Total Pageviews

Saturday, February 1, 2014

Senyumku mengiring rasa yang aku rasa untukmu

sebesar apa cintaku padamu? | waktu kelak akan memberitahu

karena rasa ini belum pantas diucap | tidak selagi aku masih belum siap

karena satu ucapan bisa menodai hati | noktah maksiat yang menenggelamkan diri

aku terlanjur terjembab dalam lubang rasa | bicara atau diam itu sama-sama menyiksa

namun bila terucap bukan hanya menyiksa namun sisakan dosa | karena kita sama-sama belum siap dan memendam rasa bisa jadi nista

masa depanku dan masa depanmu siapa yang tahu? | namun terkadang kebodohan mengambil alih akal sehatku

kukira dengan mencurahkan rasa ini padamu akan menenangkan | padahal kutahu itu awal musibah yang berujung pada penyesalan

maka mungkin diam adalah jalan yang terbaik | atau kujadikan saja ia beberapa lirik?

bagaimanapun aku tak punya muka | bila harus memulai dengan maksiat

maka biarlah rasa ini masih terpendam tanpa diungkap | sampai waktunya aku mampu dan pantas untuk bercakap

seberapa besar cintaku padamu? | mungkin engkau takkan pernah tahu

By Ustadz Felix

Sunday, September 8, 2013

Anak Anak Liar Zaman Itu

Aku tiba tiba rindu masa kecil ketika pohon cherry (kersen) tumbuh rindang di pekarangan. Sejuk memayungi halaman yang terang benderang. Naik dan berebut buahnya yang merah manis dan segar. Teman teman masa kecil yang tak takut jatuh, berloncatan, bergelantungan di cabang cabang kersen di sela sela kupu kuning dan hijau yang berterbangan.

Setelah puas, kami meluncur turun mengambil bungkus permen Johnson atau Sugus, mengikat kedua ujungnya dengan karet gelang lalu mengaitkannya di telunjuk dan ibu jari. Ketapel mini itulah jadinya. Tanaman perdu berbuah seperti anggur milik tetangga menjadi sasaran berikutnya. Buah orange kecil kecil itu masuk ke saku baju dan celana kami menyisakan noda kecoklatan dan teriakan ibu ibu kami yang memarahi kami karena mengotori baju keesokan hari. Amunisi telah terkumpul di saku, penuh dan menonjol membuat tubuh kami yang kecil dan kurus tampak seperti digelayuti tumor.

Perang dimulai. Sesekali kami saling menembakkan amunisi orange kami. Punggung yang kena atau pipi yang terketapel membuat kami menyerah. Sakit membuat kami lebih kreatif, kami mencari tembok tetangga. Tembok itulah sasaran kami. Serentak kami muncratkan cairan orange itu di tembok putih. Tembok yang bersih berubah menjadi penuh graffiti lukisan abstrak tembakan kami. Puasnya tak terkira. Tak lama kemudian maki maki pemilik rumah membuyarkan pasukan kami.

Kami tidak nakal, kami hanya suka mengambil buah milik tetangga. Jambu, mangga atau tebu adalah makanan kami. Kami liar dan bahagia. Semua itu tak kan pernah kami lihat lagi, bahkan adik adik atau anak anak kami tak berkesempatan merasakan kenikmatan itu. Smartphone, video games, internet, TV adalah mainan masa kini. Begitulah, memang jaman telah berganti.

Sunday, September 1, 2013

Semalam di Ranu Kumbolo



Ziffa mempererat genggaman tangannya di lenganku tanpa menghiraukan aku yang juga kaku karena tegang dan dingin. Dia tak henti-hentinya terisak lirih ketakutan. Suaranya gemetar, nafasnya tercekat setiap kali kaki kami menginjak ranting kering dan patah. Aku sendiri tidak ingin bersuara, aku takut mendengar suaraku yang pasti parau karena tenggorokan ini sudah sangat kering dan pahit. Aku tidak mau suaraku didengar oleh makhluk-makhluk hutan ini dan mengundang mereka ke tempat kami. Aku dan Ziffa hanya bergerak terus menerobos kabut dingin gunung Semeru. 

Kami terpisah dari tim peneliti botani dari universitas kami saat Ziffa minta izin untuk buang air kecil. Aku tentu saja menemani dia karena aku adalah pacarnya. Kami berhenti di sebuah ceruk batu yang terlindung pohon besar, Ziffa melakukan panggilan alamnya sedangkan aku menunggu dia dari balik pohon. Tim bergerak pelan-pelan melanjutkan perjalanan karena mereka tahu aku hafal rute balik ke perkemahan kami. Waktu itu matahari sudah tampak rendah di ufuk barat, jarum jam menunjukkan pukul 4.30, belum terlalu gelap. Akan tetapi cuaca di gunung memang sulit ditebak. Baru saja cuaca cerah tiba-tiba kabut tipis mulai turun. Aku berteriak memanggil Ziffa untuk segera menuntaskan hajatnya. Dia hanya berteriak balik menyuruhku untuk menunggu sebentar dan melemparkan sebotol air ke arahnya. Dia bilang perutnya tiba-tiba sakit. Aku mendesah kesal.

Sekitar lima menit berselang aku mendengar gemericik air dituang dari botol, aku sudah ingin menggoda Ziffa lalu tiba-tiba diam tertegun melihat gumpalan kabut yang berputar-putar dari arah jalan setapak tempat dimana teman-teman kami baru saja berdiri.  Kabut itu semakin lama semakin membesar dan tampak bergerak mendekat kearah kami. Aku berteriak ke Ziffa untuk melihat kejadian ini tapi rupanya Ziffa sudah berdiri di belakangku. Wajahnya kelihatan kaku, bibirnya berkedut aneh lalu dia berkata, “Ayo kita pergi sayang. Lari.. lari…” Ziffa gemetar, aku bingung. Kalut melihat kabut misterius yang menebal dan khawatir dengan keadaan Ziffa yang tiba-tiba aneh aku segera meraih tangannya dan menariknya pergi dari tempat itu. “Iya, kita harus lari,” ucapku sambil menggelandangnya. Aku terus menariknya sambil berlari tanpa mempedulikan arah. Aku merasa kabut itu seperti wedhus gembel di gunung Merapi yang mampu menghanguskan apapun yang di laluinya. Aku tidak ingin terpanggang di hutan ini bersama kekasihku. Aku lupa apakah itu wedhus gembel atau bukan, yang ada dalam pikiranku hanyalah berlari menjauh dari kabut gelap itu. Disaat kami berlari itulah tiba-tiba tanah yang kami pijak bergerak, yang aku tahu hanyalah Ziffa tergelincir ke lereng yang terjal. Tangannya yang aku pegang menarikku ikut terjun. Kami jatuh terguling-guling. Lalu gelap.

Ziffa merasa hidup kami berdua akan berakhir di hutan Tengger ini. Dia tak pernah menyangka perjalanan explorasi botani di Taman Nasional gunung Bromo-Tengger-Semeru yang awalnya penuh dengan canda tawa  akan berakhir seperti ini. Di tengah belantara hutan yang gelap dan dingin aku masih berusaha untuk menjaga harapan hidupku. Pagi pasti tak akan lama lagi dan tim evakuasi akan segera menemukan kami. Aku hanya ingin mencari tempat berlindung yang lebih layak karena kekasihku tampaknya tak mampu berada di tengah alam bebas. Tas ransel Ziffa mungkin tertinggal di ceruk batu itu sedangkan ranselku sendiri hanya berisi buku catatan, kotak plastik, beberapa makanan ringan, pisau dan senter yang pecah. Air minum telah habis sejak Ziffa memakainya untuk membersihkan diri sedangkan peta dan kompas ada di ketua tim expedisi kami. Yang tersisa untuk kami adalah kemustahilan untuk menemukan jalan pulang malam ini juga.

Cahaya yang berasal dari nyala api di kejauhan membesarkan hatiku. “Sayang, tenanglah. Kita selamat. Lihat di sana ada api, pasti ada orang berkemah di sana.” “Benarkah? Syukurlah ayo kita segera ke sana,” jawab Ziffa. Dia tampak lebih bersemangat setelah melihat nyala api itu. Setelah berjalan cukup lama sampailah juga kami di tempat api tersebut. Ada sebuah tenda berwarna coklat lusuh dan tampak tua sekali. Cahaya api yang kami lihat rupanya adalah sebuah lampu minyak yang di sekeliling apinya ada kaca kotor berwujud corong, menggantung di depan pintu masuk tenda. Lentera kaca yang sangat kuno. Sejenak perasaan tidak mengenakkan menerpa diriku. Tapi, Ziffa sudah memanggil-manggil orang yang mungkin berada di balik kain tebal itu. “Permisi, permisi. Ada orang? Bisakah kami meminta bantuan?” Terpaan angin basah menjawab panggilan Ziffa. Lalu suara kecipuk air menumbuk batu terdengar lirih. Ada air di sekitar tempat ini batinku.

