin saja kan… lalu yang berikut ini adalah cinta yang seperti apa. Cupid kah yang membuat cinta segi tiga, segi empat dan cinta terlarang? Lalu seseorang berkata, “cinta itu hanya hati saja yang bisa merasakan. Cinta itu buta. Cinta itu anugerah. Dan lain-lainnya.” Tak ada yang salah, siapapun berhak memaknai cinta mereka sendiri-sendiri tapi jangan sok tau dengan cinta orang lain.

Halooo….? Siapa Cupid? Siapa dewa cinta? Ada berapa Cupid? Jangan memikirkannya terlalu dalam. Aku tahu di agamaku tidak ada dewa dan aku tak tahu kamu percaya akan dia atau tidak. Sebenarnya aku hanya ingin tertawa saja. Aku heran, kenapa juga aku minta izin kalian untuk menertawakan cinta. Sebelum aku meneruskan cerita ini, jawab dulu satu pertanyaanku. Jika kamu menjawab iya, lanjutkanlah membaca. Jika tidak, aku tidak akan memaksa.
Apakah kamu mencintaiku?
Lalu aku tertawa berderai-derai menertawakan pikiranku yang kacau. Baiklah aku mulai saja.


           
             Cinta pertama Intan datang saat dia duduk di kelas dua SMP. Saat itu dia merasakan degup aneh di dadanya. Duduk di kelas yang sama dengan Satria, melihatnya bercanda, tertawa dengan teman-temannya atau melirik dia saat serius belajar adalah sebuah debar menyenangkan. Intan tidak tahu harus menyebut apa perasaan itu. Dia hanya menikmati setiap saat menatap Satria bergerak memenuhi relung-relung hatinya hanya karena kejadian-kejadian kecil di kelas atau di sekolah.
            Suatu hari, Pak Sujito, guru Bahasa Inggris Intan meminta murid-muridnya untuk membentuk kelompok. Setiap siswa bisa memilih kelompoknya sendiri asal tidak lebih dari 4 orang. Intan bukan siswa yang akan bergerak cepat memilih teman kelompoknya. Dia akan duduk dan ikut teman sebangkunya, Ambar, dimanapun dia akan membentuk kelompok. Tapi tidak untuk hari itu. Ambar telah bergabung dengan teman-teman yang lain dan tidak ada lagi kursi untuknya. Kelas hanya menyisakan Intan dan Putri, siswa tanpa kelompok. Tanpa diduga-duga Pak Sujito berkata, “Intan dan Putri silakan pilih untuk bergabung dengan kelompok Arga atau Dewi. Tidak masalah ada dua kelompok dengan lima anggota.” “Arga atau Dewi,” batin Intan. “Di kelompok Dewi sudah ada 4 siswa dan mereka adalah siswa-siswa yang rajin dan pandai, pasti akan sangat menguntungkan jika bergabung dengan mereka. Tapi di tempat lain, di kelompok Arga, ada Satria yang sedang tersenyum manis sekali, betapa senangnya hati ini bila bisa menatap dia dari dekat,” Intan berkata pada dirinya sendiri dalam diam. “Mana yang harus ku pilih? Kelompok Dewi yang pandai atau dekat Satria yang membuatku berdebar-debar. Aku mungkin akan mendapat nilai bagus jika bekerja kelompok dengan Dewi, Sinta, Ardi dan Joni tapi ini kan kesempatan langka bisa duduk dengan Satria yang mungkin hanya sepersekian ratus bisa terjadi lagi,” batin Intan terus menimbang. “Baiklah aku memilih Satria saja.” Tapi Putri telah duduk diantara Rani dan Satria. Terlambat. Intan tidak sedih akan hal itu, dia hanya tersenyum, menertawakan pikirannya yang konyol beberapa waktu yang lalu.
            Perasaan itu tidak berkurang sedikitpun, Intan hanya butuh melihat dan ada di sekitar orang yang dia sukai untuk membuatnya bahagia. Perasaan yang begitu sederhana untuk seorang gadis remaja. Hingga akhirnya, dekat saja tidak cukup untuk Intan. Hingga dekat saja mampu membuat matanya kabur akan tangis. Saat itu adalah saat mereka kelas 3 dan Satria telah mempunyai Dini sebagai orang yang mampu membuatnya bahagia. Kata olok-olokan teman, mereka resmi pacaran.
