Total Pageviews

Sunday, September 8, 2013

Anak Anak Liar Zaman Itu

Aku tiba tiba rindu masa kecil ketika pohon cherry (kersen) tumbuh rindang di pekarangan. Sejuk memayungi halaman yang terang benderang. Naik dan berebut buahnya yang merah manis dan segar. Teman teman masa kecil yang tak takut jatuh, berloncatan, bergelantungan di cabang cabang kersen di sela sela kupu kuning dan hijau yang berterbangan.

Setelah puas, kami meluncur turun mengambil bungkus permen Johnson atau Sugus, mengikat kedua ujungnya dengan karet gelang lalu mengaitkannya di telunjuk dan ibu jari. Ketapel mini itulah jadinya. Tanaman perdu berbuah seperti anggur milik tetangga menjadi sasaran berikutnya. Buah orange kecil kecil itu masuk ke saku baju dan celana kami menyisakan noda kecoklatan dan teriakan ibu ibu kami yang memarahi kami karena mengotori baju keesokan hari. Amunisi telah terkumpul di saku, penuh dan menonjol membuat tubuh kami yang kecil dan kurus tampak seperti digelayuti tumor.

Perang dimulai. Sesekali kami saling menembakkan amunisi orange kami. Punggung yang kena atau pipi yang terketapel membuat kami menyerah. Sakit membuat kami lebih kreatif, kami mencari tembok tetangga. Tembok itulah sasaran kami. Serentak kami muncratkan cairan orange itu di tembok putih. Tembok yang bersih berubah menjadi penuh graffiti lukisan abstrak tembakan kami. Puasnya tak terkira. Tak lama kemudian maki maki pemilik rumah membuyarkan pasukan kami.

Kami tidak nakal, kami hanya suka mengambil buah milik tetangga. Jambu, mangga atau tebu adalah makanan kami. Kami liar dan bahagia. Semua itu tak kan pernah kami lihat lagi, bahkan adik adik atau anak anak kami tak berkesempatan merasakan kenikmatan itu. Smartphone, video games, internet, TV adalah mainan masa kini. Begitulah, memang jaman telah berganti.

Sunday, September 1, 2013

Semalam di Ranu Kumbolo



Ziffa mempererat genggaman tangannya di lenganku tanpa menghiraukan aku yang juga kaku karena tegang dan dingin. Dia tak henti-hentinya terisak lirih ketakutan. Suaranya gemetar, nafasnya tercekat setiap kali kaki kami menginjak ranting kering dan patah. Aku sendiri tidak ingin bersuara, aku takut mendengar suaraku yang pasti parau karena tenggorokan ini sudah sangat kering dan pahit. Aku tidak mau suaraku didengar oleh makhluk-makhluk hutan ini dan mengundang mereka ke tempat kami. Aku dan Ziffa hanya bergerak terus menerobos kabut dingin gunung Semeru. 

Kami terpisah dari tim peneliti botani dari universitas kami saat Ziffa minta izin untuk buang air kecil. Aku tentu saja menemani dia karena aku adalah pacarnya. Kami berhenti di sebuah ceruk batu yang terlindung pohon besar, Ziffa melakukan panggilan alamnya sedangkan aku menunggu dia dari balik pohon. Tim bergerak pelan-pelan melanjutkan perjalanan karena mereka tahu aku hafal rute balik ke perkemahan kami. Waktu itu matahari sudah tampak rendah di ufuk barat, jarum jam menunjukkan pukul 4.30, belum terlalu gelap. Akan tetapi cuaca di gunung memang sulit ditebak. Baru saja cuaca cerah tiba-tiba kabut tipis mulai turun. Aku berteriak memanggil Ziffa untuk segera menuntaskan hajatnya. Dia hanya berteriak balik menyuruhku untuk menunggu sebentar dan melemparkan sebotol air ke arahnya. Dia bilang perutnya tiba-tiba sakit. Aku mendesah kesal.