Tak ada siapapun di tenda itu kecuali bayang-bayang api yang meliuk-liuk membias di dinding tenda. Akhirnya kami memutuskan untuk masuk ke dalam tenda tua itu. ketika tanganku menyibak pintu tenda, kain kasar yang rapuh menyentak jari-jariku. Tenda ini bisa saja runtuh menjadi debu kapan saja karena usangnya. Pintu tenda terbuka, cahaya lentera menembus sela-sela tubuh kami menerangi sedikit bagian tenda yang memang tidak luas. Sebuah gaun putih pudar tergeletak di samping sebuah mantel coklat. Aneh sekali di tempat seperti ini kami mendapati sebuah gaun kuno yang biasa aku lihat di film-film klasik Eropa. Ya, gaun yang biasanya dipakai oleh wanita-wanita Eropa di abad ke-18.
                                                                        ***

Aku menepuk-nepuk pipi Ziffa yang masih belum sadarkan diri. Mengguncang-guncang tubuhnya perlahan agar dia segera siuman. Hanya dia satu-satunya sumber kekuatanku saat itu. Ditengah alam, dimalam buta dengan tubuh perih dan letih setelah terjatuh dari lereng menyadarkanku bahwa kami berdua telah tersesat. Tak ada cahaya yang cukup terang di langit, hanya suara nafas kekasihku yang memberi petunjuk arah di mana tubuhnya berada. Aku kehilangan arah, aku tersesat gara-gara kabut yang mengejar kami. Akhirnya Ziffa terbangun, dia langsung menangis, tangannya memukul-mukulku. Aku berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa aku bersamanya, dia mulai tenang. Ziffa memeluk leherku dan bangkit duduk. Aku berusaha bersikap tenang agar dia tidak semakin takut, aku bilang padanya bahwa kita akan melawati semua ini berdua dan akan selamat. Setelah kakinya mampu berdiri lagi kami mulai bergerak mencari tempat berlindung hingga akhirnya kami mendapati diri kami berada di depan sebuah tenda tua.


 Ziffa masuk ke dalam tenda itu duluan. Aku kembali keluar untuk memeriksa sekeliling tenda. Aku tetap beranggapan bahwa pemilik tenda ini sedang keluar entah kemana. Sekeliling tenda aman. Di samping kiri agak jauh dari tenda aku melihat sedikit kilatan cahaya terpantul. Aku ingat bahwa aku mendengar suara air. Pasti itu adalah sebuah danau karena jika itu sungai aku tidak mendengar suara air mengalir. Aku kembali ke pintu depan tenda. Kusibakkan sekali lagi kain rapuh yang kasar itu. Seketika mataku terbelalak, aku melihat seorang perempuan muda memakai gaun putih kuno. Aku hendak meminta maaf kepadanya lalu aku tersadar bahwa wanita itu adalah Ziffa, kekasihku. Dia telah memakai gaun itu.

Dia tampak cantik di tengah ruangan tenda yang sempit. Wajahnya anggun melembut karena cahaya lentera. Yang tampak nyata bagiku adalah aku tak lagi melihat kegelisahan ataupun ketakutan di matanya. Dia tampak begitu tenang. Aku duduk di sampingnya dan berkata, “Ada semacam danau atau telaga di sebelah kiri kita, sayang. Mungkin pemilik tenda ini ..” kalimatku terpotong oleh suaranya yang lembut tapi tegas. “Ranu Kumbolo.” Aku memandanginya keheranan, “Ra.. Ranu Kumbolo? Apa maksudmu, sayang? Siapa dia?” Ziffa memandangku lalu berkata, “Danau itu namanya Ranu Kumbolo. Danau sakral di kaki gunung Semeru.” “Oh, kamu tahu tempat ini? Eh.. tapi kenapa kamu memakai baju ini? Bagaimana jika pemiliknya datang dan tidak terima?” aku menghujaninya dengan pertanyaan. “Tenanglah sayang,” kata Ziffa. “Aku tahu tempat ini dengan baik, aku yakin tenda ini telah ditinggalkan pemiliknya jadi jangan khawatir kita bisa bermalam di sini.”

Ziffa menarik tubuhnya mendekatiku, disandarkan kepalanya di dadaku tangannya memeluk erat tubuhku. Aku merasa agak heran dengan apa yang dia lakukan setelah semua kejadian yang kami alami. Tapi secara refleks aku membalas pelukannya. Kami saling memandang dan dia bilang dia menyayangiku. Aku hendak mengatakan hal yang sama tapi urung aku lakukan karena dia telah mendorongku jatuh terlentang. Sebagai lelaki aku tentu saja sulit menahan diri ketika kekasihku bersikap seperti ini. Kepalaku dipenuhi oleh nyanyian-nyanyian cinta yang memaksaku melepaskan seluruh kendali diriku. Ketika dia telah duduk di perutku, aku tiba-tiba tersadar. Rambut Ziffa berwarna hitam bukan coklat gelap seperti ini dan yang aku tahu dia juga tidak akan melakukan hal seberani ini kepadaku. Sontak aku mendorongnya kebelakang dan menarik tubuhku menjauh. Aku pandang dia dan berteriak, “Ziffa.. Ziffa.. kau siapa? Kamu bukan Ziffa. Kemana dia?” Aku semakin meracau karena pikiranku telah dikuasai oleh kebingungan dan rasa takut yang amat sangat. Aku tidak kenal siapa wanita cantik yang berada di depanku dan aku juga khawatir dengan keadaan Ziffa. Aku bahkan tidak tahu dimana dia sekarang.

Gelombang ketakutan semakin menelanku. Perempuan bergaun putih itu kini berdiri di depanku. Dia tersenyum lebar sekali, lalu suara tawa yang mengerikan memenuhi setiap inderaku. Aku menendang-nendang sampai keluar dari tenda. Berlari di kegelapan karena nyala lentera yang tak sanggup lagi menerangi lebih jauh membuatku kehilangan arah. Aku tersandung dan jatuh ke air. Nafasku pendek terputus-putus. Keringat dingin mengucur dari dahiku walaupun kakiku terasa dingin membeku. Ranu Kumbolo, aku berada di danau yang diucapkan wanita itu ketika di dalam tenda. Perlahan-lahan wanita itu mendekat, lentera tadi sekarang berada di tangan kanannya. Dia berjalan begitu halus, melayang tipis di atas tanah. Aku bisa melihat sekelilingku penuh dengan air yang beriak. Aku membuka mulutku bertanya, “Apa yang kamu inginkan? Kenapa kamu menggangguku?” Wanita itu tersenyum, “Aku menyukaimu wahai pemuda, menikahlah denganku malam ini juga dan kamu akan merasakan kenikmatan yang tiada berujung. Malam pengantin kita tak akan pernah berakhir. Hihihi..” “Tidak, aku tidak mau. Aku ingin kembali ke kekasihku. Aku ingin kembali ke teman-temanku.” “Lelaki bodoh, aku menawarkanmu kehidupan yang abadi penuh dengan kenikmatan tapi kamu menolaknya. Kalau begitu kembalikan sesuatu yang telah kau ambil dari hutan tadi. Atau kamu ingin berada di sini selamanya.” Aku terperanjat dalam ketakutanku. Sesuatu yang telah aku ambil dari hutan. Apa, aku bahkan tidak ingat telah mengambil sesuatu yang berharga dari dalam hutan. “Aku tidak mengerti maksudmu. Apa yang telah aku ambil darimu?” “Jangan berbohong wahai manusia, kembalikan Naga Kesara yang telah kau ambil. Kalian selalu saja datang dan mengambil milik kami tanpa meminta izin pada alam. Kalian merusak tempat kami tinggal.”

Naga Kesara. Aku tidak pernah sekalipun mendengar nama benda itu. Nama sesuatu yang sepertinya berasal dari bahasa Jawa atau mungkin Sansekerta. “Aku tidak mengerti, aku tidak mengambil Naga yang kamu maksud. Aku hanya ingin meniliti tanaman di tempat ini.” Wanita itu semakin dekat, lentera yang dia bawa tampak semakin besar nyala apinya. Dia tertawa lagi dan berkata, “Apapun alasanmu aku tahu kamu membawanya, Naga Kesara itu adalah milik kami. Untung aku menyukaimu wahai pemuda, jika tidak aku sudah membakarmu habis dan menenggelamkan belulangmu di dasar Ranu Kumbolo ini.” Aku tiba-tiba ingat bahwa aku telah mengambil beberapa bunga dan daun Messua ferrea. Tentu saja aku mengambilnya karena salah satu tujuan kami datang ke sini adalah untuk membandingkan tanaman berkhasiat yang lebih dikenal dengan sebutan pohon Dewandaru yang tumbuh di hutan ini dengan yang telah ditanam di daerah dataran rendah. Menyadari akan hal itu aku segera berkata, “Maafkanlah aku, aku memang memetik bunga dan daun Dewandaru aku menyimpannya di kotak di dalam tasku. Ambilah, aku mohon jangan ganggu aku.” Perempuan yang menyerupai gadis belanda itu terbang mundur sambil tertawa, lentera itu dia lemparkan kearahku. Aku berteriak sambil menutupi wajahku. Habis, tamatlah aku sampai disini. Lentera itu jatuh di depanku tapi apinya tidak membakarku. Lentera itu tenggelam, nyala itu lenyap. Lalu gelap.

Pipiku ditepuk-tepuk, tubuhku diguncang-guncang. Saat kubuka mataku aku melihat Ziffa menangis. Teman-teman expedisiku tampak cemas. Beberapa orang dari tim medis sedang merawatku. Aku selamat. Aku memeluk Ziffa, berbisik di telinganya bahwa aku mencintainya. Dia berkata bahwa dia juga mencintaiku walaupun kemarin dia sempat kebingungan karena melihatku berlari meninggalkannya di hutan sendirian.