            Mungkin Cupid memanah jantung Intan dengan mata panah dari jantung Satria tapi Cupid tidak memanah Satria dengan anak panah dari jantungnya. Panah Dini telah menancap di dada Satria dan Cupid memanah Dini juga, meninggalkan Intan dengan segunung perasaan getir. Getir adalah kata yang tepat untuk 1 ton cemburu yang diredam dengan sepotong senyum penghibur lara. Intan menghabiskan satu tahun terakhirnya di bangku lanjutan pertama itu dengan segunung kegetiran dalam hatinya.
            Hingga kelulusan sekolah tiba Intan masih menyimpan rasa itu sendiri. Dia mungkin tidak berharap banyak tapi apa daya ketika senyum dan tawa Satria masih tetap membuatnya bergetar. Bukankah dari awal memang hanya itu saja yang membuat Intan bahagia. Dia menolak mengatakan dirinya jatuh cinta waktu itu. Tuhan mungkin sedang menggodanya, melihat namanya ada di bawah peringkat kelulusan Satria benar-benar membuat Intan meledak dalam kesenangan aneh. Satria nomor 10 dan dia berada di peringkat 11 sekolah. Meninggalkan Dini di nomor 20 adalah anugerah yang pantas dia dapat karena telah begitu sabar menghadapi semua perasaan tak terungkapnya. Mungkin saja ini yang namanya pembalasan rasa akan kekalahannya terhadap Dini. Dia puas dengan alasan yang tidak begitu jelas tapi dia cukup senang. “Tan, kamu rangking 11, aku 1 poin di atasmu haha. Tapi selamat ya. Kamu memang selalu dekat-dekat dengan rangking ku dari dulu,” tanpa diduga Satria berkata seperti itu pada Intan. Dalam himpitan siswa yang saling berjejal membaca pengumuman, Intan merasa tangannya diraih dan ditarik seseorang. “Sudah lihatkan? Ayo minggir saja dari pada kegencet teman-teman,” orang itu adalah Satria lagi. Apa ini? Kenapa Intan begitu senang. Karena peringkat kelulusannya atau karena tiba-tiba Satria begitu dekat dengannya. Intan hanya bilang, “Selamat Sat. Kita sudah lulus.” Kita? Kita? Kita ….. “Hai Din, 20 besar gak buruk. Selamat ya kita lulus. Kita jadikan ke SMA 1?” suara Satria memecah euphoria kurang ajar dalam pikiran intan. Dia mendengar kata ‘kita’ dari mulut Satria tapi itu bukan Satria dan Intan, itu Satria dan Dini. Intan menjauh dan bergabung dengan teman-temannya yang lain. Dia tidak pantas menangis cemburu melihat dan mendengar Satria membuat rencana masa depannya dengan Dini. Hari ini terlalu berharga untuk sebuah pikiran yang bodoh apa lagi menangis konyol. “SMA 1. Aku juga akan kesana.”
            Waktu, tempat dan orang bisa berubah dan pasti akan berubah tapi perasaan Intan tentang sosok Satria belum juga berubah. Waktu telah membawanya setahun lebih tua, dan tempat telah memisahkan jarak kursinya beberapa puluh meter dari Satria. Selain itu, Novan juga telah menemaninya selama setahun belakangan. Novan yang senyumnya tidak semanis senyum Satria, Novan yang sikapnya tak selembut sikap Satria, Novan yang tak sepintar Satria. Tapi dia adalah Novan yang terus keras kepala untuk mendekatinya meski Intan tak acuh padanya. Novan yang mengajak Intan melihat dunia baru dan Novan yang akhirnya menjadi kekasih Intan tanpa tahu bagaimanan sejatinya perasaan Intan padanya. Mungkin kali ini Cupid hanya memanah jantung Novan. Cupid yang semakin lama semakin terbukti tak berperasaan.
            Dunia ini adalah tempat dimana dunia-dunia lain berada. Di dunia ini ada dunia percintaan yang begitu sulit dipahami. Di dunia ini juga ada dunia mistis yang begitu misterius. Dan di dunia ini ada dunia Intan dan Novan serta dunia khayal Intan dan Satria. Dunia Intan dan Novan adalah dunia cinta palsu yang dipertahankan. Cinta palsu yang suatu saat mungkin juga akan berubah menjadi cinta yang sebenarnya.