Sekitar lima menit berselang aku mendengar gemericik air dituang dari botol, aku sudah ingin menggoda Ziffa lalu tiba-tiba diam tertegun melihat gumpalan kabut yang berputar-putar dari arah jalan setapak tempat dimana teman-teman kami baru saja berdiri.  Kabut itu semakin lama semakin membesar dan tampak bergerak mendekat kearah kami. Aku berteriak ke Ziffa untuk melihat kejadian ini tapi rupanya Ziffa sudah berdiri di belakangku. Wajahnya kelihatan kaku, bibirnya berkedut aneh lalu dia berkata, “Ayo kita pergi sayang. Lari.. lari…” Ziffa gemetar, aku bingung. Kalut melihat kabut misterius yang menebal dan khawatir dengan keadaan Ziffa yang tiba-tiba aneh aku segera meraih tangannya dan menariknya pergi dari tempat itu. “Iya, kita harus lari,” ucapku sambil menggelandangnya. Aku terus menariknya sambil berlari tanpa mempedulikan arah. Aku merasa kabut itu seperti wedhus gembel di gunung Merapi yang mampu menghanguskan apapun yang di laluinya. Aku tidak ingin terpanggang di hutan ini bersama kekasihku. Aku lupa apakah itu wedhus gembel atau bukan, yang ada dalam pikiranku hanyalah berlari menjauh dari kabut gelap itu. Disaat kami berlari itulah tiba-tiba tanah yang kami pijak bergerak, yang aku tahu hanyalah Ziffa tergelincir ke lereng yang terjal. Tangannya yang aku pegang menarikku ikut terjun. Kami jatuh terguling-guling. Lalu gelap.

Ziffa merasa hidup kami berdua akan berakhir di hutan Tengger ini. Dia tak pernah menyangka perjalanan explorasi botani di Taman Nasional gunung Bromo-Tengger-Semeru yang awalnya penuh dengan canda tawa  akan berakhir seperti ini. Di tengah belantara hutan yang gelap dan dingin aku masih berusaha untuk menjaga harapan hidupku. Pagi pasti tak akan lama lagi dan tim evakuasi akan segera menemukan kami. Aku hanya ingin mencari tempat berlindung yang lebih layak karena kekasihku tampaknya tak mampu berada di tengah alam bebas. Tas ransel Ziffa mungkin tertinggal di ceruk batu itu sedangkan ranselku sendiri hanya berisi buku catatan, kotak plastik, beberapa makanan ringan, pisau dan senter yang pecah. Air minum telah habis sejak Ziffa memakainya untuk membersihkan diri sedangkan peta dan kompas ada di ketua tim expedisi kami. Yang tersisa untuk kami adalah kemustahilan untuk menemukan jalan pulang malam ini juga.

Cahaya yang berasal dari nyala api di kejauhan membesarkan hatiku. “Sayang, tenanglah. Kita selamat. Lihat di sana ada api, pasti ada orang berkemah di sana.” “Benarkah? Syukurlah ayo kita segera ke sana,” jawab Ziffa. Dia tampak lebih bersemangat setelah melihat nyala api itu. Setelah berjalan cukup lama sampailah juga kami di tempat api tersebut. Ada sebuah tenda berwarna coklat lusuh dan tampak tua sekali. Cahaya api yang kami lihat rupanya adalah sebuah lampu minyak yang di sekeliling apinya ada kaca kotor berwujud corong, menggantung di depan pintu masuk tenda. Lentera kaca yang sangat kuno. Sejenak perasaan tidak mengenakkan menerpa diriku. Tapi, Ziffa sudah memanggil-manggil orang yang mungkin berada di balik kain tebal itu. “Permisi, permisi. Ada orang? Bisakah kami meminta bantuan?” Terpaan angin basah menjawab panggilan Ziffa. Lalu suara kecipuk air menumbuk batu terdengar lirih. Ada air di sekitar tempat ini batinku.

