Total Pageviews

Wednesday, April 3, 2013

THE GREAT PARADE OF BEST FRIENDS' STORY

Dear Pembaca,

Bulan April ini, hatiyangmembaca.blogspot.com ingin mencoba menampilkan parade akbar cerita-cerita sahabat terbaik. Cerita pertama yang terbit pada hari ini adalah pembuka dari cerita-cerita sahabat terbaik lainnya.

Diawali oleh sahabat kita Malik yang bercerita tentang doa masa kecilnya yang lugu dan harapan masa SMA nya yang penuh semangat. Untuk info saja, Malik sekarang adalah STAF KBRI distrik Tumpuk :p yang aktif di dunia pendidikan. Besar harapan kita Parade Akbar Cerita Sahabat Terbaik ini bisa sukses menghibur para pembaca dan memberikan kontribusi bagi dunia sastra Indonesia, khususnya para pemula seperti kami. Kami memang pemula, tapi apa yang ada jika tidak pernah dimulai. So, semoga ceritanya menghibur dan bisa menginspirasi.

Cerita lainnya masih dalam tahap penggodokan dan editing oleh para staf HTYGBC. Tunggu rilis berikutnya. Terima kasih atas kunjungan dan apresiasinya.

Bagi sahabat yang ingin ceritanya dipublikasikan seperti Hyokbek Nira dan Mas Malik ini, bisa menghubungi admin melalui supra.ocean@gmail.com

Salam,

Supra D'Ocean

YA TUHAN… AKU INGIN SEPEDA MOTOR BIAR TAMBAH TAMPAN



“Tuhanku ... Aku berdoa kepadamu, berikan beberapa awan di langit sana saat ini", inilah doa yang Malik selalu panjatkan setiap hari, tepat sebelum dia mengayuh sepeda Phoenix nya ke sekolah. Tiap kali menatap sepeda itu, dia teringat ketika di kelas enam SD dulu dia mendapat beasiswa dan menunjukkannya kepada ibunya, ibunya berteriak:
"Kamu akan punya sepeda baru anakku!! Sebuah Phoenix, RRT, Made In China!! Emmuach! Kau benar-benar anakku yang paling tampan .... ".!
Dan sejak saat itu, Malik mengendarai sepeda itu setiap hari ke sekolah, dengan kebanggaan yang terpancar di wajahnya, selama tiga tahun di SMP, sampai sekarang, di kelas satu SMA. Tapi rasa bangga itu tak lagi ada di wajahnya.

Malik mendongak ke langit, menunggu awan menutupi matahari. Ini Agustus, bulan ketika matahari menunjukkan panasnya yang terkuat, dan kulit gelap Malik telah benar-benar membuatnya kesulitan untuk menikmati sinar matahari. Di depan ‘Balai Desa Tumpuk Selip’, di kilometer 2 dari rumahnya, dahi Malik telah basah oleh keringat, "Tuhan, kenapa kau tidak menjawab doaku?" Malik mengeluh, "Apakah sulit bagimu untuk mengirim sedikit awan untuk menutupi mataharimu yang begitu terik ini? Apakah ini sama sulitnya bagimu untuk membuat orang tuaku mampu membelikanku sebuah sepeda motor?" keluhannya terucap begitu saja dari bibirnya lalu pikirannya kembali ke kejadian di dapur pagi ini.