            Novan adalah lelaki yang sangat menyukai dunia tari Jaranan atau sering disebut Kuda Lumping. Tari yang mempunyai aura mistis di tiap gerakannya dan ritual-ritualnya. Entah bagaimana awalnya, Intan pun ikut serta di dalamnya. Dia menjadi salah satu penari kuda lumping di ekskul sekolahnya. Intan tidak menyadari bahwa keikut sertaanya di ekskul tari ini akan merubah sesuatu dalam sejarah hidupnya. Dia selalu datang dan berlatih bersama Novan di sekolah. Novan sendiri adalah sosok yang begitu serius di bidang ini. Novan adalah ketua kuda lumping di sekolah mereka. Kecintaannya akan kuda lumping membawanya menjadi penari yang handal yang mampu menebar pesona mistis pada para penontonnya, tak terkecuali Dini. Dini sering mengajak Satria untuk bergabung dengan kelompok tari ini tapi dia menolak. Satria hanya mengantar Dini melihat latihan tari anak-anak ekskul kuda lumping. Di antara penari-penari itu ada Intan yang gerakannya semakin hari semakin seperti penari yang kerasukan. Hingga suatu hari hal yang tak terduga terjadi.
            Hari itu adalah Jumat sore. Anak-anak ekskul kuda lumping mulai berlatih pada pukul 3. Novan, Intan dan yang lainnya telah bersiap untuk latihan sore itu. Sebuah lomba Jaranan tingkat kabupaten akan diadakan bulan depan. Mereka akan tampil mewakili sekolah mereka, unjuk kebolehan untuk suatu predikat grup Jaranan terbaik tingkat kabupaten kota. Latihan telah berlangsung selama setengah jam ketika Intan melihat Satria datang bergandengan tangan dengan Dini. Satria tampak begitu bahagia, dia tertawa dan sesekali mengangguk-angguk. Dini juga tampak bahagia. Dia tersenyum manis, tangannya menggenggam erat tangan kekasihnya. Intan ingat bagaimana rasanya ketika setahun lalu Satria mengandeng tangannya dan menariknya keluar dari kerumunan anak-anak SMP. Tangan yang hangat, tangan yang mampu membuat Intan merinding tak mampu berkata-kata. Perasaan yang terlalu berlebihan untuk sebuah sentuhan yang sangat singkat waktu itu. “Tan, yang serius dong. Kok tiba-tiba gak konsen? Kamu capek ya?” pertanyaan Novan membawanya kembali ke dunia nyata. “Eh.. eh.. enggak. Maaf ya. Cuma kepikiran sesuatu saja.” “Kalau tidak enak badan bilang ya. Kamu bisa istirahat dulu hari ini.” “Aku tidak apa-apa. Mari kita lanjutkan lagi,” Intan menenangkan Novan.
            Intan memang kembali menari tetapi sudut matanya tak pernah lepas dari Satria dan Dini. Perasaan cemburu tiba-tiba muncul di hatinya. Kemarahan mulai menguasai tiap gerakannya. Suara gamelan yang ditabuh untuk mengiringi tarian mereka terasa menghentak-hentak di dalam kepala dan dadanya. Lalu kejadian itu membuat kesadarannya hilang. Saat Dini memandang kearah lain, Satria meletakkan ujung jarinya di dekat pipi Dini lalu dia memanggil gadis itu. Dini menoleh dan telunjuk Satria menekan pipi Dini. Dini berteriak kecil lalu pura-pura marah memukul-mukul tangan Satria. Lalu Satria merangkul Dini menenangkannya. Hal itu seakan menyulut sumbu cemburu dan sakit hati di diri Intan. Perasaan sakit dan marah yang mengiris-iris hatinya membuat matanya mendelik lalu hawa panas itu merasuk lewat telinganya. Sesaat setelah itu dia telah menjerit, “Aaaaaa aaaa arrgh… ha ha ha.” Intan kesurupan.
            Intan roboh di tanah berumput. Tangannya menegang, jari-jarinya melengkung seperti cakar binatang buas. Matanya melotot dan dadanya naik turun seperti orang sesak napas. Novan segera berlari menghampirinya. Baginya, hal seperti ini bukan hal yang baru di kesenian tari kuda lumpingnya. Tetapi apa yang dialami intan berbeda. Biasanya yang kerasukan saat menari akan tetap menari bahkan gerakannya akan semakin menghebat, tapi tidak dengan Intan. Dia roboh dengan kondisi yang memilukan. Dia seperti mau menangis tapi dia juga mengeluarkan suara geraman orang yang marah. Suasana menjadi kacau. Satria kaget sekali melihat Intan yang begitu berbeda. Dia memang tidak suka melihat teman perempuannya itu ikut ekskul ini. Tapi demi Dini yang begitu tertarik dengan tari Jaranan, dia rela menemaninya melihat latihan-latihan mereka. Dini ketakutan. Dia mencengkeram lengan Satria.