Tak ada siapapun di tenda itu kecuali bayang-bayang api yang meliuk-liuk membias di dinding tenda. Akhirnya kami memutuskan untuk masuk ke dalam tenda tua itu. ketika tanganku menyibak pintu tenda, kain kasar yang rapuh menyentak jari-jariku. Tenda ini bisa saja runtuh menjadi debu kapan saja karena usangnya. Pintu tenda terbuka, cahaya lentera menembus sela-sela tubuh kami menerangi sedikit bagian tenda yang memang tidak luas. Sebuah gaun putih pudar tergeletak di samping sebuah mantel coklat. Aneh sekali di tempat seperti ini kami mendapati sebuah gaun kuno yang biasa aku lihat di film-film klasik Eropa. Ya, gaun yang biasanya dipakai oleh wanita-wanita Eropa di abad ke-18.
                                                                        ***

Aku menepuk-nepuk pipi Ziffa yang masih belum sadarkan diri. Mengguncang-guncang tubuhnya perlahan agar dia segera siuman. Hanya dia satu-satunya sumber kekuatanku saat itu. Ditengah alam, dimalam buta dengan tubuh perih dan letih setelah terjatuh dari lereng menyadarkanku bahwa kami berdua telah tersesat. Tak ada cahaya yang cukup terang di langit, hanya suara nafas kekasihku yang memberi petunjuk arah di mana tubuhnya berada. Aku kehilangan arah, aku tersesat gara-gara kabut yang mengejar kami. Akhirnya Ziffa terbangun, dia langsung menangis, tangannya memukul-mukulku. Aku berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa aku bersamanya, dia mulai tenang. Ziffa memeluk leherku dan bangkit duduk. Aku berusaha bersikap tenang agar dia tidak semakin takut, aku bilang padanya bahwa kita akan melawati semua ini berdua dan akan selamat. Setelah kakinya mampu berdiri lagi kami mulai bergerak mencari tempat berlindung hingga akhirnya kami mendapati diri kami berada di depan sebuah tenda tua.


 Ziffa masuk ke dalam tenda itu duluan. Aku kembali keluar untuk memeriksa sekeliling tenda. Aku tetap beranggapan bahwa pemilik tenda ini sedang keluar entah kemana. Sekeliling tenda aman. Di samping kiri agak jauh dari tenda aku melihat sedikit kilatan cahaya terpantul. Aku ingat bahwa aku mendengar suara air. Pasti itu adalah sebuah danau karena jika itu sungai aku tidak mendengar suara air mengalir. Aku kembali ke pintu depan tenda. Kusibakkan sekali lagi kain rapuh yang kasar itu. Seketika mataku terbelalak, aku melihat seorang perempuan muda memakai gaun putih kuno. Aku hendak meminta maaf kepadanya lalu aku tersadar bahwa wanita itu adalah Ziffa, kekasihku. Dia telah memakai gaun itu.

Dia tampak cantik di tengah ruangan tenda yang sempit. Wajahnya anggun melembut karena cahaya lentera. Yang tampak nyata bagiku adalah aku tak lagi melihat kegelisahan ataupun ketakutan di matanya. Dia tampak begitu tenang. Aku duduk di sampingnya dan berkata, “Ada semacam danau atau telaga di sebelah kiri kita, sayang. Mungkin pemilik tenda ini ..” kalimatku terpotong oleh suaranya yang lembut tapi tegas. “Ranu Kumbolo.” Aku memandanginya keheranan, “Ra.. Ranu Kumbolo? Apa maksudmu, sayang? Siapa dia?” Ziffa memandangku lalu berkata, “Danau itu namanya Ranu Kumbolo. Danau sakral di kaki gunung Semeru.” “Oh, kamu tahu tempat ini? Eh.. tapi kenapa kamu memakai baju ini? Bagaimana jika pemiliknya datang dan tidak terima?” aku menghujaninya dengan pertanyaan. “Tenanglah sayang,” kata Ziffa. “Aku tahu tempat ini dengan baik, aku yakin tenda ini telah ditinggalkan pemiliknya jadi jangan khawatir kita bisa bermalam di sini.”

