Total Pageviews

Wednesday, May 15, 2013

GRAMAPHONE TUA


Cerita ini merupakan hasil karya dari Shintia Pratiwi, sahabat bloger di blog.yess-online.com. Untuk hasil karya asli atau untuk kontak beliau bisa klik di http://blog.yess-online.com/blogs/shinta-pratiwi
------------------------------------------------------------------------------------------- thanks to Shintia Pratiwi



Seperti biasa setiap malam setelah mengerjakan PR dari guru, aku menghabiskan waktu di depan laptop sambil membuka akun facebookku. Dari kamarku di lantai dua rumahku yang cukup besar, aku mendengar suara mobil papa yang baru berhenti di depan pintu utama. Aku langsung berlari ke jendela dan mengintip dari tirai untuk melihat papa. Kali ini ia datang membawa sebuah kotak kayu yang ukurannya cukup besar. Karena penasaran aku langsung berlari menghambur keluar dari kamar dan dengan cepat menuruni tangga.

“Papa !” Aku berlari menghampirinya, dan tak lupa memeluknya.

“Sarah... Mama mana ?”

“Sudah tidur.... Papa lama banget sih jalan-jalannya. Kali ini papa bawa apa ?”

“Ini, papa beli gramophone...”

“Wah... Mana coba liat.” Hampir berlari aku menghampiri kotak kayu berwarna hitam yang diletakkan di atas meja lemari tua berukuran tanggung yang ada di ruangan khusus barang koleksi. Papa mengikuti langkahku dari belakang. Dengan susah payah papa membuka kotak itu. Saat dibuka, aku langsung terpana. Bentuknya masih sangat mulus, barang yang sangat indah.

“Wow....!!”

“Bagus kan ? Papa beli di Jogja, gramophone ini dari tahun 1920an lo. Tau ga awalnya yang punya gramophone ini ga mau jual. Tapi papa paksa terus, sampai akhirnya dia mau jual.” Keluarga kami memang mempunyai hobi mengkoleksi barang-barang lama. Terutama papaku, di sela-sela perjalanan bisnisnya, pasti ia pulang membawa benda baru. Namun dari semua benda yang ayahku beli, untuk sekaramg aku paling menyukai gramophone ini. Entah kenapa menurutku benda ini terlihat begitu menarik sekaligus.... Misterius mungkin ? Aku juga tidak tahu pasti.

“Loh kok ga mau jual ? Kenapa ?”

“Papa juga ga tau, yang papa ingat dia Cuma bilang takut ngejual ini.”

“Tapi kan papa hebat, sampai bisa bikin dia mau jual.”

“Pasti dong... Oh iya papa lupa..” Papa mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat dari tasnya. “Nih pasangannya..” Aku langsung tahu bahwa itu pasti piringan hitam untuk gramophone ini.

“Wow wow wow !!” Aku mengambil piringan hitam itu dari tangan ayahku. Di amplop coklat yang membungkus piringan hitam itu ada tulisan.

“Li-ef-lief-de... Liefde ?”

“Itu judul lagunya, kata yang jual itu artinya cint dalam bahasa Belanda. Jadi yang jual ini cerita, kalau gramophone ini dulunya punya keluarga Belanda waktu jaman penjajahan dulu. Nah dulu yang punya suka mutar lagu ini.”

“Hmmm gitu.. Kita putar yok.” Saat hendak mengeluarkan piringan hitam itu dari bungkusnya, papa langsung menahan tanganku.

“Jangan nak !” Aku memandang papaku dengan heran.

“Loh kenapa ? Emang ga bisa dipakai lagi ya ?”

“Bukan gitu, kata yang jual, lagunya gak boleh diputar ! Pokoknya jangan ! Oke ?” Tentu saja aku langsung bingung, tidak mengerti kenapa piringan hitam ini tidak boleh di putar.

“Kok gitu ? Aneh ah !”

“Pokoknya jangan ya.” Papa langsung mengambil piringan hitam itu dari genggamanku dan menaruhnya di samping gramophone.

“Sarah, sebaiknya sekarang kamu tidur. Besok kan sekolah. Oke ?” Dengan kesal aku mengangguk. Sebelum menuju ke kamar papa mencium keningku dan mengucapkan selamat malam.

Keesokan di minggu pagi, aku bangun dan menemukan papa dan mama sedang terburu-buru bolak balik dari ruang tamu ke mobil sambil membawa beberapa koper. Argh ! Pasti aku ditinggal lagi !

“Mah, Pah ! Mau kemana ?”

“Sarah, mama sama papa mau ke Bali, ada urusan bisnis. Maaf ya kalau perginya mendadak.”

“Yahhhhh... Aku mau ikut.”

“Jangan Sar... Kamu kan sekolah.”

“Berapa lama ?”

“Mungkin 1 sampai 2 minggu.”

“Oke... Tapi janji kalau pulang bawa kejutan !”

“Pasti... mbok Min, saya titip Sarah ya.” Seperti biasa setiap papa dan mama pergi, mereka selalu menitipkanku kepada pelayan yang paling setia di keluargaku. mbok Min bekerja di sini sudah 19 tahun, tepatnya sejak dua tahun sebelum aku lahir.