Sehari berlalu, aku telah sepenuhnya pulih. Aku ditemani seorang juru kunci gunung semeru di klinik tempat aku dirawat. Setelah menceritakan segala yang terjadi padaku malam itu, orang sepuh itu tersenyum. Dia bilang, “Kamu sedang tidak beruntung sekaligus beruntung, Nak.” Terus terang kalimatnya membuatku bingung. Setelah bertanya apa maksud ucapannya, lelaki tua itu melanjutkan, “Kamu tidak beruntung karena kamulah yang di datangi penunggu kaki gunung Semeru karena kalian tidak meminta izin ketika akan melakukan kegiatan kalian. Tapi kamu beruntung karena rupanya si penunggu itu menyukaimu. Sering kali pendaki hilang dan tak ditemukan lagi. Kalaupun diketemukan, mereka sudah menjadi mayat.” Aku terperanjat, bulu kudukku meremang. “Kenapa yang datang padaku menyerupai kekasihku, Kek? Tapi kemudian aku melihatnya seperti noni Belanda.” Si juru kunci berkata, “Ya, biasanya si penunggu selalu menggoda korbannya untuk bercinta, dia bisa menyerupai siapa saja. Dan jika hubungan itu terjadi maka kamu tidak akan pernah bisa kembali ke sini. Jiwamu akan terus tersesat menjadi budak si penunggu itu. Tentang noni Belanda, memang Ranu Kumbolo dahulu pernah menjadi tempat beristirahat orang Belanda. Lalu entah kenapa ada yang meninggal disana. Mungkin saja yang kamu lihat semalam ingin menunjukkan sesuatu kepadamu.” Kakek itu pamit sebelum aku sempat selesai menanyakan segala sesuatu yang berkecamuk dalam pikiranku.

Aku dan rombongan akhirnya kembali ke Surabaya. Di perjalanan aku baru sadar bahwa aku tidak tahu siapa si kuncen itu sebenarnya. Bagaimana mungkin dia bisa tahu semua cerita itu jika tak pernah ada yang selamat sebelumnya. Lagi pula tak seorangpun dari anggota expedisi melihat aku dijenguk seseorang, Ziffa pun tidak. Sesampainya di Surabaya aku mencoba menghubungi klinik tempat aku dirawat. Aku ingin menanyakan apakah mereka mengenal siapa lelaki yang mengaku sebagai juru kunci Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru yang menjengukku. Suara di seberang sana hanyalah dengungan halus lalu suara tawa noni Belanda itu terdengar berderai-derai.

*NagaKesara atau Nagasari atau lebih dikenal dengan Dewandaru
*Ranu Kumbolo danau indah di kaki gunung Semeru

Sup. 2 Sep 2013
Cerpen Jusuf AN, Dimuat Suara Merdeka Minggu, 11 Agustus 2013

BIARLAH Ayah saja yang menderita, dengan perut pias membusung, serta wajah ditumbuhi bercak-bercak yang setiap menit akan meledak buncahkan nanah dan darah. Biarlah Ayah tercekam dalam detik-detik sekarat di atas ranjangnya yang luas ditemani puluhan dokter paling handal di kota ini. Andai saja ia nanti mati, kami tak ingin menguburkannya. Kami tak ingin ia mengenalkan pada kami hal paling menakutkan bernama derita.
***
Setelah menyelesaikan kuliah, kami berempat disuruh memilih pekerjaan yang kami suka. Dan entah kenapa pilihan kami sama: membantu Ayah memimpin kota. Sebuah kota yang subur dengan kekayaan alam yang luar biasa melimpah. Sebuah kota yang penduduknya taat beribadah, tetapi gampang dibodohi.
Ayah memberi kami jabatan penting di kantor pusat kota. Ia juga mengajak kami mengikuti rapat-rapat politik bersama anak buahnya. Kami menyukai pekerjaan ini, pekerjaan yang tidak lebih dari sekadar bermain-main. Kami sering menyebutnya, permainan anak dewasa. Dalam permainan itu kami selalu menang. Siapa pun pasti akan puas setiap kali memenangkan permainan, termasuk juga kami.
Keluarga kami adalah yang terkaya di kota ini. Kami telah mendirikan puluhan pabrik, hotel, restoran, dan villa yang tersebar banyak tempat. Kekayaan yang kami miliki semakin melimpah, membuat banyak orang iri, terutama musuh-musuh politik yang tak pernah jera berusaha menjatuhkan Ayah, yang hanya segelintir orang saja sebenarnya. Meski begitu, dengan mudah mereka berhasil kami kalahkan. Tak ada yang bisa membongkar kebusukan di balik kekayaan yang kami miliki. Tak ada yang bisa membaca dan menandingi siasat politik kami.
***
Di hari ulang tahun Ayah ke-70 kami diundang di sebuah villa di pegunungan yang sejuk. Anehnya kami hanya boleh datang sendirian saja. Awalnya kami mengira Ayah sekedar ingin merayakan pesta dan bernostalgia serta memanjat doa panjang umur. Kami datang, membawa kado masing-masing. Ketiga kakakku, masing-masing memberi kado tombak, anak panah, dan tongkat yang mereka curi dari sebuah museum. Sementara aku membawa kue berbentuk hati yang ditaburi intan berlian.
Wajah Ayah nampak bahagia dan bangga punya anak seperti kami. "Terima kasih atas kedatangan kalian semua," katanya. Kami semua tersenyum. "Mungkin sudah waktunya untuk mengatakan hal penting bagi kalian. "
Kami berempat saling pandang. Sebuah pertanyaan tergambar dalam bola kecokelatan sepasang-pasang mata kami. Warisan?
Ayah seolah tahu isi pikiran kami, dengan cepat membantah, "Bukan masalah warisan yang ingin aku sampaikan, tapi sesuatu yang teramat penting." Serentak kami mengunci mulut rapat-rapat dan membuka telinga lebar-lebar. Andai pun benar soal warisan, kami mungkin akan mengatakan secara serentak, bahwa kami tak butuh lagi warisan, sebab kekayaan kami sungguh sudah sangat melimpah.
Sepasang bibir Ayah mulai bergetar lagi, "Kematian terasa semakin dekat." Sunyi berkuasa sejenak. Desau angin dan serangga malam yang merintih kedinginan melengkapi senyap. "Jika memang firasat Ayah ini benar, maka bersamaan dengan penguburan mayatku nanti, semua harta yang kita miliki akan ditelan bumi." Angin yang berdesir tiba-tiba diam. Suasana lengang mengkhidmati wajah kami yang tercengang. Mulanya kami mengira ucapan Ayah yang terdengar seperti syair itu hanya bercanda belaka. "Bercanda memang bisa membuat orang awet muda, tapi toh kita akan tetap mati juga." Lagi-lagi Ayah tahu isi otak kami.
“Mengapa bisa begitu?” tanyaku lantang.
Ayah menjelaskan, bahwa harta dan jabatan yang sekarang kami miliki sekarang sebenarnya bukan murni kerja kami. Melainkan bantuan para iblis. Jika Ayah meninggal nanti, iblis-iblis yang telah menjadi anak buah Ayah itu secara otomatis akan pergi dan membawa harta kekayaan kami ke alam mereka.
Bagi kami penjelasan Ayah tak masuk akal. Namun kemudian, Ayah mengatakannya lagi dengan suara lugas dan jelas. "Harta kalian akan tersedot ke bumi bersama penguburanku. Camkan itu!"
Bagaimanapun aku tak rela jika hartaku hilang. Bagaimana mungkin aku mengikhlaskan puluhan pabrik, hotel, restoran dan villaku yang tersebar di berbagai kota. Dan tiba-tiba saja seolah ada kekuatan yang menggerakkan tanganku untuk mencabut pistol, dan menodongkannya di kepala Ayah.
Ayah justru menyuruhku untuk menarik pelatuk pistol yang kugenggam dengan gemetaran. Keseriusan dalam kata-katanya nampak pada garis-garis keriput dan sorot matanya yang berwarna kecokelatan. Hampir saja peluru itu meletup dan menembus pelipisnya jika ketiga kakakku tidak cepat-cepat merebut pistol yang aku genggam dan menyeretku keluar setelah membisiku sesuatu.
Tanpa sepatah kata, kami berempat pergi dari villa itu. "Dengarkan dulu penjelasan Ayah! Meski kalian tidak menguburku, tapi…" Masih sempat kami mendengar Ayah berteriak memanggil kami untuk kembali. Tapi kami tak lagi peduli.
***
Akhirnya, kami menemukan strategi untuk menyelamatkan harta benda yang kami miliki. Jika Ayah meninggal nanti, kami tak akan kami mengubur mayatnya, sehingga harta kekayaan yang kami miliki akan selamat.
Sejak kecil kami dididik Ayah untuk percaya, bahwa tak satu pun orang di dunia ini yang sepenuhnya setia, dan mungkin sudah saatnya bagi kami untuk berkhianat, meski pada ayah kami sendiri.
Beberapa hari setelah perayaan ulang tahun itu, utusan yang kami tugaskan untuk membuntuti Ayah datang memberi kabar. Katanya, Ayah menderita sakit lambung. Dokter pribadinya mengatakan, ada gangguan pencernaan biasa dan akan sembuh satu jam setelah minum obat. Tapi penyakit itu justru kian mendera Ayah. Operasi bedah pun dilakukan. Tak ditemukan apa-apa dalam perut Ayah kecuali lima peluru yang entah kenapa bisa bersarang dalam perutnya. Mungkinkah Ayah telah menelan peluru itu bersama sebatang pisang seperti saat ia menguntal kapsul? Atau bisa jadi musuh-musuh politik Ayah yang telah meneluhnya.
Lima peluru yang berhasil diambil dalam operasi itu tidak serta-merta menyembuhkan rasa sakit dalam perut Ayah. Bahkan, perutnya kian lama kian membuncit. Bukan dalam hitungan bulan seperti perkembangan kandungan perempuan. Hanya dalam waktu seminggu perut Ayah telah menggelembung seperti balon, pias seperti warna cemas wajah kami.
Selang beberapa hari, kami kembali mendapat kabar, Ayah mengeluhkan gatal-gatal di wajahnya. Semua dokter paling handal di jagat ini kelimpungan dengan penyakit yang dideritanya. Belum pernah mereka mendapati penyakit aneh seperti itu. Jika Ayah orang miskin mungkin ia akan dibiarkan mati, kemudian mayatnya akan dijadikan bahan penelitian para dokter. Untungnya Ayah punya banyak simpanan uang untuk membayar dokter-dokter itu.
***
Setiap hari kami memantau keadaan Ayah dari layar kaca hasil rekaman kamera yang sengaja kami pasang di langit-langit kamar rawat Ayah. Dari layar kaca itu kami bisa melihat wajah Ayah dipenuhi bercak-bercak yang tiap menit meledak membuncahkan nanah dan darah. Perutnya masih membusung dan sewaktu-waktu mungkin akan meledak juga. Di layar itu pula kami bisa melihat sepasang bibir Ayah senantiasa tersenyum aneh, matanya memandang fokus kamera yang sepertinya telah ia ketahui. Ia seperti tengah mengejek kami yang durhaka dengan senyum itu dan dengan cara memandangnya yang tak wajar.
Para dokter terus berusaha untuk menyembuhkan penyakit Ayah. Namun, apalah daya para dokter. Mereka hanya tahu asal muasal nafas dan tak tahu dari mana, serta kapan datang dan perginya nyawa.
Kecemasan kami memuncak ketika tiba-tiba, di layar kaca itu, nampak perut Ayah meledak, persis seperti gunung berapi yang meletus. Ayah meninggal dengan tubuh dipenuhi nanah kental yang bercampur dengan darah yang keluar dari perutnya yang meledak. Susah bagi kami untuk mengatakan berduka cita atas kematiannya. Tapi susah pula untuk mengatakan kami berbahagia.
***
Tak bisa kami bayangkan saat semua harta yang kami miliki amblas jika kami mengubur mayat Ayah. Puluhan rumah megah, ratusan kendaraan mewah, hotel, restoran, dan villa yang tersebar di seluruh kota, triliyunan uang di berbagai bank, berkilo-kilo emas, batu permata dan berlian yang kami miliki akan hilang begitu saja ditelan bumi. Dan jika semua yang kami miliki itu akan benar-benar amblas ke bumi, kami mengira akan terjadi gempa berkekuatan besar melanda negeri ini. Gempa itu tentu tidak hanya akan menewaskan kami, tapi juga ribuan orang lainnya.
Kami kemudian berkumpul untuk memilih siapa di antara kami yang akan dicalonkan dalam pemilihan nanti. Kami berempat telah siap menggantikan Ayah menjadi pemimpin kota ini.
Tapi, tiba-tiba saja bau busuk menyergap hidung kami. Sekejap melintas pertanyaan dalam pikiran kami, adakah mayat Ayah telah membusuk. Meski kami tidak melihatnya dalam layar kaca itu, karena tubuh Ayah tertutup rapat oleh kain hitam, tapi kami mulai mencium bau busuk itu dari pakaian yang kami kenakan. Bola mata kami semakin tajam memandang layar kaca yang merekam tubuh Ayah. Tapi kian lama gambar dalam layar kaca itu kian pudar. Mungkinkah layar itu juga ikut membusuk. Pandangan kami kemudian beredar ke sekeliling ruangan. Kami melihat warna tembok yang tadinya putih bersih berubah menjadi kecokelatan. Kami berdiri, berjalan mendekat, merabanya, dan dapat kami rasakan tembok itu basah dan bau busuk keluar darinya. (Sofa, meja, lukisan, dan semua benda yang kami kenakan juga mengeluarkan bau busuk).
Di sela-sela kebingungan itu, kakakku yang paling tua mengusulkan untuk membakar mayat Ayah. Kontan aku dan kedua kakakku tidak setuju. Kami tidak ingin semua harta kami akan hangus terbakar. Dan apa jadinya dunia ini jika semua harta kami terbakar.
Dalam keadaan seperti itu aku berlari ke meja telpon untuk menghubungi perawat yang masih berjaga di kamar tempat Ayah tergolek tanpa nyawa. Aku menyuruhnya untuk mengawetkan mayat Ayah. Pilihan ini lahir dari kebingunganku.
Dengan wajah menggurat cemas, kami memandang layar monitor yang buram. Di sana, samar-samar kami lihat mayat Ayah tengah disemprot zat pengawet oleh perawat yang mengenakan masker. Tubuhku mendadak kaku! **
Yogyakarta, 2006-Wonosobo, 2013