Ziffa menarik tubuhnya mendekatiku, disandarkan kepalanya di dadaku tangannya memeluk erat tubuhku. Aku merasa agak heran dengan apa yang dia lakukan setelah semua kejadian yang kami alami. Tapi secara refleks aku membalas pelukannya. Kami saling memandang dan dia bilang dia menyayangiku. Aku hendak mengatakan hal yang sama tapi urung aku lakukan karena dia telah mendorongku jatuh terlentang. Sebagai lelaki aku tentu saja sulit menahan diri ketika kekasihku bersikap seperti ini. Kepalaku dipenuhi oleh nyanyian-nyanyian cinta yang memaksaku melepaskan seluruh kendali diriku. Ketika dia telah duduk di perutku, aku tiba-tiba tersadar. Rambut Ziffa berwarna hitam bukan coklat gelap seperti ini dan yang aku tahu dia juga tidak akan melakukan hal seberani ini kepadaku. Sontak aku mendorongnya kebelakang dan menarik tubuhku menjauh. Aku pandang dia dan berteriak, “Ziffa.. Ziffa.. kau siapa? Kamu bukan Ziffa. Kemana dia?” Aku semakin meracau karena pikiranku telah dikuasai oleh kebingungan dan rasa takut yang amat sangat. Aku tidak kenal siapa wanita cantik yang berada di depanku dan aku juga khawatir dengan keadaan Ziffa. Aku bahkan tidak tahu dimana dia sekarang.

Gelombang ketakutan semakin menelanku. Perempuan bergaun putih itu kini berdiri di depanku. Dia tersenyum lebar sekali, lalu suara tawa yang mengerikan memenuhi setiap inderaku. Aku menendang-nendang sampai keluar dari tenda. Berlari di kegelapan karena nyala lentera yang tak sanggup lagi menerangi lebih jauh membuatku kehilangan arah. Aku tersandung dan jatuh ke air. Nafasku pendek terputus-putus. Keringat dingin mengucur dari dahiku walaupun kakiku terasa dingin membeku. Ranu Kumbolo, aku berada di danau yang diucapkan wanita itu ketika di dalam tenda. Perlahan-lahan wanita itu mendekat, lentera tadi sekarang berada di tangan kanannya. Dia berjalan begitu halus, melayang tipis di atas tanah. Aku bisa melihat sekelilingku penuh dengan air yang beriak. Aku membuka mulutku bertanya, “Apa yang kamu inginkan? Kenapa kamu menggangguku?” Wanita itu tersenyum, “Aku menyukaimu wahai pemuda, menikahlah denganku malam ini juga dan kamu akan merasakan kenikmatan yang tiada berujung. Malam pengantin kita tak akan pernah berakhir. Hihihi..” “Tidak, aku tidak mau. Aku ingin kembali ke kekasihku. Aku ingin kembali ke teman-temanku.” “Lelaki bodoh, aku menawarkanmu kehidupan yang abadi penuh dengan kenikmatan tapi kamu menolaknya. Kalau begitu kembalikan sesuatu yang telah kau ambil dari hutan tadi. Atau kamu ingin berada di sini selamanya.” Aku terperanjat dalam ketakutanku. Sesuatu yang telah aku ambil dari hutan. Apa, aku bahkan tidak ingat telah mengambil sesuatu yang berharga dari dalam hutan. “Aku tidak mengerti maksudmu. Apa yang telah aku ambil darimu?” “Jangan berbohong wahai manusia, kembalikan Naga Kesara yang telah kau ambil. Kalian selalu saja datang dan mengambil milik kami tanpa meminta izin pada alam. Kalian merusak tempat kami tinggal.”