Setelah siap, papa dan mama kemudian pergi lagi meninggalkanku dan mbok Min berdua di rumah. Seharian di rumah hanya di depan laptop membuatku merasa sangat bosan. Aku keluar dari kamar dan menuju ruang koleksi. Ide iseng muncul di otakku. Aku mengeluarkan piringan hitam yang tadi malam dibeli papa. Lalu meletakkannya di pemutar gramophone itu. Setelah meletakkan jarumnya, aku memutar pedal yang berada di samping kotak gramophone itu, tak lama muncul suara dari cerobong yang nirip bunga terompet. Awalnya agak aneh mendengar lagu dengan bahasa yang sangat asing di telinga, tapi lama kelamaan aku hanyut ke dalam ritmenya. Alunan musiknya sangat lembut, suara penyanyi perempuan itu sangat merdu. Mungkin hampir lima menit kemudian, lagu itu berhenti. Aku memutarnya lagi dan begitu seterusnya, setiap lagunya berhenti, aku memainkannya lagi.

Dengan riang aku menari-nari sendiri sambil mengikuti alunan lagu itu. Sampai akhirnya aku lelah dan membaringkan badanku di kursi tua panjang yang ada di tengah-tengah ruangan koleksi. Lagu itu masih memutar saat tanpa ku sadari aku tertidur. Aku membuka mata, dikejutkan oleh dentingan bandul logam kuning jam dinding tua di tengah ruangan. Sekarang tepat pukul 6 sore. Terlihat ruangan sekarang sangat gelap. Tanpa ku sadari aku tertidur kurang lebih 4 jam. Aku bangkit dari kursi dan pergi menuju dapur, lalu menuju lemari es untuk mengambil segelas air minum. Ku lihat di sekeliling tidak ada mbok Min. Aku mencari ke kamarnya yang terletak di belakang dekat dapur. Di sana ia juga tidak ada, aku membalikkan badan dan berteriak saat melihat seorang wanita tua berambut putih berada tepat di depan wajahku.

“Non ! Ini mbok Min !”

“Aduh mbok !!! Ngagetin aja !”

“Non cari saya ??”

“Ga juga sih, penasaran aja mbok ga ada. Ya sudah deh, aku ke atas.” Aku segera menuju kamarku di lantai dua. Kunyalakan laptop yang setiap hari kuletakkan di ranjangku, lalau melakukan rutinitas biasa, browsing-browsing internet. Sedang asik menjelajahi dunia maya, tiba-tiba saja suhu kamarku terasa sangat panas butiran peluh mengalir di sekujur tubuhku. Aku mengambil remote pengontrol pendingin udara di kamrku, seperti biasa suhunya 19 derajat. Tetapi kenapa terasa begitu panas ? Aku menurunkan lagi suhu pendingin udara sampai 10 derajat. Tetapi tetap saja kamarku terasa sangat panas. Karena tidak tahan, aku langsung menuju kamar mandi yang ada di kamarku. Aku menggeser pintu kaca kamar mandiku dan memutar pancuran. Air dari pancuran sangat menyejukkan kulitku, lumayan untuk meredam suhu yang panas ini. Sangat sedang memakai sampo, aku menoleh ke kiri dan tiba-tiba terkejut saat melihat wanita tua berambut putih berbadan kurus, seperti mbok Min sedang berdiri menatapku. Wajah mbok Min terlihat begitu pucat, anehnya lagi ia mengenakan kebaya kuno berwarna biru tua.

“Mbok ? Mbok Min ???? Ngapain di situ ??” Mbok Min tidak menjawab, aku terus memanggilnya, tak lama ia berjalan keluar dari kamar mandi. Aku merasa heran, sedang apa mbo Min kemari ? Dengan cepat aku langsung membilas kepala dan mematikan pancuran air, lalu keluar mengambil handuk dan melilitkannya di tubuhku. Saat menuju pintu kamarku dan membukanya, ternyata terkunci. Lalu bagaimana mbok Min bisa masuk ke kamarku ? Aku membuka pintu dan turun mencari mbok Min. Tak lama ia menjawab panggilanku dan keluar dari dapur. Tapi aku terkejut saat melihat mbok Min tidak mengenakan kebaya.

“Mbok Min tadi ngapain ke ke kamarku ??” Setelah mendengarkan pertanyaanku, mbok Min terlihat heran.

“Hah ? Kapan ?”

“Barusan... Mbok Min ke kamarku kan ? Ke kamar mandiku ?”

“Sumpah non... Dari tadi mbok Min di dapur.”

“Beneran ?”

“Bener...” Dengan ragu, aku kembali kemarku dan mengunci pintunya. Tadi itu aku sangat yakin melihat mbok Min. Tapi kalau mbok Min bilang tidak, lalu tadi itu siapa ? Mungkin hanya halusinasiku saja. Setelah itu aku memakai pakaian tidur lalu mencoba tidur. Tetapi kejadian aneh tadi masih terus saja mengusik pikiranku.

Paginya aku sedang bersiap-siap berangkat sekolah. Saat menuruni tangga, aku melihat mbok Min keluar dari dapur dengan membawa tas belanja.

“Mau ke pasar ?”

“Iya Non, hari ini non mau di masakin apa ?”

“Mmm... Kepiting lada hitam ya...”

“Sip... Tunggu mbok tungguin sampai non pulang, kita makan sama-sama ya.”

Pukul 2 siang, aku pulang ke rumah dengan perasaan lelah. Rumah terlihat sepi. Aku berkeliling mencari mbok Min. Dia tidak ada, aneh sekali. Padahal biasanya dia pulang dari pasar tidak lama, mungkin banyak yang harus dibelinya. Aku menuju kamarku, setelah berganti pakaian aku menjelajahi dunia maya lagi. Sekejap perasaan bosan melandaku, aku langsung pergi ke ruang koleksi dan memutar piringan hitam itu lagi. Sama seperti kemarin, aku mendengarkannya sampai tertidur di kursi kuno yang nyaman itu. Aku merasa ada tangan yang mencolek-colek leganku. Sentuhan itu sangat dingin, sedingin es. Aku membuka mata dan terkejut melihat mbok Min berdiri ddi sampingku.