Wednesday, May 15, 2013

GRAMAPHONE TUA


Cerita ini merupakan hasil karya dari Shintia Pratiwi, sahabat bloger di blog.yess-online.com. Untuk hasil karya asli atau untuk kontak beliau bisa klik di http://blog.yess-online.com/blogs/shinta-pratiwi
------------------------------------------------------------------------------------------- thanks to Shintia Pratiwi



Seperti biasa setiap malam setelah mengerjakan PR dari guru, aku menghabiskan waktu di depan laptop sambil membuka akun facebookku. Dari kamarku di lantai dua rumahku yang cukup besar, aku mendengar suara mobil papa yang baru berhenti di depan pintu utama. Aku langsung berlari ke jendela dan mengintip dari tirai untuk melihat papa. Kali ini ia datang membawa sebuah kotak kayu yang ukurannya cukup besar. Karena penasaran aku langsung berlari menghambur keluar dari kamar dan dengan cepat menuruni tangga.

“Papa !” Aku berlari menghampirinya, dan tak lupa memeluknya.

“Sarah... Mama mana ?”

“Sudah tidur.... Papa lama banget sih jalan-jalannya. Kali ini papa bawa apa ?”

“Ini, papa beli gramophone...”

“Wah... Mana coba liat.” Hampir berlari aku menghampiri kotak kayu berwarna hitam yang diletakkan di atas meja lemari tua berukuran tanggung yang ada di ruangan khusus barang koleksi. Papa mengikuti langkahku dari belakang. Dengan susah payah papa membuka kotak itu. Saat dibuka, aku langsung terpana. Bentuknya masih sangat mulus, barang yang sangat indah.

“Wow....!!”

“Bagus kan ? Papa beli di Jogja, gramophone ini dari tahun 1920an lo. Tau ga awalnya yang punya gramophone ini ga mau jual. Tapi papa paksa terus, sampai akhirnya dia mau jual.” Keluarga kami memang mempunyai hobi mengkoleksi barang-barang lama. Terutama papaku, di sela-sela perjalanan bisnisnya, pasti ia pulang membawa benda baru. Namun dari semua benda yang ayahku beli, untuk sekaramg aku paling menyukai gramophone ini. Entah kenapa menurutku benda ini terlihat begitu menarik sekaligus.... Misterius mungkin ? Aku juga tidak tahu pasti.

“Loh kok ga mau jual ? Kenapa ?”

“Papa juga ga tau, yang papa ingat dia Cuma bilang takut ngejual ini.”

“Tapi kan papa hebat, sampai bisa bikin dia mau jual.”

“Pasti dong... Oh iya papa lupa..” Papa mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat dari tasnya. “Nih pasangannya..” Aku langsung tahu bahwa itu pasti piringan hitam untuk gramophone ini.

“Wow wow wow !!” Aku mengambil piringan hitam itu dari tangan ayahku. Di amplop coklat yang membungkus piringan hitam itu ada tulisan.

“Li-ef-lief-de... Liefde ?”

“Itu judul lagunya, kata yang jual itu artinya cint dalam bahasa Belanda. Jadi yang jual ini cerita, kalau gramophone ini dulunya punya keluarga Belanda waktu jaman penjajahan dulu. Nah dulu yang punya suka mutar lagu ini.”

“Hmmm gitu.. Kita putar yok.” Saat hendak mengeluarkan piringan hitam itu dari bungkusnya, papa langsung menahan tanganku.

“Jangan nak !” Aku memandang papaku dengan heran.

“Loh kenapa ? Emang ga bisa dipakai lagi ya ?”

“Bukan gitu, kata yang jual, lagunya gak boleh diputar ! Pokoknya jangan ! Oke ?” Tentu saja aku langsung bingung, tidak mengerti kenapa piringan hitam ini tidak boleh di putar.

“Kok gitu ? Aneh ah !”

“Pokoknya jangan ya.” Papa langsung mengambil piringan hitam itu dari genggamanku dan menaruhnya di samping gramophone.

“Sarah, sebaiknya sekarang kamu tidur. Besok kan sekolah. Oke ?” Dengan kesal aku mengangguk. Sebelum menuju ke kamar papa mencium keningku dan mengucapkan selamat malam.

Keesokan di minggu pagi, aku bangun dan menemukan papa dan mama sedang terburu-buru bolak balik dari ruang tamu ke mobil sambil membawa beberapa koper. Argh ! Pasti aku ditinggal lagi !

“Mah, Pah ! Mau kemana ?”

“Sarah, mama sama papa mau ke Bali, ada urusan bisnis. Maaf ya kalau perginya mendadak.”

“Yahhhhh... Aku mau ikut.”

“Jangan Sar... Kamu kan sekolah.”

“Berapa lama ?”

“Mungkin 1 sampai 2 minggu.”

“Oke... Tapi janji kalau pulang bawa kejutan !”

“Pasti... mbok Min, saya titip Sarah ya.” Seperti biasa setiap papa dan mama pergi, mereka selalu menitipkanku kepada pelayan yang paling setia di keluargaku. mbok Min bekerja di sini sudah 19 tahun, tepatnya sejak dua tahun sebelum aku lahir.