Naga Kesara. Aku tidak pernah sekalipun mendengar nama benda itu. Nama sesuatu yang sepertinya berasal dari bahasa Jawa atau mungkin Sansekerta. “Aku tidak mengerti, aku tidak mengambil Naga yang kamu maksud. Aku hanya ingin meniliti tanaman di tempat ini.” Wanita itu semakin dekat, lentera yang dia bawa tampak semakin besar nyala apinya. Dia tertawa lagi dan berkata, “Apapun alasanmu aku tahu kamu membawanya, Naga Kesara itu adalah milik kami. Untung aku menyukaimu wahai pemuda, jika tidak aku sudah membakarmu habis dan menenggelamkan belulangmu di dasar Ranu Kumbolo ini.” Aku tiba-tiba ingat bahwa aku telah mengambil beberapa bunga dan daun Messua ferrea. Tentu saja aku mengambilnya karena salah satu tujuan kami datang ke sini adalah untuk membandingkan tanaman berkhasiat yang lebih dikenal dengan sebutan pohon Dewandaru yang tumbuh di hutan ini dengan yang telah ditanam di daerah dataran rendah. Menyadari akan hal itu aku segera berkata, “Maafkanlah aku, aku memang memetik bunga dan daun Dewandaru aku menyimpannya di kotak di dalam tasku. Ambilah, aku mohon jangan ganggu aku.” Perempuan yang menyerupai gadis belanda itu terbang mundur sambil tertawa, lentera itu dia lemparkan kearahku. Aku berteriak sambil menutupi wajahku. Habis, tamatlah aku sampai disini. Lentera itu jatuh di depanku tapi apinya tidak membakarku. Lentera itu tenggelam, nyala itu lenyap. Lalu gelap.

Pipiku ditepuk-tepuk, tubuhku diguncang-guncang. Saat kubuka mataku aku melihat Ziffa menangis. Teman-teman expedisiku tampak cemas. Beberapa orang dari tim medis sedang merawatku. Aku selamat. Aku memeluk Ziffa, berbisik di telinganya bahwa aku mencintainya. Dia berkata bahwa dia juga mencintaiku walaupun kemarin dia sempat kebingungan karena melihatku berlari meninggalkannya di hutan sendirian.

Sehari berlalu, aku telah sepenuhnya pulih. Aku ditemani seorang juru kunci gunung semeru di klinik tempat aku dirawat. Setelah menceritakan segala yang terjadi padaku malam itu, orang sepuh itu tersenyum. Dia bilang, “Kamu sedang tidak beruntung sekaligus beruntung, Nak.” Terus terang kalimatnya membuatku bingung. Setelah bertanya apa maksud ucapannya, lelaki tua itu melanjutkan, “Kamu tidak beruntung karena kamulah yang di datangi penunggu kaki gunung Semeru karena kalian tidak meminta izin ketika akan melakukan kegiatan kalian. Tapi kamu beruntung karena rupanya si penunggu itu menyukaimu. Sering kali pendaki hilang dan tak ditemukan lagi. Kalaupun diketemukan, mereka sudah menjadi mayat.” Aku terperanjat, bulu kudukku meremang. “Kenapa yang datang padaku menyerupai kekasihku, Kek? Tapi kemudian aku melihatnya seperti noni Belanda.” Si juru kunci berkata, “Ya, biasanya si penunggu selalu menggoda korbannya untuk bercinta, dia bisa menyerupai siapa saja. Dan jika hubungan itu terjadi maka kamu tidak akan pernah bisa kembali ke sini. Jiwamu akan terus tersesat menjadi budak si penunggu itu. Tentang noni Belanda, memang Ranu Kumbolo dahulu pernah menjadi tempat beristirahat orang Belanda. Lalu entah kenapa ada yang meninggal disana. Mungkin saja yang kamu lihat semalam ingin menunjukkan sesuatu kepadamu.” Kakek itu pamit sebelum aku sempat selesai menanyakan segala sesuatu yang berkecamuk dalam pikiranku.

Aku dan rombongan akhirnya kembali ke Surabaya. Di perjalanan aku baru sadar bahwa aku tidak tahu siapa si kuncen itu sebenarnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu semua cerita itu jika tak pernah ada yang selamat sebelumnya. Lagi pula tak seorangpun dari anggota expedisi melihat aku dijenguk seseorang, Ziffa pun tidak. Sesampainya di Surabaya aku mencoba menghubungi klinik tempat aku dirawat. Aku ingin menanyakan apakah mereka mengenal siapa lelaki yang mengaku sebagai juru kunci Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru yang menjengukku. Suara di seberang sana hanyalah dengungan halus lalu suara tawa noni Belanda itu terdengar berderai-derai.