            Novan dan guru tari mereka mencoba mengangkat Intan ke tempat yang lebih teduh tapi Intan berontak. Kekuatannya seolah-olah telah bertambah berlipat-lipat. Mereka tidak mampu mengangkat Intan. Satria dan Dini berjalan mendekat untuk melihat keadaan Intan. Mereka berdua tampak tegang dan was-was. Melihat Intan yang nafasnya semakin tersengal-sengal dan tangannya yang terentang kaku membuat Satria khawatir akan keselamatan temannya itu. Lalu tiba-tiba intan memandangnya. Lalu kearah Dini. Dini menjerit ketika matanya saling bertemu dengan Intan. Tanpa diduga, Intan bangkit lalu menerjang kearah Dini. Satria menghalangi dengan tubuhnya. Intan tetap menerjang, dia merangkul tubuh Satria dari depan dan mencengkeram badan Dini yang berada di belakang. Satria yang berada diantara dua gadis ini kebingungan. Dia memegang bahu Intan lalu mengguncangnya, “Tan, Intan, sadar Tan. Sadar Tan. Kamu menakutiku. Kenapa Tan? Jangan sakiti Dini.”
            Dini yang dicengkeram Intan dari balik tubuh Satria tiba-tiba lemas. Dia roboh. Matanya melotot, tangannya terentang dengan jari-jari melengkung seperti cakar. Dini kerasukan. Novan mendekati Dini. Dia memegang tangan Dini, meluruskannya dan melemaskan jari-jari Dini yang melengkung. Dirapalnya mantra khusus untuk mengusir setan yang merasuk ke dalam tubuh Dini, dibisikkannya mantra itu ke telinga Dini lalu ditekan telapak tangannya. Novan melakukan gerakkan seolah-olah menarik sesuatu dari tangan tersebut tapi lagi-lagi hal aneh terjadi. Novan terlempar ke belakang, sebuah kekuatan yang tak terlihat mendorong tubuh Novan menjauh dari Dini dan Intan.
            Di samping Dini, Satria masih dicengkeram oleh Intan. Tubuh kaku intan seolah-olah enggan lepas dari tubuh Satria. Pemandangan itu sangat kontras dengan keadaan sekitarnya jika dilihat dari jarak agak jauh. Orang-orang akan mengira bahwa Intan sedang menangis dalam pelukan Satria. Tapi memang itulah yang terjadi saat ini. Perlahan tubuh Intan melemas, dia melepas pelukannya pada Satria lalu dia terduduk lemas. Satria merebahakan Intan ke tanah. Intan masih tak sadarkan diri, matanya setengah terbuka setengah terpejam dan nafasnya kembali sesak. Paru-parunya tampak kesulitan menyedot udara sehingga tiap kali dia menarik nafas dadanya terangkat. Keadaan Dini tidak lebih baik, dia juga tampak sesak dan tubuhnya mengejang. Satria benar-benar tak berdaya melihat kekasih dan temannya ini tampak begitu menderita. Untungnya guru tari yang dibantu tetua desa yang tinggal dekat sekolah akhirnya mampu menyadarkan mereka berdua.
            Intan dan Dini terbaring di ranjang UKS, mereka tertidur karena lemas. Satria dan Novan duduk di samping ranjang mereka. Beberapa menit kemudian Intan siuman. “Tan, bagaimana keadaanmu?” Novan bertanya sambil memegang tangan Intan. Intan tak menjawab dan dia menarik tangannya dari  genggaman Novan. Intan membuang mukanya ke samping dan dilihatnya Satria duduk disana membelakanginya. Intan menggerakkan tangan kirinya lalu menyentuh punggung Satria. Dia menoleh, “Kamu sudah sadar Tan? Kamu sudah tidak apa-apakan?” Sebuah senyum manis yang selalu Intan impikan sekarang ada di depannya. Intan berkata dengan lemah, “Maafkan aku Sat, maafkan aku. Aku telah menyakiti kamu dan Dini.” Kini air mata mulai merebak di matanya. Novan yang merasa bingung dan tidak dipedulikan hanya diam memandang Intan dan Satria. “Ya aku tahu Tan, kamu kan tadi tidak sadar. Tapi kenapa kamu bilang seperti ini?” “Aku masih setengah sadar Sat. aku bisa mendengar kamu berteriak padaku tadi. Aku tidak sanggup melihat kalian tadi. Maafkan aku.” Tangis Intan semakin menjadi-jadi. Novan memegang bahu Intan, “Sudah Tan, mari aku antar kamu pulang saja.” “Tidak Van. Tidak,” kata