Setelah siap, papa dan mama kemudian pergi lagi meninggalkanku dan mbok Min berdua di rumah. Seharian di rumah hanya di depan laptop membuatku merasa sangat bosan. Aku keluar dari kamar dan menuju ruang koleksi. Ide iseng muncul di otakku. Aku mengeluarkan piringan hitam yang tadi malam dibeli papa. Lalu meletakkannya di pemutar gramophone itu. Setelah meletakkan jarumnya, aku memutar pedal yang berada di samping kotak gramophone itu, tak lama muncul suara dari cerobong yang nirip bunga terompet. Awalnya agak aneh mendengar lagu dengan bahasa yang sangat asing di telinga, tapi lama kelamaan aku hanyut ke dalam ritmenya. Alunan musiknya sangat lembut, suara penyanyi perempuan itu sangat merdu. Mungkin hampir lima menit kemudian, lagu itu berhenti. Aku memutarnya lagi dan begitu seterusnya, setiap lagunya berhenti, aku memainkannya lagi.

Dengan riang aku menari-nari sendiri sambil mengikuti alunan lagu itu. Sampai akhirnya aku lelah dan membaringkan badanku di kursi tua panjang yang ada di tengah-tengah ruangan koleksi. Lagu itu masih memutar saat tanpa ku sadari aku tertidur. Aku membuka mata, dikejutkan oleh dentingan bandul logam kuning jam dinding tua di tengah ruangan. Sekarang tepat pukul 6 sore. Terlihat ruangan sekarang sangat gelap. Tanpa ku sadari aku tertidur kurang lebih 4 jam. Aku bangkit dari kursi dan pergi menuju dapur, lalu menuju lemari es untuk mengambil segelas air minum. Ku lihat di sekeliling tidak ada mbok Min. Aku mencari ke kamarnya yang terletak di belakang dekat dapur. Di sana ia juga tidak ada, aku membalikkan badan dan berteriak saat melihat seorang wanita tua berambut putih berada tepat di depan wajahku.

“Non ! Ini mbok Min !”

“Aduh mbok !!! Ngagetin aja !”

“Non cari saya ??”

“Ga juga sih, penasaran aja mbok ga ada. Ya sudah deh, aku ke atas.” Aku segera menuju kamarku di lantai dua. Kunyalakan laptop yang setiap hari kuletakkan di ranjangku, lalau melakukan rutinitas biasa, browsing-browsing internet. Sedang asik menjelajahi dunia maya, tiba-tiba saja suhu kamarku terasa sangat panas butiran peluh mengalir di sekujur tubuhku. Aku mengambil remote pengontrol pendingin udara di kamrku, seperti biasa suhunya 19 derajat. Tetapi kenapa terasa begitu panas ? Aku menurunkan lagi suhu pendingin udara sampai 10 derajat. Tetapi tetap saja kamarku terasa sangat panas. Karena tidak tahan, aku langsung menuju kamar mandi yang ada di kamarku. Aku menggeser pintu kaca kamar mandiku dan memutar pancuran. Air dari pancuran sangat menyejukkan kulitku, lumayan untuk meredam suhu yang panas ini. Sangat sedang memakai sampo, aku menoleh ke kiri dan tiba-tiba terkejut saat melihat wanita tua berambut putih berbadan kurus, seperti mbok Min sedang berdiri menatapku. Wajah mbok Min terlihat begitu pucat, anehnya lagi ia mengenakan kebaya kuno berwarna biru tua.

“Mbok ? Mbok Min ???? Ngapain di situ ??” Mbok Min tidak menjawab, aku terus memanggilnya, tak lama ia berjalan keluar dari kamar mandi. Aku merasa heran, sedang apa mbo Min kemari ? Dengan cepat aku langsung membilas kepala dan mematikan pancuran air, lalu keluar mengambil handuk dan melilitkannya di tubuhku. Saat menuju pintu kamarku dan membukanya, ternyata terkunci. Lalu bagaimana mbok Min bisa masuk ke kamarku ? Aku membuka pintu dan turun mencari mbok Min. Tak lama ia menjawab panggilanku dan keluar dari dapur. Tapi aku terkejut saat melihat mbok Min tidak mengenakan kebaya.

“Mbok Min tadi ngapain ke ke kamarku ??” Setelah mendengarkan pertanyaanku, mbok Min terlihat heran.

“Hah ? Kapan ?”

“Barusan... Mbok Min ke kamarku kan ? Ke kamar mandiku ?”

“Sumpah non... Dari tadi mbok Min di dapur.”

“Beneran ?”

“Bener...” Dengan ragu, aku kembali kemarku dan mengunci pintunya. Tadi itu aku sangat yakin melihat mbok Min. Tapi kalau mbok Min bilang tidak, lalu tadi itu siapa ? Mungkin hanya halusinasiku saja. Setelah itu aku memakai pakaian tidur lalu mencoba tidur. Tetapi kejadian aneh tadi masih terus saja mengusik pikiranku.

Paginya aku sedang bersiap-siap berangkat sekolah. Saat menuruni tangga, aku melihat mbok Min keluar dari dapur dengan membawa tas belanja.

“Mau ke pasar ?”

“Iya Non, hari ini non mau di masakin apa ?”

“Mmm... Kepiting lada hitam ya...”

“Sip... Tunggu mbok tungguin sampai non pulang, kita makan sama-sama ya.”

Pukul 2 siang, aku pulang ke rumah dengan perasaan lelah. Rumah terlihat sepi. Aku berkeliling mencari mbok Min. Dia tidak ada, aneh sekali. Padahal biasanya dia pulang dari pasar tidak lama, mungkin banyak yang harus dibelinya. Aku menuju kamarku, setelah berganti pakaian aku menjelajahi dunia maya lagi. Sekejap perasaan bosan melandaku, aku langsung pergi ke ruang koleksi dan memutar piringan hitam itu lagi. Sama seperti kemarin, aku mendengarkannya sampai tertidur di kursi kuno yang nyaman itu. Aku merasa ada tangan yang mencolek-colek leganku. Sentuhan itu sangat dingin, sedingin es. Aku membuka mata dan terkejut melihat mbok Min berdiri ddi sampingku.

“Non... Kepitingnya sudah jadi.” Aneh sekali, suaranya begitu datar, wajahnya juga tampak begitu pucat.

“Mbok Min kok baru pulang ?” Ia diam, tidak menjawab pertanyaanku lalu jalan dengan pelan meninggalkanku yang masih setengah sadar. Aku menyusulnya menuju dapur, mbok Min sedang menyiapkan piring untuk kami. Aku duduk dan mencium aroma lezat kepiting lada hitam kesukaanku.

“Wahhhh.... Baunya enak !!” Aku melahap kepiting buatan mbok Min dengan lahap. Ia juga sedang makan dan duduk di seberangku. Tapi sikapnya sangat aneh, sedari tadi ia hanya memandangiku dan tidak menyentuh makanannya.

“Mbok Min ga makan ?” Ia tidak menjawab. Aku menjadi semakin bingun. Tapi karena tidak mau mabil pusing, aku melanjtkan makan. Setelah makan aku menuju kamar dan langsung merebahkan diri di ranjang. Entah kenapa hari ini aku merasa sangat lelah. Ku lirik jam dinding, masih pukul 8 malam, tidak seperti biasanya aku mengantuk. Mataku terus menutup walaupun aku berusaha melawan. Akhirnya karena tidak tahan aku tertidur. Sayup-sayup ku dengar ada suara perempuan menyanyi. Suaranya sangat berat, terdengar begitu dekat, sangat dekat.... Pelan-pelan aku membuka mataku. Suaranya lama-kelamaan semakin keras. Aku tidak yakin, tapi sepertinya terdengar seperti senandung lagu Jawa. Glek !!! Aku merasa ada seseorang yang sedang duduk di bangku depan meja riasku. Jantungku berdetak kencang, kuberanikan diri untuk menoleh. Sekujur badanku terasa dingin saat melihat sesosok wanita tua berkebaya biru tua berambut putih yang menjuntai sangat panjang, duduk di depan meja riasku sedang menyisir rambutnya sambil menyenandungkan tembang Jawa yang dari tadi ku dengar. Aku ingin bangkit dan lari, tapi tubuhku tidak bisa digerakkan ! Aku mencoba berteriak meminta tolong tapi mulutku tidak bisa bersuara !! Aku mencoba menutup mataku, tapi juga tidak bisa !! Ada apa ini !!

Aku tidak bisa melakukan apa-apa !!! Apa yang harus ku lakukan !!!! Tiba-tiba wanita tua itu berhenti menyanyi, lalu dengan pelan meletakkan sisir itu di mejaku. Ku lihat kuku-kukunya sangat panjang, tangannya sangat kasar dan penuh luka busuk. Perlahan-lahan ia memutar kepalanya ke belakang, wanita itu menatapku dengan dingin. Wajahnya juga penuh luka yang membusuk dan digerogoti belatung !!!! Matanya berwarna merah menyala ! Aku memangis, ingin pergi tapi tidak bisa berbuat apa-apa !!! Wanita mengerikan itu berdiri, dan menuju ke arahku, sekarang ia menagis dan tangisannya terdengar sangat mengerikan. Nafasku memburu, jantungku berdetak begitu kencang. Sekarang Ia sudah ada di hadapanku ! Wanita mengerikan itu menatapku, lalu mendukkan wajahnya tetapt di depan wajahku !!! Belatung-belatung yang ada di wajahnya jatuh di wajahku ! Ia mengangkat tangannya dan membelai rambutku, berulang-ulang kali !