*NagaKesara atau Nagasari atau lebih dikenal dengan Dewandaru
*Ranu Kumbolo danau indah di kaki gunung Semeru

Sup. 2 Sep 2013
Cerpen Jusuf AN, Dimuat Suara Merdeka Minggu, 11 Agustus 2013

BIARLAH Ayah saja yang menderita, dengan perut pias membusung, serta wajah ditumbuhi bercak-bercak yang setiap menit akan meledak buncahkan nanah dan darah. Biarlah Ayah tercekam dalam detik-detik sekarat di atas ranjangnya yang luas ditemani puluhan dokter paling handal di kota ini. Andai saja ia nanti mati, kami tak ingin menguburkannya. Kami tak ingin ia mengenalkan pada kami hal paling menakutkan bernama derita.
***
Setelah menyelesaikan kuliah, kami berempat disuruh memilih pekerjaan yang kami suka. Dan entah kenapa pilihan kami sama: membantu Ayah memimpin kota. Sebuah kota yang subur dengan kekayaan alam yang luar biasa melimpah. Sebuah kota yang penduduknya taat beribadah, tetapi gampang dibodohi.
Ayah memberi kami jabatan penting di kantor pusat kota. Ia juga mengajak kami mengikuti rapat-rapat politik bersama anak buahnya. Kami menyukai pekerjaan ini, pekerjaan yang tidak lebih dari sekadar bermain-main. Kami sering menyebutnya, permainan anak dewasa. Dalam permainan itu kami selalu menang. Siapa pun pasti akan puas setiap kali memenangkan permainan, termasuk juga kami.
Keluarga kami adalah yang terkaya di kota ini. Kami telah mendirikan puluhan pabrik, hotel, restoran, dan villa yang tersebar banyak tempat. Kekayaan yang kami miliki semakin melimpah, membuat banyak orang iri, terutama musuh-musuh politik yang tak pernah jera berusaha menjatuhkan Ayah, yang hanya segelintir orang saja sebenarnya. Meski begitu, dengan mudah mereka berhasil kami kalahkan. Tak ada yang bisa membongkar kebusukan di balik kekayaan yang kami miliki. Tak ada yang bisa membaca dan menandingi siasat politik kami.
***
Di hari ulang tahun Ayah ke-70 kami diundang di sebuah villa di pegunungan yang sejuk. Anehnya kami hanya boleh datang sendirian saja. Awalnya kami mengira Ayah sekedar ingin merayakan pesta dan bernostalgia serta memanjat doa panjang umur. Kami datang, membawa kado masing-masing. Ketiga kakakku, masing-masing memberi kado tombak, anak panah, dan tongkat yang mereka curi dari sebuah museum. Sementara aku membawa kue berbentuk hati yang ditaburi intan berlian.
Wajah Ayah nampak bahagia dan bangga punya anak seperti kami. "Terima kasih atas kedatangan kalian semua," katanya. Kami semua tersenyum. "Mungkin sudah waktunya untuk mengatakan hal penting bagi kalian. "
Kami berempat saling pandang. Sebuah pertanyaan tergambar dalam bola kecokelatan sepasang-pasang mata kami. Warisan?
Ayah seolah tahu isi pikiran kami, dengan cepat membantah, "Bukan masalah warisan yang ingin aku sampaikan, tapi sesuatu yang teramat penting." Serentak kami mengunci mulut rapat-rapat dan membuka telinga lebar-lebar. Andai pun benar soal warisan, kami mungkin akan mengatakan secara serentak, bahwa kami tak butuh lagi warisan, sebab kekayaan kami sungguh sudah sangat melimpah.
Sepasang bibir Ayah mulai bergetar lagi, "Kematian terasa semakin dekat." Sunyi berkuasa sejenak. Desau angin dan serangga malam yang merintih kedinginan melengkapi senyap. "Jika memang firasat Ayah ini benar, maka bersamaan dengan penguburan mayatku nanti, semua harta yang kita miliki akan ditelan bumi." Angin yang berdesir tiba-tiba diam. Suasana lengang mengkhidmati wajah kami yang tercengang. Mulanya kami mengira ucapan Ayah yang terdengar seperti syair itu hanya bercanda belaka. "Bercanda memang bisa membuat orang awet muda, tapi toh kita akan tetap mati juga." Lagi-lagi Ayah tahu isi otak kami.