“Non... Kepitingnya sudah jadi.” Aneh sekali, suaranya begitu datar, wajahnya juga tampak begitu pucat.

“Mbok Min kok baru pulang ?” Ia diam, tidak menjawab pertanyaanku lalu jalan dengan pelan meninggalkanku yang masih setengah sadar. Aku menyusulnya menuju dapur, mbok Min sedang menyiapkan piring untuk kami. Aku duduk dan mencium aroma lezat kepiting lada hitam kesukaanku.

“Wahhhh.... Baunya enak !!” Aku melahap kepiting buatan mbok Min dengan lahap. Ia juga sedang makan dan duduk di seberangku. Tapi sikapnya sangat aneh, sedari tadi ia hanya memandangiku dan tidak menyentuh makanannya.

“Mbok Min ga makan ?” Ia tidak menjawab. Aku menjadi semakin bingun. Tapi karena tidak mau mabil pusing, aku melanjtkan makan. Setelah makan aku menuju kamar dan langsung merebahkan diri di ranjang. Entah kenapa hari ini aku merasa sangat lelah. Ku lirik jam dinding, masih pukul 8 malam, tidak seperti biasanya aku mengantuk. Mataku terus menutup walaupun aku berusaha melawan. Akhirnya karena tidak tahan aku tertidur. Sayup-sayup ku dengar ada suara perempuan menyanyi. Suaranya sangat berat, terdengar begitu dekat, sangat dekat.... Pelan-pelan aku membuka mataku. Suaranya lama-kelamaan semakin keras. Aku tidak yakin, tapi sepertinya terdengar seperti senandung lagu Jawa. Glek !!! Aku merasa ada seseorang yang sedang duduk di bangku depan meja riasku. Jantungku berdetak kencang, kuberanikan diri untuk menoleh. Sekujur badanku terasa dingin saat melihat sesosok wanita tua berkebaya biru tua berambut putih yang menjuntai sangat panjang, duduk di depan meja riasku sedang menyisir rambutnya sambil menyenandungkan tembang Jawa yang dari tadi ku dengar. Aku ingin bangkit dan lari, tapi tubuhku tidak bisa digerakkan ! Aku mencoba berteriak meminta tolong tapi mulutku tidak bisa bersuara !! Aku mencoba menutup mataku, tapi juga tidak bisa !! Ada apa ini !!

Aku tidak bisa melakukan apa-apa !!! Apa yang harus ku lakukan !!!! Tiba-tiba wanita tua itu berhenti menyanyi, lalu dengan pelan meletakkan sisir itu di mejaku. Ku lihat kuku-kukunya sangat panjang, tangannya sangat kasar dan penuh luka busuk. Perlahan-lahan ia memutar kepalanya ke belakang, wanita itu menatapku dengan dingin. Wajahnya juga penuh luka yang membusuk dan digerogoti belatung !!!! Matanya berwarna merah menyala ! Aku memangis, ingin pergi tapi tidak bisa berbuat apa-apa !!! Wanita mengerikan itu berdiri, dan menuju ke arahku, sekarang ia menagis dan tangisannya terdengar sangat mengerikan. Nafasku memburu, jantungku berdetak begitu kencang. Sekarang Ia sudah ada di hadapanku ! Wanita mengerikan itu menatapku, lalu mendukkan wajahnya tetapt di depan wajahku !!! Belatung-belatung yang ada di wajahnya jatuh di wajahku ! Ia mengangkat tangannya dan membelai rambutku, berulang-ulang kali !

“Ndok..... Cah ayu....” Wanita itu mengatakannya sambil terus mengelus rambutku. Suaranya begitu lirih, aku tidak bisa bergerak.

“Ndok..... Ndok......” Tak lama salah satu bola matanya keluar dari kelopak matanya dan jatuh di pipinya !!! Aku mengumpulkan tenaga dan berteriak dan bangun mendorongnya...

Tetapi yang terjadi, aku bangun dengan posisi setengah badan bangkit. Keringat mengucur di sekujur badanku. Aku meraba-raba wajahku, tidak ada belatung. Menelan ludah, aku memberanikan diri menoleh ke arah meja riasku. Aku begitu lega saat melihat tidak ada siapa-siapa di sana. Ternyata tadi cuma mimpi !! Aku mengelus dadaku, kulihat jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Aku ingin tidur lagi, tapi takut sendirian. Aku berlari menghambur keluar dan menuju kamar mbok Min. Ku gedor-gedor pintunya dengan kasar. Tak lama mbok Min keluar.

“Mbok, aku... Aku tidur di sini ya ??” Mbok Min tidak menjawab, ia mengangguk. Aku mengikutinya dari belakang. Ia mengunci pintu kamarnya, aku langsung memeluk guling dan tidur di kasurnya. Lalu ia menyusul tidur di sampingku.

Paginya aku bangun, namun tidak menemukan mbok Min disampingku. Aku panik, takut sendirian. Aku mencari-cari mbok Min di setiap ruangan, ia tidak ada. Saat sedang mencari ke taman samping, aku mendengar ada yang membunyikan bel. Aku berlari dan segera membuka pintu, terkejut melihat dua orang polisi sedang berdiri.