“Ndok..... Cah ayu....” Wanita itu mengatakannya sambil terus mengelus rambutku. Suaranya begitu lirih, aku tidak bisa bergerak.

“Ndok..... Ndok......” Tak lama salah satu bola matanya keluar dari kelopak matanya dan jatuh di pipinya !!! Aku mengumpulkan tenaga dan berteriak dan bangun mendorongnya...

Tetapi yang terjadi, aku bangun dengan posisi setengah badan bangkit. Keringat mengucur di sekujur badanku. Aku meraba-raba wajahku, tidak ada belatung. Menelan ludah, aku memberanikan diri menoleh ke arah meja riasku. Aku begitu lega saat melihat tidak ada siapa-siapa di sana. Ternyata tadi cuma mimpi !! Aku mengelus dadaku, kulihat jam menunjukkan pukul 3 dini hari. Aku ingin tidur lagi, tapi takut sendirian. Aku berlari menghambur keluar dan menuju kamar mbok Min. Ku gedor-gedor pintunya dengan kasar. Tak lama mbok Min keluar.

“Mbok, aku... Aku tidur di sini ya ??” Mbok Min tidak menjawab, ia mengangguk. Aku mengikutinya dari belakang. Ia mengunci pintu kamarnya, aku langsung memeluk guling dan tidur di kasurnya. Lalu ia menyusul tidur di sampingku.

Paginya aku bangun, namun tidak menemukan mbok Min disampingku. Aku panik, takut sendirian. Aku mencari-cari mbok Min di setiap ruangan, ia tidak ada. Saat sedang mencari ke taman samping, aku mendengar ada yang membunyikan bel. Aku berlari dan segera membuka pintu, terkejut melihat dua orang polisi sedang berdiri.

“Kediaman keluarga Subrata ?”

“Iya pak, ada apa ya ???”

“Kami dari kepolisian, mbak ini siapanya pak Subrata ?”

“Oh saya anaknya.”

“Boleh kami bertemu dengan orang tua mbak ?”

“Mama sama papa lagi di Bali pak.”

“Benar wanita bernama Suminah pembantu di rumah ini ?”

“Iya pak. Sebenarnya ada apa sih ???” Kedua polisi itu tiba-tiba menurunkan topinya, lalu menundukkan kepalanya.

“Kami turut berduka cita, kemarin sore ibu Suminah ditemukan tewas di semak-semak dekat pasar rabu dengan beberapa luka tusukan. Kami menduga sementara ibu Suminah adalah korban perampokan karena perhiasan dan dompetnya tidak ada bersamanya.”

“AP-APA ???!!!!!!” Apa aku slah dengar ?? Tidak mungkin !!!!

“Mung-mungkin bapak-bapak salah orang, ga mungki itu mbok Min. Dari kemarin dia masih di sini kok !”

“Kami mohon maaf mbak, kami ke sini hanya untuk menyampaikan yang terjadi. Selanjutnya nanti ada beberapa pihak dari kepolisian yang kemari untuk menanyai mbak.” Setelah tak begitu lama, kedua polisi itu pergi. Lututku lemas, aku jatuh ke lantai. Tidak mungkin, bagaimana bisa ??? Lalu dari kemarin siapa yang bersamaku ??? Tadi malam juga !! Aku segera meraih telepon dan menghubungi mama, lalu menjelaskan semuanya. Mereka berjanji akan segera pulang. Siangnya, datang beberapa polisi yang menanyaiku. Aku menjelaskan semuanya, tetapi tidak menceritakan mbok Min yang kemarin dan tadi malam bersamaku. Sore hari mereka semua pergi setelah mendapat keterangan dariku. Papa menelepon dan bilang kalau penerbangannya ditunda dua jam dan menyuruhku bersabar. Aku menagis memohon agar mereka cepat pulang. Aku sangat takut... Sekarang aku sendirian...

Malam telah tiba, aku mengurung diri di kamar. Mencoba menenangkan diri. Tetapi tiba-tiba aku mendengar Liefde berbunyi. Sontak jantungku berdetak kencang, kenapa piringan hitam itu bisa menyala ?? Dengan mengumpulkan semua tenaga yang tersisa, aku membuka pintu dan berjalan perlahan-lahan menuruni tangga. Lagu Liefde menggema di seluruh rumah. Lututku bergetar, aku menuju ruang koleksi. Piringan hitam itu berputar, aku segera menghampirinya dan mematikannya. Saat hendak kembali ke kamar, langkahku terhenti karena lagu itu terputar dengan sendirinya lagi. Aku membalikkan badan untuk mematikannya lagi, tetapi jantungku seperti loncat dari rongga dadaku saat melihat wanita mengerikan yang ada di mimpiku berdiri tepat di samping gramophone itu. Aku jatuh terduduk lemas di lantai. Wanita itu menghampiriku sambil menangis, tangisannya berwarna merah seperti darah.

Aku ingin pergi, tapi tidak bisa bergerak. Wanita itu semakin dekat... Makin dekat... Makin dekat !!!! Dia menyentuh keningku, aku menutup mataku dengan cepat, takut melihat wajahnya. Tetapi sebuah cahaya begitu terang sangat menyilaukan mataku. Karena tidak tahan aku membuka mata. Tapi seketika aku bingung. Aku berada di mana ??? Di rumah siapa ???? Aku berdiri, ku lihat di ruangan sekelilingku. Ini bukan rumahku, tetapi juga bukan rumah orang yang ku kenal.

Sepintas ruangan ini terlihat seperti ruang keluarga. Penataan ruangannya sangat kuno, di dinding tergantung gambar-gambar orang asing yang menatapku dengan tatapan kosong. Mereka terlihat seperti orang-orang Eropa. Tiba-tiba aku mendengar lagu Liefde berbunyi, gramophone yang memutarnya sama persis seperti yang ada di rumahku. Gramophone itu di letakkan di atas meja kecil di sudut ruangan. Tak jauh dari ketak gramophone itu, ada sebuahtangga yang sepertinya menuju ke lantai dua. Tiba-tiba aku di kagetkan dengan datangnya seorang wanita asing yang tadi kulihat salah satu gambar dirinya di dinding. Rambutnya pirang, bergaun putih berlari-lari sambil memegang senapan menuju tangga. Lalu di belakangnya di susul seorang wanita tua yang sepertinya ku kenali. Wanita itu memakai baju kebaya yang sama degan wanita mengerikan yang ada di mimpiku ! Tetapi bedanya kulitnya tampak bersih.

Wanita asing itu berlari-lari menuju lantai dua dambil berteriak-teriak sambil memengang senapan, sedangkan wanita berkebaya itu seperti mencoba mencegahnya sambil menangis. Mereka berdua lenyap di kegelapan saat tiba di lantai dua. Tiba-tiba ada cahaya putih kagi menyilaukan mataku. Saat membuka mata, tanpa ku ketahui aku sudah berada di sebuah kamar yang begitu luas. Terdapat ranjang besi tua yang besar dengan kelambu yang mengelilinya. Aku melihat ada seorang pria asing berambut coklat bertelanjang dada sedang berbicara dengan wanita asing yang sedang menodongkan senapan itu ke keingnya. Sedangkan wanita berkebaya itu ada di sisi ranjang sambil menutupi tubuh seorang gadis muda dengan kain. Sepertinya gadis itu seumuran denganku, wanita berkebaya dan gadis itu menagis, sepertinya adalah anaknya. Kedua orang asing itu terdengar sedang berdebat, tapi aku tidak bisa memahami apa yang mereka katakan. Wanita itu masih menodongkan senapan ke arah kening pria asing itu. Sambil menagis, wanita asing itu berteriak. Lalu tiba-tiba ia melepaskan tembakan ke arah gadis yang sedang di peluk oleh wanita berkebaya. Aku juga ikut berteriak, kaget melihat kejadian itu. Darah menyiprat di mana-mana dan mengenai wanita berkebaya yang sedari tadi memeluk gadis malang itu. Ia berteriak, lalu berlari mendatangi wanita asing itu. Dengan emosi yang tidak teredam, ia merebut senapan itu dari tangan si wanita asing, lalu menembakkannya ke arah pria dan wanita asing itu tepat di kepala.

Mereka berdua mati, darah mengucur dengan deras, menyiprat di mana-mana. Memenuhi kamar itu. Wanita berkebaya itu menjatuhkan senapannya dan jatuh ke lantai sambil menagis dan terus berteriak. Tiba-tiba ruangan menjadi gelap lagi. Aku mendengar seperti suara mama dan papa memanggil-manggi namaku. Tapi aku tidak tahu mereka dimana, karena begitu gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa. Lalu aku melihat setitik cahaya putih bersinir. Aku berlari mengikuti arah cahaya itu.

“Sar...Sarah... Nak.. Bangun nak !” Aku membuka mataku. Mama dan papa deduk di samping kiri dan kananku. Aku sedang terbaring di ranjang kamarku. Aku segera bangkit dan memeluk mereka berdua dan menangis. Setelah tenag, aku menceritakan semua kejadian yang ku alami. Papaku mennganggap semua yang ku alami adalah karena aku memutar piringan hitam itu. Papa bercerita kalau dulu, yang mempunyai gramophone itu adalah pasangan suami istri, orang Belanda. Mereka tinggal di Indonesia, sang suami adalah salah satu jendral dari Belanda yang ikut menjajah. Kejadian mengerikan bermula saat sang istri mendapati suaminya sedang meniduri anak gadis pembantunya. Karena emosi sang istri menembak kepala anak pembantunya, si pemabantu yang tak rela. Langsung merebut senapan dan menembak mati kedua majikannya. Dan kejadian itu terjadi saat lagu Liefde sedang diputar. Lagu itu adalah lagu yang paling di sukai oleh pasangan suami dan istri itu. Dituduh bersalah, pembantu itu dikurung di penjara, tidak diberi makan, dan dibiarkan sampai mati.