Intan. Satria yang tidak mengerti maksud perkataan Intan tadi kini bertanya, “Apa maksudmu Tan? Kenapa kamu tidak sanggup melihatku? Kalau aku ada salah tolong katakan padaku biar aku bisa meminta maaf kepadamu.” “Tidak Sat, bukan aku tidak tahan melihatmu tapi aku tidak bisa melihat kamu dan Dini begitu dekat, begitu bahagia. Maafkan aku Sat, aku memang tidak berhak berbuat begini tapi aku menyukaimu sejak kita menjadi teman sekelas dahulu.” Satria terkejut bukan main mendengar pengakuan Intan. Novan tak kalah terkejut. Dia merasa tak mendapat tempat di hati Intan. Mungkin selama ini dia memang telah memaksa Intan untuk menjadi kekasihnya tetapi kejadian ini juga memukul harga dirinya. “Tan kamu.. kamu selama ini tidak menganggapku sebagai ..” kalimat Novan terpotong oleh suara tangis Intan yang semakin keras. “Maafkan aku Van, aku tidak bisa,” suara Intan terpotong-potong karena tangisnya mencoba menjawab pertanyaan Novan. Lalu Satria berkata, “Tan, aku tidak pernah tahu kamu mempunyai perasaan seperti itu kepadaku. Tapi aku sudah ada Dini dan kamu ada Novan. Ini semua tidak benar-benar terjadi kan?” Novan berdiri dan berjalan keluar UKS. Dia merasa seperti makhluk paling tak berguna saat itu. “Aku tahu Sat, tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku” kata Intan. “Coba aku tahu hal ini dari dulu, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Mungkin aku bisa menjaga perasaanmu.” “Jadi kamu memang tidak punya perasaan apa-apa kepadaku ya Sat?” kata Intan. Dia sudah lupa akan perasaan malu atau apapun itu. Semua sudah terlanjur terjadi dan dia ingin Satria tahu bagaimana perasaannya meskipun itu berarti melukai Novan ataupun Dini. “Tan, aku.. aku selalu menganggapmu sebagai temanku yang pintar dan manis,” kata Satria sambil menggenggam tangan Intan untuk menguatkan. “Kamu cantik Tan, kenapa kamu harus selalu melihatku selama ini. Ada banyak cowok yang baik dan menyukai kamu. Itu pasti. Bukan aku tidak menyukaimu Tan tapi kamu tahukan hidupku yang sekarang bukan hanya milikku sendiri, sudah ada Dini yang harus aku sayangi karena dia juga menyayangiku. Maafkan aku, Tan. Aku tidak bisa.” “Iya sat.”
            Air mata baru meleleh panas di pipi Intan yang sudah basah. Dia melihat lagi punggung Satria. Lelaki itu membantu Dini bangun. Lelaki yang dia sukai sejak tiga tahun lalu itu berdiri menuntun kekasihnya keluar. Intan bangun dari tempat tidur kecil itu. Disentuhnya dada dimana tempat jantungnya berdetak. Sambil meringis kesakitan, digenggamnya erat-erat benda itu. Dengan sekuat tenaga dicabutnya benda tersebut keluar dari jantungnya lalu dia lemparkan ke lantai. Anak panah Cupid bermata hati itu kini perlahan-lahan hilang memudar dari pandangannya. “Aku salah jika terus mencintaimu.”

Supra D’ocean (24 Pebruari 2013)
           
           
           

Kamu


Aku tak peduli tentang kata orang yang selalu memandangmu sebelah mata dan sosok yang tak berguna, bagiku kamu adalah sosok yang memiliki cinta tulus.
Kamu yang selalu menungguku disaat seharian letih mencari uang, menyambutku dengan sentuhan halus, seraya bertanya “kemana saja kau seharian? Aku merindukanmu”. Tak ada yang lebih membahagiakan dibanding itu semua. Aku merasa dirindukan.
Kamu adalah sosok yang selalu menghadirkan tawa disetiap gerakmu. Aku masih ingat ketika kau menyandarkan kepalamu di pangkuanku, kau tak pernah rela membagi pangkuanku dengan siapapun, dan selalu berkata kepada yang sengaja mendekatiku “dia milikku !” bentakmu. Aku merasa dipertahankan.
Kamu selalu mengajakku berbicara dalam diammu, tapi maaf, aku tak mampu, aku tak cukup mengerti dengan sikapmu, yang aku tau kamu selalu mendengarkan keluh kesahku, yang rela aku jadikan sasaran rasa amarahku. Aku bersalah padamu.