“Kediaman keluarga Subrata ?”

“Iya pak, ada apa ya ???”

“Kami dari kepolisian, mbak ini siapanya pak Subrata ?”

“Oh saya anaknya.”

“Boleh kami bertemu dengan orang tua mbak ?”

“Mama sama papa lagi di Bali pak.”

“Benar wanita bernama Suminah pembantu di rumah ini ?”

“Iya pak. Sebenarnya ada apa sih ???” Kedua polisi itu tiba-tiba menurunkan topinya, lalu menundukkan kepalanya.

“Kami turut berduka cita, kemarin sore ibu Suminah ditemukan tewas di semak-semak dekat pasar rabu dengan beberapa luka tusukan. Kami menduga sementara ibu Suminah adalah korban perampokan karena perhiasan dan dompetnya tidak ada bersamanya.”

“AP-APA ???!!!!!!” Apa aku slah dengar ?? Tidak mungkin !!!!

“Mung-mungkin bapak-bapak salah orang, ga mungki itu mbok Min. Dari kemarin dia masih di sini kok !”

“Kami mohon maaf mbak, kami ke sini hanya untuk menyampaikan yang terjadi. Selanjutnya nanti ada beberapa pihak dari kepolisian yang kemari untuk menanyai mbak.” Setelah tak begitu lama, kedua polisi itu pergi. Lututku lemas, aku jatuh ke lantai. Tidak mungkin, bagaimana bisa ??? Lalu dari kemarin siapa yang bersamaku ??? Tadi malam juga !! Aku segera meraih telepon dan menghubungi mama, lalu menjelaskan semuanya. Mereka berjanji akan segera pulang. Siangnya, datang beberapa polisi yang menanyaiku. Aku menjelaskan semuanya, tetapi tidak menceritakan mbok Min yang kemarin dan tadi malam bersamaku. Sore hari mereka semua pergi setelah mendapat keterangan dariku. Papa menelepon dan bilang kalau penerbangannya ditunda dua jam dan menyuruhku bersabar. Aku menagis memohon agar mereka cepat pulang. Aku sangat takut... Sekarang aku sendirian...

Malam telah tiba, aku mengurung diri di kamar. Mencoba menenangkan diri. Tetapi tiba-tiba aku mendengar Liefde berbunyi. Sontak jantungku berdetak kencang, kenapa piringan hitam itu bisa menyala ?? Dengan mengumpulkan semua tenaga yang tersisa, aku membuka pintu dan berjalan perlahan-lahan menuruni tangga. Lagu Liefde menggema di seluruh rumah. Lututku bergetar, aku menuju ruang koleksi. Piringan hitam itu berputar, aku segera menghampirinya dan mematikannya. Saat hendak kembali ke kamar, langkahku terhenti karena lagu itu terputar dengan sendirinya lagi. Aku membalikkan badan untuk mematikannya lagi, tetapi jantungku seperti loncat dari rongga dadaku saat melihat wanita mengerikan yang ada di mimpiku berdiri tepat di samping gramophone itu. Aku jatuh terduduk lemas di lantai. Wanita itu menghampiriku sambil menangis, tangisannya berwarna merah seperti darah.

Aku ingin pergi, tapi tidak bisa bergerak. Wanita itu semakin dekat... Makin dekat... Makin dekat !!!! Dia menyentuh keningku, aku menutup mataku dengan cepat, takut melihat wajahnya. Tetapi sebuah cahaya begitu terang sangat menyilaukan mataku. Karena tidak tahan aku membuka mata. Tapi seketika aku bingung. Aku berada di mana ??? Di rumah siapa ???? Aku berdiri, ku lihat di ruangan sekelilingku. Ini bukan rumahku, tetapi juga bukan rumah orang yang ku kenal.

Sepintas ruangan ini terlihat seperti ruang keluarga. Penataan ruangannya sangat kuno, di dinding tergantung gambar-gambar orang asing yang menatapku dengan tatapan kosong. Mereka terlihat seperti orang-orang Eropa. Tiba-tiba aku mendengar lagu Liefde berbunyi, gramophone yang memutarnya sama persis seperti yang ada di rumahku. Gramophone itu di letakkan di atas meja kecil di sudut ruangan. Tak jauh dari ketak gramophone itu, ada sebuahtangga yang sepertinya menuju ke lantai dua. Tiba-tiba aku di kagetkan dengan datangnya seorang wanita asing yang tadi kulihat salah satu gambar dirinya di dinding. Rambutnya pirang, bergaun putih berlari-lari sambil memegang senapan menuju tangga. Lalu di belakangnya di susul seorang wanita tua yang sepertinya ku kenali. Wanita itu memakai baju kebaya yang sama degan wanita mengerikan yang ada di mimpiku ! Tetapi bedanya kulitnya tampak bersih.