Keesokan harinya, segera papaku membakar gramophone dan piringan hitam itu. Soal mbok Min yang malang, keluarganya memutuskan bahwa mbok Min dimakamkan di kampung halamannya. Seminggu setelahnya, tidak ada lagi kejadian-kejadian aneh yang menimpaku. Aku sudah berani di tinggal pergi mama dan papa. Walaupun bayang-bayang kejadian kemarin masih mengahntuiku, tetapi sekarang sudah tidak ada apa-apa, tidak ada lagi hal-hal aneh menggangguku.

Malam minggu pukul 9:30, aku sedang di kamar, sambil menjelajahi dunia maya denga laptopku. Aku sendirian di rumah, mama dan papa sedang ke Surabaya untuk keperluan bisnis selama sepekan. Sedang turun hujan lebat di luar. Saat sedang asik bermain laptop, terdengar suara belku berbunyi berkali-kali. Aku terkejut dan langsung berlari turun menuju pintu. Bel masih berbunyi berulang kali. Argh ! Siapa sih ? Ga sabaran banget !!! Aku membuka pintu, kulihat berdiri seorang wanita tua berbadan kurus sambil melingkarkan kedua tangannya untuk mendekap tubuhnya. Sekujur badannya basah, ia menggigil hebat. Tunggu dulu.... Sepertinya aku mengenali wanita ini ??? Aku terkejut karena tiba-tiba darah mengalir dari tubuh wanita itu. Ia membalikkan badannya dan menatapku. APA !!!!!! TIDAK MUNGKIN !!!!! INI......

“Non..... Non Sarah.... Mbok Min kedinginan......”

http://blog.yess-online.com/gramophone-tua-1

Sunday, May 12, 2013

Tikungan Gudang Cengkeh



Dari arah Utara aku melaju pelan-pelan dengan motor bebekku. Pekatnya malam mulai menyelimuti jalanan yang berlampu jarang. Pukul 9, kulihat jam tangan Alba tuaku di pergelangan tangan kiri. Dua ratus meter lagi tikungan gudang cengkeh akan ku lewati.

Kaca mata minusku tidak banyak membantu mataku untuk merekam kejadian itu. Tapi aku yakin apa yang kulihat dan kualami itu nyata. Awalnya aku mendengar deru motor yang melaju dari arah berlawanan. Dari suara motornya yang keras, aku menduga sang pengendara memacu motornya dengan kencang. Aku belum melihat motor itu muncul di tikungan dan entah kebetulan atau tidak lampu yang biasanya menyala di atas jalan itu mati. Lalu, motor tanpa lampu depan itu membelok di tikungan yang gelap. Aku bisa melihat kelebatannya saja. Belum seluruh tikungan itu terlewati, lalu kulihat ada percikan api di bawah motor itu. Suara rem yang diinjak keras dan mendadak membuat decitan ban di aspal. Motor itu hilang kendali. Bukannya terus membelok ke Utara, motor itu malah melaju ke arah Barat. Aku hanya bisa berteriak, “Ya Allah, ya Allah bagaimana orang itu.” Motornya menabrak pembatas parit dengan suara tumbukan yang sangat keras. Bagian belakang motor itu terangkat dan aku melihat si pengendara terlempar menghantam pagar beton gudang cengkeh yang ada di situ. Kejadiannya begitu cepat, bahkan aku belum sampai membelok di tikungan sehingga kejadian tersebut terpampang seperti adegan film di depanku. Aku hendak menghentikan motor, kucari tempat yang agak terang di sekitar tikungan tapi itu sulit karena letak gudang ini memang agak jauh dari pemukiman. Rumah terdekat berjarak 300 meter di Utara gudang dan beberapa meter setelah tikungan. Kupikir berhenti di sini lebih baik karena cahaya lampu dari depan gapura gudang cengkeh masih remang-remang menjangkau tempatku. Dari tempatku berhenti mataku menangkap sesuatu tergeletak di tengah jalan tepat dimana percikan api tadi kulihat. Benda itu putih, kukira bagian motor yang terlepas karena kecelakaan tadi. Tapi demi Tuhan betapa terkejutnya aku, dengan pencahayaan yang sangat minim itu aku melihat seorang laki-laki tergeletak tengkurap, genangan gelap melingkari kepalanya. Dia bergerak-gerak sedikit, menelengkan kepalanya melihat ke arahku. Mungkin dia meminta tolong padaku.
Aku paling takut darah. Ya, aku memang phobia dengan cairan kental berwarna merah tua dan berbau anyir ini. Melihat genangan darah di sekeliling kepala lelaki itu sontak membuatku mual dan kalut. Aku sangat bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mungkin akan tahan melihat darah-darah itu tapi aku harus berbuat sesuatu karena bisa-bisa dia tewas di sana. Setelah beberapa saat akhirnya aku beranikan diri untuk menarik minggir tubuh itu tapi sebelum aku sempat bergerak sebuah cahaya melesat dari arah timur menghentikan langkahku yang ragu-ragu. Sebuah truk.

Pengemudi truk yang melaju cukup kencang tidak menyangka akan melihat seonggok tubuh di jalanan. Truk itu berusaha menghindar tapi jika dia banting setir mungkin truk itu bisa menabrak pohon atau terguling. Truk meliuk sedikit ke kiri dan ‘kraaass’ tubuh  bagian bawah lelaki itu terlindas. Cairan gelap dan gumpalan daging sepertinya melayang di udara. Tubuh itu terbalik dan terguling beberapa kali. Aku muntah dan terhuyung menyaksikannya. Orang-orang yang tinggal di sekitar situ mulai keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Aku berteriak semampuku untuk menarik perhatian mereka, “kecelakaan.. kecelakaan.. orang di tengah jalan ketabrak.” Truk itu terus melaju, kabur. Aku terjerembab di samping motorku. Lelaki itu tengkurap dengan wajah miring menatapku. Wajah berlumuran darah dengan mata melotot. Aku muntah lagi.
Aku tiba-tiba tersadar jika aku tetap disini urusan akan panjang. Jiwa pengecutku atau entah dorongan untuk melepaskan diri dari hal-hal yang tidak mengenakkan mendorongku untuk segera pergi. Sebelum terlalu banyak orang datang aku menekan starter motorku dan pergi pulang. Aku tidak peduli lagi. Biarkan orang-orang itu saja yang menolongnya. Untung aku tidak dikejar orang-orang yang mungkin menganggapku bertanggung jawab atas kejadian itu. Orang-orang itu memang tidak mengejarku dan aku merasa aman, tapi rupanya aku keliru.

keesokan harinya aku mendengar kabar dari penjual sayur keliling bahwa telah terjadi kecelakaan di tikungan gudang cengkeh yang menewaskan dua orang. Seorang pengendara sepeda motor mabuk yang masuk parit dan seorang bapak tua, warga sekitar situ, yang menyeberang jalan sepulang dari warung kopi. Jantungku langsung berdebar-debar mendengar hal itu. Bayangan kejadian semalan melintas di kepalaku lagi. Tapi aku tidak ingin kejadian itu terus menghantuiku, aku ingin segera melupakannya.

Siang itu aku menghabiskan waktuku bekerja di kantor. Aku pegawai baru sebuah bank swasta di kotaku. Sibuknya bekerja membuatku lupa akan kejadian kemarin malam tapi sialnya karena lembur maka aku harus pulang lebih larut malam itu. Aku maklum sebagai karyawan baru dan tepat di akhir bulan seperti ini tenagaku sangat dibutuhkan di kantor. Akhirnya waktu pulang pun tiba. Arlojiku menunjukkan pukul 10.15 malam. Hawa dingin karena gerimis malam itu cukup membuatku menggigil. Setelah memakai jaket kulit dan bertukar sapa dengan teman kantor aku memacu sepeda motorku.

Jalanan yang kulewati sebenarnya adalah jalan provinsi, tetapi karena ini kota kecil maka pukul 10 malam suasana sudah sepi ditambah gerimis sejak maghrib yang tak kunjung reda. Aku tidak memakai mantelku karena kurasa gerimis tidak terlalu deras tapi setelah sekitar sepuluh menit berkendara aku merasa kedinginan. Aku menghentikan laju sepeda motorku dan membuka jok untuk mengambil mantel. Kaca mataku yang terkena air hujan cukup mengganggu pandanganku sehingga aku tidak begitu fokus ketika mengambil mantel. Kuraih mantel yang ada di dalam jok akan tetapi aku kesulitan untuk mengambilnya. Aku rasa mantelku menyangkut sesuatu di sana tapi apa. Aku terus berusaha menariknya keluar tapi tidak berhasil. Aku lepas kaca mataku lalu ku ambil sapu tangan untuk menggosoknya, setelah air yang menutupi kacaku hilang kupakai lagi kaca mata itu. Kini pandanganku di jok lebih jelas. Mantel hitamku ada di situ. Ku tarik lagi mantel itu tapi tetap tidak bisa lalu aku membuka lipatan mantel untuk melihat mengapa mantelnya tidak bisa dikeluarkan. “Haaaa,” sesuatu terdengar di telingaku. Seperti bisikan, “Whaaa whaaa.” Aku celingukan melihat ke kanan dan ke kiri lalu kebelakang, tidak ada apa-apa. Jantungku mulai memompa lebih keras, degupnya mulai tidak teratur. Angin malam tiba-tiba berhembus lebih kencang membangkitkan bulu kudukku. Tatapanku kembali ke dalam jok, lalu kutarik sedikit lebih keras mantelku. Berhasil. Tapi bukan hanya mantel yang berhasil kutarik keluar, sebuah benda bulat ikut terlempar keatas mengarah ke wajahku. Aku menangkapnya dengan tanganku yang juga memegang mantel. Astaga, “Tidaaak…,” teriakku. Benda bulat itu adalah kepala berlumuran darah dengan mata yang melotot. Mulutnya membuka dan memuntahkan cairan merah ke jaketku. Jemariku terbenam ke pangkal leher yang putus dan basah itu. Lengket dan aroma anyir darah menyergap hidung. Aku menjerit ketakutan sambil melempar mantel dan kepala itu. Tubuhku limbung dan akhirnya jatuh terduduk di rerumputan pinggir jalan. Benda bulat itu tergeletak di dekat kakiku, aku menendang-nendang benda mengerikan itu. Tapi itu bukan kepala menyeramkan seperti tadi, itu hanyalah bola plastik kecil berisi pasir yang biasa dipakai adikku untuk berlatih tolak peluru. Segera saja aku bangkit dan memakai mantelku lalu meninggalkan tempat itu.