Aku tak pernah menginginkanmu pergi sedikit saja dari hidupku. Kamu tak berhak pergi sedikitpun. Kamu milikku seutuhnya. Tak ada yang menyayangimu melebihi rasa sayangku padamu. Tak ada yang layak memilikimu kecuali aku. Entah berapa kali orang menghujatmu, aku tak peduli, dan akan mati-matian membelamu di depan mereka.
Aku selalu menunggumu pulang kemanapun kamu pergi, sejauh apapun itu. Bahkan, aku rela jika kau membagi cinta dengan kekasihmu, kamu berhak mencintai kekasihmu, tapi kamu milikku. Ketika kau pergi, hal bodoh yang aku lakukan seharian hanya memanggil namamu dan menyiapkan makan malammu. Meskipun aku tau, kamu tak pulang malam itu.
Aku suka mengusap lembut perutmu sehabis makan, kamu terlihat berisi dan tampan, tersenyum dan mengerlingkan mata padaku, aku tau, kau tak sanggup berbicara padaku selain “terima kasih dan aku sayang kamu”
Hal yang sangat aku suka ketika hujan turun, kamu selalu tidur di sampingku, memintaku memelukmu erat. Akupun melakukannya, kusandarkan kepalamu diperutku sambil mengelus lembut rambutmu dan kaupun tertidur, aku suka mengabadikan foto kita berdua saat bersama seperti ini.
Mungkin aku terlalu menyayangimu, dan sangat terluka saat aku tau kau mencoba mengakhiri hidupmu. Entah apa yang kau pikirkan saat itu. Bukankah kau selalu bahagia disampingku ? Bukankah aku selalu memberikan apa yang kamu inginkan meskipun aku harus berjuang? Bukankah  aku  tempat pemberhentianmu ketika kau lelah berkelana menjelajahi cinta? Entahlah... yang jelas aku kecewa saat tadi pagi ada orang berteriak memanggilmu “ Puss !! minggir puss!! Jangan ditengah jalan! Dasar kucing nakal!” dan mereka mengatakan padaku kamu terlihat linglung waktu itu.

Story written by Hyokbek (sweet girl called Nira)
Contact her by Twitter @septinira or Google+ +septinira wijayanti 

Sunday, February 3, 2013

Tempat baru yang kamu kunjungi mungkin saja menyimpan misteri. Rahasia yang tersimpan oleh waktu dan tak terungkap oleh cerita bisa saja memberi tahumu dengan cara mereka sendiri. Dua kisah yang dituturkan oleh gadis ini mungkin tak seberapa membuatmu ngeri. Dia memang tidak bermaksud menakuti-nakutimu, dia hanya mau berpesan ‘saat kamu duduk dan membaca cerita ini meskipun itu di kamarmu yang nyaman, makhluk halus itu bisa saja ada di sampingmu atau di bawah ranjangmu sejak puluhan atau ratusan tahun yang lalu.’

Kelindih
Namaku Arin, aku mahasisiwi semester  tiga di sebuah perguruan tinggi di kota kecil Trenggalek. Kali ini aku akan bercerita mengenai pengalaman pribadiku bersentuhan dengan dunia lain dan aku berharap hanya sekali saja, tak mau ada kisah-kisah selanjutnya karena memang aku seorang penakut.
Kisah ini aku alami pertengahan Desember  2012, waktu itu kampus tempatku berkuliah mengadakan English Weekend Camp yang bertempat di Yonif 511 Blitar. Kami diwajibkan untuk mengikuti acara tersebut selama tiga hari berturut-turut dan jika kami tidak mengikuti dengan alasan yang tidak tepat, tahun berikutnya diwajibkan untuk ikut. Aku adalah orang yang paling malas dengan kegiatan yang mengharuskan pergi keluar rumah dan menginap, tapi karena tugas dari kampus, akhirnya aku berangkat juga.
Aku bersama rombongan berangkat dari kampus pukul 9 pagi, hari itu suasana langit sangat cerah, kami naik bus sewaan yang sialnya bus tersebut ber AC, karena aku orang yang paling alergi dengan AC. Aku duduk bersebelahan dengan Asha, teman baikku. Perjalanan pun menyenangkan karena di bus kami semua bernyanyi mengikuti alunan lagu yang di putar di dalam bus. Pukul 12 bus kami memasuki wilayah Yonif 511, kesan pertama pada markas TNI tersebut sangat sepi, luas, dan terlihat symbol setiap barak di sana sini.
Turun dari bus kami disuguhi dengan tembakan-tembakan di dalam tanah oleh para tentara, kami yang masih lelah dengan perjalanan cukup shock  dengan tembakan-tembakan tersebut. Kami mengikuti English Weekend Camp memang untuk melatih kedisiplinan, kebersamaan, dan Yonif 511 lah tempat yang tepat, bagi para pelatih, sepertinya tidak bagi kami.