Wanita asing itu berlari-lari menuju lantai dua dambil berteriak-teriak sambil memengang senapan, sedangkan wanita berkebaya itu seperti mencoba mencegahnya sambil menangis. Mereka berdua lenyap di kegelapan saat tiba di lantai dua. Tiba-tiba ada cahaya putih kagi menyilaukan mataku. Saat membuka mata, tanpa ku ketahui aku sudah berada di sebuah kamar yang begitu luas. Terdapat ranjang besi tua yang besar dengan kelambu yang mengelilinya. Aku melihat ada seorang pria asing berambut coklat bertelanjang dada sedang berbicara dengan wanita asing yang sedang menodongkan senapan itu ke keingnya. Sedangkan wanita berkebaya itu ada di sisi ranjang sambil menutupi tubuh seorang gadis muda dengan kain. Sepertinya gadis itu seumuran denganku, wanita berkebaya dan gadis itu menagis, sepertinya adalah anaknya. Kedua orang asing itu terdengar sedang berdebat, tapi aku tidak bisa memahami apa yang mereka katakan. Wanita itu masih menodongkan senapan ke arah kening pria asing itu. Sambil menagis, wanita asing itu berteriak. Lalu tiba-tiba ia melepaskan tembakan ke arah gadis yang sedang di peluk oleh wanita berkebaya. Aku juga ikut berteriak, kaget melihat kejadian itu. Darah menyiprat di mana-mana dan mengenai wanita berkebaya yang sedari tadi memeluk gadis malang itu. Ia berteriak, lalu berlari mendatangi wanita asing itu. Dengan emosi yang tidak teredam, ia merebut senapan itu dari tangan si wanita asing, lalu menembakkannya ke arah pria dan wanita asing itu tepat di kepala.

Mereka berdua mati, darah mengucur dengan deras, menyiprat di mana-mana. Memenuhi kamar itu. Wanita berkebaya itu menjatuhkan senapannya dan jatuh ke lantai sambil menagis dan terus berteriak. Tiba-tiba ruangan menjadi gelap lagi. Aku mendengar seperti suara mama dan papa memanggil-manggi namaku. Tapi aku tidak tahu mereka dimana, karena begitu gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa. Lalu aku melihat setitik cahaya putih bersinir. Aku berlari mengikuti arah cahaya itu.

“Sar...Sarah... Nak.. Bangun nak !” Aku membuka mataku. Mama dan papa deduk di samping kiri dan kananku. Aku sedang terbaring di ranjang kamarku. Aku segera bangkit dan memeluk mereka berdua dan menangis. Setelah tenag, aku menceritakan semua kejadian yang ku alami. Papaku mennganggap semua yang ku alami adalah karena aku memutar piringan hitam itu. Papa bercerita kalau dulu, yang mempunyai gramophone itu adalah pasangan suami istri, orang Belanda. Mereka tinggal di Indonesia, sang suami adalah salah satu jendral dari Belanda yang ikut menjajah. Kejadian mengerikan bermula saat sang istri mendapati suaminya sedang meniduri anak gadis pembantunya. Karena emosi sang istri menembak kepala anak pembantunya, si pemabantu yang tak rela. Langsung merebut senapan dan menembak mati kedua majikannya. Dan kejadian itu terjadi saat lagu Liefde sedang diputar. Lagu itu adalah lagu yang paling di sukai oleh pasangan suami dan istri itu. Dituduh bersalah, pembantu itu dikurung di penjara, tidak diberi makan, dan dibiarkan sampai mati.

Keesokan harinya, segera papaku membakar gramophone dan piringan hitam itu. Soal mbok Min yang malang, keluarganya memutuskan bahwa mbok Min dimakamkan di kampung halamannya. Seminggu setelahnya, tidak ada lagi kejadian-kejadian aneh yang menimpaku. Aku sudah berani di tinggal pergi mama dan papa. Walaupun bayang-bayang kejadian kemarin masih mengahntuiku, tetapi sekarang sudah tidak ada apa-apa, tidak ada lagi hal-hal aneh menggangguku.

Malam minggu pukul 9:30, aku sedang di kamar, sambil menjelajahi dunia maya denga laptopku. Aku sendirian di rumah, mama dan papa sedang ke Surabaya untuk keperluan bisnis selama sepekan. Sedang turun hujan lebat di luar. Saat sedang asik bermain laptop, terdengar suara belku berbunyi berkali-kali. Aku terkejut dan langsung berlari turun menuju pintu. Bel masih berbunyi berulang kali. Argh ! Siapa sih ? Ga sabaran banget !!! Aku membuka pintu, kulihat berdiri seorang wanita tua berbadan kurus sambil melingkarkan kedua tangannya untuk mendekap tubuhnya. Sekujur badannya basah, ia menggigil hebat. Tunggu dulu.... Sepertinya aku mengenali wanita ini ??? Aku terkejut karena tiba-tiba darah mengalir dari tubuh wanita itu. Ia membalikkan badannya dan menatapku. APA !!!!!! TIDAK MUNGKIN !!!!! INI......

“Non..... Non Sarah.... Mbok Min kedinginan......”

http://blog.yess-online.com/gramophone-tua-1

Sunday, May 12, 2013

Tikungan Gudang Cengkeh



Dari arah Utara aku melaju pelan-pelan dengan motor bebekku. Pekatnya malam mulai menyelimuti jalanan yang berlampu jarang. Pukul 9, kulihat jam tangan Alba tuaku di pergelangan tangan kiri. Dua ratus meter lagi tikungan gudang cengkeh akan ku lewati.