“Mengapa bisa begitu?” tanyaku lantang.
Ayah menjelaskan, bahwa harta dan jabatan yang sekarang kami miliki sekarang sebenarnya bukan murni kerja kami. Melainkan bantuan para iblis. Jika Ayah meninggal nanti, iblis-iblis yang telah menjadi anak buah Ayah itu secara otomatis akan pergi dan membawa harta kekayaan kami ke alam mereka.
Bagi kami penjelasan Ayah tak masuk akal. Namun kemudian, Ayah mengatakannya lagi dengan suara lugas dan jelas. "Harta kalian akan tersedot ke bumi bersama penguburanku. Camkan itu!"
Bagaimanapun aku tak rela jika hartaku hilang. Bagaimana mungkin aku mengikhlaskan puluhan pabrik, hotel, restoran dan villaku yang tersebar di berbagai kota. Dan tiba-tiba saja seolah ada kekuatan yang menggerakkan tanganku untuk mencabut pistol, dan menodongkannya di kepala Ayah.
Ayah justru menyuruhku untuk menarik pelatuk pistol yang kugenggam dengan gemetaran. Keseriusan dalam kata-katanya nampak pada garis-garis keriput dan sorot matanya yang berwarna kecokelatan. Hampir saja peluru itu meletup dan menembus pelipisnya jika ketiga kakakku tidak cepat-cepat merebut pistol yang aku genggam dan menyeretku keluar setelah membisiku sesuatu.
Tanpa sepatah kata, kami berempat pergi dari villa itu. "Dengarkan dulu penjelasan Ayah! Meski kalian tidak menguburku, tapi…" Masih sempat kami mendengar Ayah berteriak memanggil kami untuk kembali. Tapi kami tak lagi peduli.
***
Akhirnya, kami menemukan strategi untuk menyelamatkan harta benda yang kami miliki. Jika Ayah meninggal nanti, kami tak akan kami mengubur mayatnya, sehingga harta kekayaan yang kami miliki akan selamat.
Sejak kecil kami dididik Ayah untuk percaya, bahwa tak satu pun orang di dunia ini yang sepenuhnya setia, dan mungkin sudah saatnya bagi kami untuk berkhianat, meski pada ayah kami sendiri.
Beberapa hari setelah perayaan ulang tahun itu, utusan yang kami tugaskan untuk membuntuti Ayah datang memberi kabar. Katanya, Ayah menderita sakit lambung. Dokter pribadinya mengatakan, ada gangguan pencernaan biasa dan akan sembuh satu jam setelah minum obat. Tapi penyakit itu justru kian mendera Ayah. Operasi bedah pun dilakukan. Tak ditemukan apa-apa dalam perut Ayah kecuali lima peluru yang entah kenapa bisa bersarang dalam perutnya. Mungkinkah Ayah telah menelan peluru itu bersama sebatang pisang seperti saat ia menguntal kapsul? Atau bisa jadi musuh-musuh politik Ayah yang telah meneluhnya.
Lima peluru yang berhasil diambil dalam operasi itu tidak serta-merta menyembuhkan rasa sakit dalam perut Ayah. Bahkan, perutnya kian lama kian membuncit. Bukan dalam hitungan bulan seperti perkembangan kandungan perempuan. Hanya dalam waktu seminggu perut Ayah telah menggelembung seperti balon, pias seperti warna cemas wajah kami.
Selang beberapa hari, kami kembali mendapat kabar, Ayah mengeluhkan gatal-gatal di wajahnya. Semua dokter paling handal di jagat ini kelimpungan dengan penyakit yang dideritanya. Belum pernah mereka mendapati penyakit aneh seperti itu. Jika Ayah orang miskin mungkin ia akan dibiarkan mati, kemudian mayatnya akan dijadikan bahan penelitian para dokter. Untungnya Ayah punya banyak simpanan uang untuk membayar dokter-dokter itu.