Hari pertama di Yonif kami diberi acara-acara yang cukup padat, sehingga malamnya kami sangat kelelahan. Sore harinya saat akan mandi aku baru tersadar kalau aku sedang “dapet”. Uh.. pasti bakalan risih dan ribet, tapi tak apalah ini memang sudah menjadi kewajiban seorang wanita setiap bulan.
Pukul 10 malam kami baru bisa beranjak tidur, kami tidur beralaskan tikar, tak ada bantal dan selimut hangat seperti di rumah. Anak mama pada nangis darah mungkin, termasuk aku. Bagaimana tidak ? Kami hanya diberi barak yang usang dan tua, yang terletak paling ujung dan berdekatan dengan area persawahan. Barak tersebut sepertinya barak yang tak lagi ditempati.  Jendela barak juga sudah banyak yang rusak, ada beberapa jendela yang tak nampak kaca penutupnya, otomatis hembusan angin dari luar leluasa masuk ke barak kami. Pertama kali datang aku mengucapakan salam, bapakku selalu berpesan agar aku selalu meminta izin kepada si mbaurekso jika akan melakukan aktivitas di tempat baru. Aku masuk, dan segera mencari tempat yang agak jauh dari pintu masuk. Aku mendapat tempat tepat ditengah-tengah. Malam itu dingin, badan terasa pegal, aku menarik selimut tipisku, aku tidur di samping sahabat baikku Asha. Tak berapa lama Asha sudah terpejam, dan lelap. Akupun berusaha memejamkan mata meskipun tak bisa. Aku orang yang paranoid dengan tempat-tempat baru. Aku melihat jam di layar handphone ku, pukul 10 : 30, Astagfirullah, aku belum bisa terpejam juga, padahal esok subuh harus apel pagi di lapangan Yonif, aku iseng sms ibu sambil menunggu rasa kantuk datang, tapi rasa kantuk itu tak datang juga. Aku melihat teman-teman yang lain juga sudah lelap. Akhirnya aku bisa tidur, tapi.. itu hanya beberapa menit. Karena tiba-tiba tubuhku seperti ditindih sesuatu yang berat, iya aku tidak bisa bergerak.. aku berkata dalam hati, Tuhan ada apa ini??? Aku membaca do’a-do’a sebisaku dalam hati karena mulut, kaki dan tanganku tak bisa bergerak. Aku meraih tangan Asha, tapi tak mampu. Seketika aku ingat dengan pesan bapak, keadaan seperti itu biasanya di tempatku tinggal disebut “kelindih” entah mitos atau bukan kelindih itu berarti ada makhluk halus yang membatasi gerak seseorang. Aku tak punya keahlian melihat setan atau sejenisnya, tapi terkadang aku mampu merasakan keberadaan mereka. Saat doa- doa selesai aku baca, akhirnya aku bisa bergerak, dan sialnya rasa kantukku seketika lenyap. Aku mengirim pesan melalui ponsel pada ibu, aku bercerita pada beliau kalau aku baru saja kelindih. Tapi ternyata sampai pukul 12 malam tak ada balasan. Rasanya aku ingin menangis. Diantara rasa lelah, risih dan takut, aku memegangi tangan Asha, untuk mengurangi sedikit ketakutanku. Benar saja,tak selang berapa lama aku bisa memejamkan mataku. Kesialan terulang, baru sekitar 10 menit aku tidur, tiba-tiba aku terbangun lagi dan aku merasakan lagi tubuhku tak bisa aku gerakkan lagi. Ya Allah.. apa salahku ditempat baru ini.. pekikku dalam hati. Dengan perasaan takut aku membaca do’a-do’a lagi. Alhamdulillah aku bisa bergerak. Aku segera mengirim sms pada salah satu dosen, beliau sangat baik, apa saja yang menjadi keluhan anak-anak disetiap mata kuliah beliau bantu, namun malam itu, lagi-lagi kesialan datang, beliau tak membalas sms ku. Aku hanya meminta bantuan aku harus bagaima jika menghadapi situasi seperti ini. Karena beliau selalu bisa membantu segala hal dengan jawaban cerdasnya. Tak ada harapan  dengan sms,  aku komat kamit membaca do’a sebisaku, dan kulihat jam di handphone ku menunjukkan pukul 2 pagi. Ya Tuhan... aku menangis dalam hati.