Kaca mata minusku tidak banyak membantu mataku untuk merekam kejadian itu. Tapi aku yakin apa yang kulihat dan kualami itu nyata. Awalnya aku mendengar deru motor yang melaju dari arah berlawanan. Dari suara motornya yang keras, aku menduga sang pengendara memacu motornya dengan kencang. Aku belum melihat motor itu muncul di tikungan dan entah kebetulan atau tidak lampu yang biasanya menyala di atas jalan itu mati. Lalu, motor tanpa lampu depan itu membelok di tikungan yang gelap. Aku bisa melihat kelebatannya saja. Belum seluruh tikungan itu terlewati, lalu kulihat ada percikan api di bawah motor itu. Suara rem yang diinjak keras dan mendadak membuat decitan ban di aspal. Motor itu hilang kendali. Bukannya terus membelok ke Utara, motor itu malah melaju ke arah Barat. Aku hanya bisa berteriak, “Ya Allah, ya Allah bagaimana orang itu.” Motornya menabrak pembatas parit dengan suara tumbukan yang sangat keras. Bagian belakang motor itu terangkat dan aku melihat si pengendara terlempar menghantam pagar beton gudang cengkeh yang ada di situ. Kejadiannya begitu cepat, bahkan aku belum sampai membelok di tikungan sehingga kejadian tersebut terpampang seperti adegan film di depanku. Aku hendak menghentikan motor, kucari tempat yang agak terang di sekitar tikungan tapi itu sulit karena letak gudang ini memang agak jauh dari pemukiman. Rumah terdekat berjarak 300 meter di Utara gudang dan beberapa meter setelah tikungan. Kupikir berhenti di sini lebih baik karena cahaya lampu dari depan gapura gudang cengkeh masih remang-remang menjangkau tempatku. Dari tempatku berhenti mataku menangkap sesuatu tergeletak di tengah jalan tepat dimana percikan api tadi kulihat. Benda itu putih, kukira bagian motor yang terlepas karena kecelakaan tadi. Tapi demi Tuhan betapa terkejutnya aku, dengan pencahayaan yang sangat minim itu aku melihat seorang laki-laki tergeletak tengkurap, genangan gelap melingkari kepalanya. Dia bergerak-gerak sedikit, menelengkan kepalanya melihat ke arahku. Mungkin dia meminta tolong padaku.
Aku paling takut darah. Ya, aku memang phobia dengan cairan kental berwarna merah tua dan berbau anyir ini. Melihat genangan darah di sekeliling kepala lelaki itu sontak membuatku mual dan kalut. Aku sangat bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mungkin akan tahan melihat darah-darah itu tapi aku harus berbuat sesuatu karena bisa-bisa dia tewas di sana. Setelah beberapa saat akhirnya aku beranikan diri untuk menarik minggir tubuh itu tapi sebelum aku sempat bergerak sebuah cahaya melesat dari arah timur menghentikan langkahku yang ragu-ragu. Sebuah truk.

Pengemudi truk yang melaju cukup kencang tidak menyangka akan melihat seonggok tubuh di jalanan. Truk itu berusaha menghindar tapi jika dia banting setir mungkin truk itu bisa menabrak pohon atau terguling. Truk meliuk sedikit ke kiri dan ‘kraaass’ tubuh  bagian bawah lelaki itu terlindas. Cairan gelap dan gumpalan daging sepertinya melayang di udara. Tubuh itu terbalik dan terguling beberapa kali. Aku muntah dan terhuyung menyaksikannya. Orang-orang yang tinggal di sekitar situ mulai keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Aku berteriak semampuku untuk menarik perhatian mereka, “kecelakaan.. kecelakaan.. orang di tengah jalan ketabrak.” Truk itu terus melaju, kabur. Aku terjerembab di samping motorku. Lelaki itu tengkurap dengan wajah miring menatapku. Wajah berlumuran darah dengan mata melotot. Aku muntah lagi.
Aku tiba-tiba tersadar jika aku tetap disini urusan akan panjang. Jiwa pengecutku atau entah dorongan untuk melepaskan diri dari hal-hal yang tidak mengenakkan mendorongku untuk segera pergi. Sebelum terlalu banyak orang datang aku menekan starter motorku dan pergi pulang. Aku tidak peduli lagi. Biarkan orang-orang itu saja yang menolongnya. Untung aku tidak dikejar orang-orang yang mungkin menganggapku bertanggung jawab atas kejadian itu. Orang-orang itu memang tidak mengejarku dan aku merasa aman, tapi rupanya aku keliru.

keesokan harinya aku mendengar kabar dari penjual sayur keliling bahwa telah terjadi kecelakaan di tikungan gudang cengkeh yang menewaskan dua orang. Seorang pengendara sepeda motor mabuk yang masuk parit dan seorang bapak tua, warga sekitar situ, yang menyeberang jalan sepulang dari warung kopi. Jantungku langsung berdebar-debar mendengar hal itu. Bayangan kejadian semalan melintas di kepalaku lagi. Tapi aku tidak ingin kejadian itu terus menghantuiku, aku ingin segera melupakannya.

Siang itu aku menghabiskan waktuku bekerja di kantor. Aku pegawai baru sebuah bank swasta di kotaku. Sibuknya bekerja membuatku lupa akan kejadian kemarin malam tapi sialnya karena lembur maka aku harus pulang lebih larut malam itu. Aku maklum sebagai karyawan baru dan tepat di akhir bulan seperti ini tenagaku sangat dibutuhkan di kantor. Akhirnya waktu pulang pun tiba. Arlojiku menunjukkan pukul 10.15 malam. Hawa dingin karena gerimis malam itu cukup membuatku menggigil. Setelah memakai jaket kulit dan bertukar sapa dengan teman kantor aku memacu sepeda motorku.