"Ibu .." Malik memanggil ibunya dengan nada merajuk. "Hmmm ..." sang ibu menjawab tanpa menoleh ataupun menghentikan tangannya yang sedang mengulek cabai di periuk. "Ibu tahu kan, Pak Jemiran baru saja membeli sepeda motor baru untuk anaknya, F 1 ZR, bu! Itu merek baru, dari dealer .. Warnanya merah dan hitam, bagus sekali .. Anton jadi kelihatan lebih gagah ketika naik itu .. mmm, bu .. Saya ...""Cukup lee!" Ibu seketika menghentikan kegiatannya mengulek cabe. "Jangan manja! Apa kamu kira ibumu ini seperti Pak Juri? Kaya, makmur sewaktu-waktu ingin sesuatu langsung membuka lemari dan mengambil uang sebanyak yang diinginkannya? Ibumu ini bukan orang seperti itu! Kita bukan orang kaya, Le! Bapak ibu mu ini sudah berusaha, kita sudah lakukan apa saja untuk merubah nasib kita dari kemiskinan ini, tapi dasarnya saja kita ini dilahirkan dari tulangnya orang miskin! Tak mengertikah kau itu?" Ibu berbicara begitu keras dan emosional, setiap kata yang keluar dari mulutnya berasal dari dalam hatinya, menunjukkan kekecewaannya terhadap kondisi yang mereka miliki. Hati Malik pedih, hancur.

"Dhiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin ....... Wheeerrrrr .. wheeeerrrrr ... "bunyi klakson dan mesin dari sepeda motor membangunkannya dari lamunan. "Hei, jangan lupa cuci muka sebelum naik Phoenix tuamu itu!! Kulit hitam ...!" Anton mengejek ketika dia mendahului Malik, naik sepeda motor barunya dengan pongah. Malik tidak menanggapinya, perhatiannya tertuju kepada makhluk indah yang sedang duduk di jok belakang sepeda motor Anton. Ayu, itulah nama makhluk cantik itu. Gadis berusia 16 tahun yang cantik dan manis itu adalah tetangga Malik yang selalu dia puja sejak di sekolah dasar. Rambutnya yang hitam, lurus mengkilap berkibar indah, dia menoleh ke Malik dan tersenyum. Senyum manis, tapi untuk Malik itu terasa seperti racun. Malik menjerit dalam hatinya:"TUHAN BERI AKU SEPEDA MOTOR.. YA TUHAN!! "

Pada kilometer kelima belas, Malik telah melihat gerbang sekolahnya. Tapi dia terkejut ketika ia melihat gerbang itu telah ditutup. Dia bisa melihat beberapa siswa berdiri berbaris, mengangkat kepala mereka memandang bendera dengan khidmad. Pak Mukasil sedang berjalan di sekitar mereka, menunjuk hidung mereka, kemarahan jelas terpampang di wajahnya "Killer". Menyadari bahwa dia dalam kesulitan, Malik serta merta membalik sepedanya untuk melarikan diri, tapi terlambat. Pak Mukasil meraung, mengejar Malik seperti singa kelaparan menangkap mangsanya. "Mau pergi kemana kau, tampan?" Pak Mukasil menggelandang telinga Malik, dan membawanya ke bawah tiang bendera, berkumpul bersama para tawanan  lainnya.  

"Tuhan, tidak cukup ini bagimu? Kapan Engkau akan berhenti memberiku penderitaan? " Malik mengeluh dalam hatinya, lagi. "Apakah kamu ingin tahu apa hukumanmu, tampan?” tanya pak Mukasil.  Malik diam seribu bahasa. "Angkat sepeda tuamu ini! Taruh di bahumu, lalu kelilingi halaman ini tiga kali! Cepaaaaat!" Wajah Malik berubah menjadi merah. Dia akan mengeluh kepada Tuhan lagi ketika tiba-tiba awan menutupi matahari, angin lembut meniup wajahnya memberikan perasaan dingin keseluruh tubuhnya. Dia memandang lama sepeda Phoenix nya. Bayangan tentang Anton dan F1ZR nya tiba-tiba menari-nari dalam pikirannya. Tiba-tiba, dia tersenyum dan berkata pelan, “Alhamdulillah...."  "Kenapa kau senyum-senyum?" bentak Pak Mukasil.  "Tidak Pak, itu hanya .... Alhamdulillah .. "Malik mengangkat sepedanya dan mulai membawa phoenixnya mengelilingi halaman sekolah. Dia menahan tawanya mendengar Anton merengek-rengek.

By Imam Malik
Translated and edited by Supra D’Ocean