Aku terkesiap setelah menyadari bahwa beberapa ratus meter di depanku adalah tikungan maut. Tapi kali ini aku melihat lampu penerangan jalan menyala. Aku bersyukur dalam hati. Aku menjadi begitu paranoid semenjak kejadian kemarin. Tikungan itu aku lewati tanpa ada sesuatu yang aneh. Kuhela nafas panjang karena aku lega kejadian tadi hanyalah imajinasiku yang terlalu berlebihan. Tiga detik setelah melewati tikungan tiba-tiba sudut mataku menangkap sesuatu dari spion kanan. Lampu penerangan di atas tikungan itu padam. “Astagfirullahaladzim,” kataku dengan gugup. Aku melihat lurus kedepan saja, aku tidak mau melihat spionku lagi. ‘Kreek’ sepeda motorku melindas sesuatu mau tak mau aku melihat ke belakang, sebuah kaki remuk terserak di jalan. Suasana yang dingin sudah tak kurasakan lagi. Panas, gerah dan takut yang amat sangat membuatku gila. Tak hanya itu, detik berikutnya lampu depan sepeda motorku mati. Aku tidak peduli, aku terus memacu sepeda motorku sambil menggigil hebat. Kos ku hanya berjarak 10 menit dari tempat itu tapi bagiku perjalanan ini bagaikan setahun. Aku hanya mengandalkan penerangan dari depan rumah warga dan kendaraan lain yang mungkin lewat. Ya kendaraan lain, kemana mereka? Belum ku jumpai satupun sampai akhirnya aku tiba di kosanku.

Nafasku memburu, keringat dingin mengucur deras di wajah dan tubuhku. Tanpa melepas mantel terlebih dahulu langsung ku aduk-aduk isi tas untuk mencari kunci pintu kamar kos ku. Entahlah, semua terasa begitu aneh seolah-olah malam, pepohonan, udara dan keadaan berkonspirasi untuk menakutiku. Kamar kos sebelah juga tampak lengang tak berpenghuni hanya bayangan daun pohon mangga yang yang berayun-ayun membayang di daun pintunya seperti bayangan hantu yang datang mendekatiku. Sial, kunci kamarku tak kunjung ku temukan. Lalu aku ingat kalau aku terkadang memasukkan kunci pintu di dalam jok motor. “Jok? batinku. Mau tak mau aku teringat kejadian 5 menit yang lalu. Jika tadi ada sebuah kepala di dalamnya maka tidak mungkin sekarangpun akan ada lagi.

“Tidak, aku tidak boleh takut,” kataku menenangkan diri sendiri. Aku harus membuka jokku dan mengambil kunci itu. Tanpa pikir panjang lagi aku membuka jok, menatap mantap pada lubang hitam yang diterangi lampu teras dari ujung kamar temanku. Kosong. Tak ada kunci pintu. “Ya Tuhan.. kunciku pasti terjatuh waktu aku mengeluarkan mantel tadi. Masa aku harus kembali ke tempat itu lagi?” aku merutuki nasibku malam itu. Sewaktu aku menutup jok motorku di depanku telah berdiri sesosok gelap menatapku. Aku terlonjak kaget dan berteriak, “whoooa”. Aku memalingkan wajah dan hendak berlari lalu makhluk itu bersuara, “Nak Dimas, hei ada apa? Ini Bapak.” Aku berhenti dan pelan-pelan memutar tubuhku, di sana ku dapati Pak Mail, bapak kos ku, berdiri keheranan. “Ada apa kok teriak ketakutan seperti itu? tanya pak Mail ingin tahu. “Ahh.. tidak pak Cuma kaget saja, maaf. Anu pak, kunci pintu saya hilang.” “Makanya jangan ceroboh dong, ini tadi ibu melihat kunci kamarmu masih menggantung di pintu. Nak Dimas pasti lupa mengambilnya. Untung ibu pas lewat dan melihatnya tadi. Kok pulangnya malam sekali?” “Untunglah pak, saya kira jatuh dimana gitu. Iya malam ini lembur tutup buku dan rapat.” Pak Mail menyerahkan kunci kamarku lalu kembali kerumahnya yang terletak di samping tempat kos.

Kedatangan pak Mail tadi cukup memberiku energi positif. Ketakutan yang tadinya menghantuiku sedikit menguap. Tapi suasana hening yang kurasakan menyulut kembali perasaan itu. Aku malas  mandi malam itu, selain karena kamar mandinya berada di belakang kamar kos, udara dingin kembali aku rasakan. Aku tidak mau ke belakang rumah sendirian apalagi setelah kejadian mengerikan tadi.  Aku hendak merebahkan tubuhku yang letih dan syarafku yang kaku ke tempat tidur saat aku melihat sesuatu tergeletak di tengah kasur. Ada cuilan benda berwarna hitam. Aku memungutnya, mendekatkan ke wajah. Astaga benda yang kupegang itu tak lain adalah sebongkah kecil aspal yang terkelupas. Aspal itu lengket oleh cairan merah kehitaman. Aku melemparkan aspal berdarah itu lalu menggosok-gosokkan jariku ke celana. Lampu teras tiba-tiba padam, korden tertiup kesamping. Dari tempatku berdiri kaku kulihat sepotong tubuh tanpa kaki dengan kepala patah miring merangkak di halaman. Makhluk itu menyeret tubuhnya yang berantakan dengan kedua lengannya yang kurus dan hitam. Makhluk itu beringsut-ingsut dari jalan raya melewati halaman berpaving dan terus bergerak pelan ke pintu kamarku. Ketakutan telah melumpuhkanku. Pintu kamarku diketuk. Aku tak bisa bersuara, aku terduduk di ranjang menantikan kepala setengah hancur itu melongok dari balik pintu. Benar saja, kepala itu muncul menyeringai dan matanya melotot. Aku sudah tak begitu ingat lagi apa yang terjadi kemudian. Di tengah semakin melemahnya kesadaranku sayup-sayup ku dengar suara serak itu. “Kenapa kau tak menolongku? Kenapa? Aku akan terus mengikutimu.” Lalu suara tangis aneh. Aku tak sadarkan diri.

Adzan Subuh masih baru mulai berkumandang. Pak Mail berdiri di samping tempat tidurku, membangunkanku. Beliau bertanya, “Nak, kok pintunya tidak ditutup? Bapak kira kamu sudah bangun tapi waktu bapak coba panggil untuk bapak ajak ke Mushola, nak Dimas tidak menjawab jadi bapak coba tengok. Bapak kaget waktu melihat Nak Dimas tergeletak di kasur. Bapak berfikir nak Dimas kenapa-kenapa.” Lalu aku duduk dan menceritakan kejadian dua hari ini. Kejadiaan saat aku melihat kecelakaan dan kejadiaan tadi malam yang sampai membuatku tak sadarkan diri. Pak Mail mengucap Istiqfar lalu menyuruhku segera bersuci dan mengajakku ke Mushola. Di sana Pak Mail menyarankanku untuk datang ke makam korban kecelakaan itu dan turut mendoakannya. Pak Mail berkata bahwa bukan korban itu yang menghantuiku, itu hanya makhluk jahat yang mungkin ada di sekitar lokasi dan tidak suka padaku.
Aku menuruti saran pak Mail. Siang itu aku datang ke sekitar lokasi kejadian dan mencari tahu siapa nama bapak yang menjadi korban kecelakaan dua hari yang lalu. Seorang warga memberi tahuku bahwa namanya adalah Pak Suro. Aku juga datang ke makamnya dan mendoakan arwah beliau. Tak lupa aku meminta maaf atas ketidak sigapanku untuk menolongnya. Saat aku berdoa di makam itu, rerimbunan pohon bambu dibelakangku berkeriat-keriut lalu suara tawa cekikikan terdengar diantara ributnya angin dan batang pohon. “Hihi hihi hih hik.”

Aku segera pergi dari makam itu. Perasaan lega karena telah meminta maaf di makam Pak Suro membuatku lebih baik. Aku percaya aku akan baik-baik saja setelah hari ini. Semuanya terbukti benar. Tak ada lagi yang menggangguku. Hingga tujuh hari dari kejadian maut malam itu aku hidup dengan damai. Hanya saja, setelah tujuh hari kecelakaan di tikungan gudang cengkeh itu, ketika aku pulang kerja lebih larut aku sering melihat sesosok laki-laki berambut gimbal berdiri di atas parit di samping tembok gudang cengkeh. Matanya merah menatapku melewati tikungan itu.

by sup