Jalanan yang kulewati sebenarnya adalah jalan provinsi, tetapi karena ini kota kecil maka pukul 10 malam suasana sudah sepi ditambah gerimis sejak maghrib yang tak kunjung reda. Aku tidak memakai mantelku karena kurasa gerimis tidak terlalu deras tapi setelah sekitar sepuluh menit berkendara aku merasa kedinginan. Aku menghentikan laju sepeda motorku dan membuka jok untuk mengambil mantel. Kaca mataku yang terkena air hujan cukup mengganggu pandanganku sehingga aku tidak begitu fokus ketika mengambil mantel. Kuraih mantel yang ada di dalam jok akan tetapi aku kesulitan untuk mengambilnya. Aku rasa mantelku menyangkut sesuatu di sana tapi apa. Aku terus berusaha menariknya keluar tapi tidak berhasil. Aku lepas kaca mataku lalu ku ambil sapu tangan untuk menggosoknya, setelah air yang menutupi kacaku hilang kupakai lagi kaca mata itu. Kini pandanganku di jok lebih jelas. Mantel hitamku ada di situ. Ku tarik lagi mantel itu tapi tetap tidak bisa lalu aku membuka lipatan mantel untuk melihat mengapa mantelnya tidak bisa dikeluarkan. “Haaaa,” sesuatu terdengar di telingaku. Seperti bisikan, “Whaaa whaaa.” Aku celingukan melihat ke kanan dan ke kiri lalu kebelakang, tidak ada apa-apa. Jantungku mulai memompa lebih keras, degupnya mulai tidak teratur. Angin malam tiba-tiba berhembus lebih kencang membangkitkan bulu kudukku. Tatapanku kembali ke dalam jok, lalu kutarik sedikit lebih keras mantelku. Berhasil. Tapi bukan hanya mantel yang berhasil kutarik keluar, sebuah benda bulat ikut terlempar keatas mengarah ke wajahku. Aku menangkapnya dengan tanganku yang juga memegang mantel. Astaga, “Tidaaak…,” teriakku. Benda bulat itu adalah kepala berlumuran darah dengan mata yang melotot. Mulutnya membuka dan memuntahkan cairan merah ke jaketku. Jemariku terbenam ke pangkal leher yang putus dan basah itu. Lengket dan aroma anyir darah menyergap hidung. Aku menjerit ketakutan sambil melempar mantel dan kepala itu. Tubuhku limbung dan akhirnya jatuh terduduk di rerumputan pinggir jalan. Benda bulat itu tergeletak di dekat kakiku, aku menendang-nendang benda mengerikan itu. Tapi itu bukan kepala menyeramkan seperti tadi, itu hanyalah bola plastik kecil berisi pasir yang biasa dipakai adikku untuk berlatih tolak peluru. Segera saja aku bangkit dan memakai mantelku lalu meninggalkan tempat itu.

Aku terkesiap setelah menyadari bahwa beberapa ratus meter di depanku adalah tikungan maut. Tapi kali ini aku melihat lampu penerangan jalan menyala. Aku bersyukur dalam hati. Aku menjadi begitu paranoid semenjak kejadian kemarin. Tikungan itu aku lewati tanpa ada sesuatu yang aneh. Kuhela nafas panjang karena aku lega kejadian tadi hanyalah imajinasiku yang terlalu berlebihan. Tiga detik setelah melewati tikungan tiba-tiba sudut mataku menangkap sesuatu dari spion kanan. Lampu penerangan di atas tikungan itu padam. “Astagfirullahaladzim,” kataku dengan gugup. Aku melihat lurus kedepan saja, aku tidak mau melihat spionku lagi. ‘Kreek’ sepeda motorku melindas sesuatu mau tak mau aku melihat ke belakang, sebuah kaki remuk terserak di jalan. Suasana yang dingin sudah tak kurasakan lagi. Panas, gerah dan takut yang amat sangat membuatku gila. Tak hanya itu, detik berikutnya lampu depan sepeda motorku mati. Aku tidak peduli, aku terus memacu sepeda motorku sambil menggigil hebat. Kos ku hanya berjarak 10 menit dari tempat itu tapi bagiku perjalanan ini bagaikan setahun. Aku hanya mengandalkan penerangan dari depan rumah warga dan kendaraan lain yang mungkin lewat. Ya kendaraan lain, kemana mereka? Belum ku jumpai satupun sampai akhirnya aku tiba di kosanku.

Nafasku memburu, keringat dingin mengucur deras di wajah dan tubuhku. Tanpa melepas mantel terlebih dahulu langsung ku aduk-aduk isi tas untuk mencari kunci pintu kamar kos ku. Entahlah, semua terasa begitu aneh seolah-olah malam, pepohonan, udara dan keadaan berkonspirasi untuk menakutiku. Kamar kos sebelah juga tampak lengang tak berpenghuni hanya bayangan daun pohon mangga yang yang berayun-ayun membayang di daun pintunya seperti bayangan hantu yang datang mendekatiku. Sial, kunci kamarku tak kunjung ku temukan. Lalu aku ingat kalau aku terkadang memasukkan kunci pintu di dalam jok motor. “Jok? batinku. Mau tak mau aku teringat kejadian 5 menit yang lalu. Jika tadi ada sebuah kepala di dalamnya maka tidak mungkin sekarangpun akan ada lagi.