Dan tiba-tiba aku tersadar, sebelum tidur aku lupa mencuci kakiku, dan karena aku sedang menstruasi mungkin makhluk-makhluk itu memberi peringatan padaku. Karena menurut cerita makhluk halus memang suka dengan orang yang dalam keadaan tidak bersih.

***


***
Hantu kamar atas
Masih dengan cerita mistisku. Aku pernah bekerja di sebuah distributor beras yang terletak di tengah kota Trenggalek, tepatnya di jalan R.A. Kartini. Tempatku bekerja telihat seperti biasa dan seperti toko pada umumnya. Pertama bekerja di tempat tersebut sedikitpun aku tak mencium firasat-firasat mistis. Sampai pada suatu hari, saat aku makan siang, aku merasakan tempatku makan pengap dan sunyi, tempat makanku di lantai dua toko tersebut. Tiba-tiba ada pertanyaan iseng yang aku lontarkan pada juru masak tempatku bekerja,
“Mbak, kok ruangannya pengap ya? Jarang dipakai ya?”
“Sering kok mbak” dia jawab pendek.
“Tapi kok aneh ya?” tanyaku agak menyelidik.
“Aneh gimana? Biasa aja” jawab juru masak itu pelan, seperti tau maksud pertanyaanku.
Akirnya aku menyimpan pertanyaanku dalam hati. Sepertinya dia tak berkenan untuk bercerita. Makan sudah selesai dan aku kembali turun ke lantai bawah dan bekerja kembali. Esoknya, tempat makanku pindah ke rumah pemilik toko tersebut, entah alasan apa, aku tak mengerti. Dan tiba-tiba juru masak seperti mengetahui rasa penasaranku, saat makan siang dia bertanya padaku,
“Mbak, sampean kok kerasa? Apa sampean melihat sesuatu?” tanya si juru masak.
“Apa mbak? Emm agak..” aku jawab sekenaku sambil mengunyah tempe goreng yang aku makan.
Si juru masak tiba-tiba mendekat padaku dan mulai bercerita. Benar saja, tempatku bekerja memang memiliki cerita-cerita mistis, sampai-sampai pemilik toko tidak pernah mau naik ke lantai dua karena dia lah yang kerap di teror. Si juru masak bercerita, dulu ada pekerja yang bernama mas Imam, dia seorang yang khusyuk beribadah, namun setiap melaksanakan sholat di lantai dua, ada sesosok makhluk yang berambut panjang duduk bersila di depan mas Imam, mas Imam tak mau menghiraukan makhluk tersebut, karena dia tahu, makhluk yang mengganggu kekhusyu’an sholatnya adalah setan. Benar saja, makhluk itu mengganggu mas Imam, dan semakin menjadi-jadi. Saat rukuk, dia ada di bawah kepala, saat duduk, dia ada di depan, saat sujud pun dia ada di belakang posisi mas Imam sholat. Tapi karena mas Imam termasuk orang pemberani, dia tak menghiraukan teror hantu tersebut.
Si Juru masak melanjutkan ceritanya kembali
 “Mbak tau tempat yang mbak suka kemarin? Waktu mbak minum sambil foto-foto?” Aku memutar ingatanku, dan segera menjawab ,
 “Iya, balkon atas ya mbak?”
“Iya, asal Mbak tahu saja tempat dimana sampeyan duduk dan berfoto itu adalah tempat memedi sering menampakkan diri. Hantu muka rata suka duduk disitu mbak” jawabnya sambil tertawa kecil. “Hi hi hi hi.”
Seketika aku menghentikan makanku. Aku tak pernah menyangka tempat itu menyimpan banyak misteri. Si juru masak kembali bercerita. Dia bercerita bahwa setiap malam jika lampu balkon lupa di hidupkan, hantu muka rata itu duduk di teras balkon menghadap ke pintu dan diam serta rambut panjangnya terurai begitu saja. Warga di sekitar toko tersebut sering  melihat hantu itu duduk dan diam dikegelapan balkon.
Dan ternyata setelah aku telusuri dan mencari cerita disana sini, di toko tersebut pernah terjadi insiden orang tua terpeleset jatuh ke dalam sumur  tua, dan sumur tersebut ditutup begitu saja oleh pemilik toko. Menurut cerita, sumur terebut ada di gudang belakang toko. Sampai saat ini misteri-misteri cerita di tempatku kerja dulu masih tersimpan di benak para karyawan yang mengaku pernah didatangi para penunggu toko tersebut.

Story written by Hyokbek (sweet girl called Nira) 
Contact her by Twitter @septinira or Google+ +Septinira Wijayanti 
Terima Kasih...