***
Setiap hari kami memantau keadaan Ayah dari layar kaca hasil rekaman kamera yang sengaja kami pasang di langit-langit kamar rawat Ayah. Dari layar kaca itu kami bisa melihat wajah Ayah dipenuhi bercak-bercak yang tiap menit meledak membuncahkan nanah dan darah. Perutnya masih membusung dan sewaktu-waktu mungkin akan meledak juga. Di layar itu pula kami bisa melihat sepasang bibir Ayah senantiasa tersenyum aneh, matanya memandang fokus kamera yang sepertinya telah ia ketahui. Ia seperti tengah mengejek kami yang durhaka dengan senyum itu dan dengan cara memandangnya yang tak wajar.
Para dokter terus berusaha untuk menyembuhkan penyakit Ayah. Namun, apalah daya para dokter. Mereka hanya tahu asal muasal nafas dan tak tahu dari mana, serta kapan datang dan perginya nyawa.
Kecemasan kami memuncak ketika tiba-tiba, di layar kaca itu, nampak perut Ayah meledak, persis seperti gunung berapi yang meletus. Ayah meninggal dengan tubuh dipenuhi nanah kental yang bercampur dengan darah yang keluar dari perutnya yang meledak. Susah bagi kami untuk mengatakan berduka cita atas kematiannya. Tapi susah pula untuk mengatakan kami berbahagia.
***
Tak bisa kami bayangkan saat semua harta yang kami miliki amblas jika kami mengubur mayat Ayah. Puluhan rumah megah, ratusan kendaraan mewah, hotel, restoran, dan villa yang tersebar di seluruh kota, triliyunan uang di berbagai bank, berkilo-kilo emas, batu permata dan berlian yang kami miliki akan hilang begitu saja ditelan bumi. Dan jika semua yang kami miliki itu akan benar-benar amblas ke bumi, kami mengira akan terjadi gempa berkekuatan besar melanda negeri ini. Gempa itu tentu tidak hanya akan menewaskan kami, tapi juga ribuan orang lainnya.
Kami kemudian berkumpul untuk memilih siapa di antara kami yang akan dicalonkan dalam pemilihan nanti. Kami berempat telah siap menggantikan Ayah menjadi pemimpin kota ini.
Tapi, tiba-tiba saja bau busuk menyergap hidung kami. Sekejap melintas pertanyaan dalam pikiran kami, adakah mayat Ayah telah membusuk. Meski kami tidak melihatnya dalam layar kaca itu, karena tubuh Ayah tertutup rapat oleh kain hitam, tapi kami mulai mencium bau busuk itu dari pakaian yang kami kenakan. Bola mata kami semakin tajam memandang layar kaca yang merekam tubuh Ayah. Tapi kian lama gambar dalam layar kaca itu kian pudar. Mungkinkah layar itu juga ikut membusuk. Pandangan kami kemudian beredar ke sekeliling ruangan. Kami melihat warna tembok yang tadinya putih bersih berubah menjadi kecokelatan. Kami berdiri, berjalan mendekat, merabanya, dan dapat kami rasakan tembok itu basah dan bau busuk keluar darinya. (Sofa, meja, lukisan, dan semua benda yang kami kenakan juga mengeluarkan bau busuk).
Di sela-sela kebingungan itu, kakakku yang paling tua mengusulkan untuk membakar mayat Ayah. Kontan aku dan kedua kakakku tidak setuju. Kami tidak ingin semua harta kami akan hangus terbakar. Dan apa jadinya dunia ini jika semua harta kami terbakar.
Dalam keadaan seperti itu aku berlari ke meja telpon untuk menghubungi perawat yang masih berjaga di kamar tempat Ayah tergolek tanpa nyawa. Aku menyuruhnya untuk mengawetkan mayat Ayah. Pilihan ini lahir dari kebingunganku.
Dengan wajah menggurat cemas, kami memandang layar monitor yang buram. Di sana, samar-samar kami lihat mayat Ayah tengah disemprot zat pengawet oleh perawat yang mengenakan masker. Tubuhku mendadak kaku! **
Yogyakarta, 2006-Wonosobo, 2013