“Tidak, aku tidak boleh takut,” kataku menenangkan diri sendiri. Aku harus membuka jokku dan mengambil kunci itu. Tanpa pikir panjang lagi aku membuka jok, menatap mantap pada lubang hitam yang diterangi lampu teras dari ujung kamar temanku. Kosong. Tak ada kunci pintu. “Ya Tuhan.. kunciku pasti terjatuh waktu aku mengeluarkan mantel tadi. Masa aku harus kembali ke tempat itu lagi?” aku merutuki nasibku malam itu. Sewaktu aku menutup jok motorku di depanku telah berdiri sesosok gelap menatapku. Aku terlonjak kaget dan berteriak, “whoooa”. Aku memalingkan wajah dan hendak berlari lalu makhluk itu bersuara, “Nak Dimas, hei ada apa? Ini Bapak.” Aku berhenti dan pelan-pelan memutar tubuhku, di sana ku dapati Pak Mail, bapak kos ku, berdiri keheranan. “Ada apa kok teriak ketakutan seperti itu? tanya pak Mail ingin tahu. “Ahh.. tidak pak Cuma kaget saja, maaf. Anu pak, kunci pintu saya hilang.” “Makanya jangan ceroboh dong, ini tadi ibu melihat kunci kamarmu masih menggantung di pintu. Nak Dimas pasti lupa mengambilnya. Untung ibu pas lewat dan melihatnya tadi. Kok pulangnya malam sekali?” “Untunglah pak, saya kira jatuh dimana gitu. Iya malam ini lembur tutup buku dan rapat.” Pak Mail menyerahkan kunci kamarku lalu kembali kerumahnya yang terletak di samping tempat kos.

Kedatangan pak Mail tadi cukup memberiku energi positif. Ketakutan yang tadinya menghantuiku sedikit menguap. Tapi suasana hening yang kurasakan menyulut kembali perasaan itu. Aku malas  mandi malam itu, selain karena kamar mandinya berada di belakang kamar kos, udara dingin kembali aku rasakan. Aku tidak mau ke belakang rumah sendirian apalagi setelah kejadian mengerikan tadi.  Aku hendak merebahkan tubuhku yang letih dan syarafku yang kaku ke tempat tidur saat aku melihat sesuatu tergeletak di tengah kasur. Ada cuilan benda berwarna hitam. Aku memungutnya, mendekatkan ke wajah. Astaga benda yang kupegang itu tak lain adalah sebongkah kecil aspal yang terkelupas. Aspal itu lengket oleh cairan merah kehitaman. Aku melemparkan aspal berdarah itu lalu menggosok-gosokkan jariku ke celana. Lampu teras tiba-tiba padam, korden tertiup kesamping. Dari tempatku berdiri kaku kulihat sepotong tubuh tanpa kaki dengan kepala patah miring merangkak di halaman. Makhluk itu menyeret tubuhnya yang berantakan dengan kedua lengannya yang kurus dan hitam. Makhluk itu beringsut-ingsut dari jalan raya melewati halaman berpaving dan terus bergerak pelan ke pintu kamarku. Ketakutan telah melumpuhkanku. Pintu kamarku diketuk. Aku tak bisa bersuara, aku terduduk di ranjang menantikan kepala setengah hancur itu melongok dari balik pintu. Benar saja, kepala itu muncul menyeringai dan matanya melotot. Aku sudah tak begitu ingat lagi apa yang terjadi kemudian. Di tengah semakin melemahnya kesadaranku sayup-sayup ku dengar suara serak itu. “Kenapa kau tak menolongku? Kenapa? Aku akan terus mengikutimu.” Lalu suara tangis aneh. Aku tak sadarkan diri.

Adzan Subuh masih baru mulai berkumandang. Pak Mail berdiri di samping tempat tidurku, membangunkanku. Beliau bertanya, “Nak, kok pintunya tidak ditutup? Bapak kira kamu sudah bangun tapi waktu bapak coba panggil untuk bapak ajak ke Mushola, nak Dimas tidak menjawab jadi bapak coba tengok. Bapak kaget waktu melihat Nak Dimas tergeletak di kasur. Bapak berfikir nak Dimas kenapa-kenapa.” Lalu aku duduk dan menceritakan kejadian dua hari ini. Kejadiaan saat aku melihat kecelakaan dan kejadiaan tadi malam yang sampai membuatku tak sadarkan diri. Pak Mail mengucap Istiqfar lalu menyuruhku segera bersuci dan mengajakku ke Mushola. Di sana Pak Mail menyarankanku untuk datang ke makam korban kecelakaan itu dan turut mendoakannya. Pak Mail berkata bahwa bukan korban itu yang menghantuiku, itu hanya makhluk jahat yang mungkin ada di sekitar lokasi dan tidak suka padaku.
Aku menuruti saran pak Mail. Siang itu aku datang ke sekitar lokasi kejadian dan mencari tahu siapa nama bapak yang menjadi korban kecelakaan dua hari yang lalu. Seorang warga memberi tahuku bahwa namanya adalah Pak Suro. Aku juga datang ke makamnya dan mendoakan arwah beliau. Tak lupa aku meminta maaf atas ketidak sigapanku untuk menolongnya. Saat aku berdoa di makam itu, rerimbunan pohon bambu dibelakangku berkeriat-keriut lalu suara tawa cekikikan terdengar diantara ributnya angin dan batang pohon. “Hihi hihi hih hik.”

Aku segera pergi dari makam itu. Perasaan lega karena telah meminta maaf di makam Pak Suro membuatku lebih baik. Aku percaya aku akan baik-baik saja setelah hari ini. Semuanya terbukti benar. Tak ada lagi yang menggangguku. Hingga tujuh hari dari kejadian maut malam itu aku hidup dengan damai. Hanya saja, setelah tujuh hari kecelakaan di tikungan gudang cengkeh itu, ketika aku pulang kerja lebih larut aku sering melihat sesosok laki-laki berambut gimbal berdiri di atas parit di samping tembok gudang cengkeh. Matanya merah menatapku melewati tikungan itu.

by sup