Total Pageviews

Sunday, May 12, 2013

Tikungan Gudang Cengkeh



Dari arah Utara aku melaju pelan-pelan dengan motor bebekku. Pekatnya malam mulai menyelimuti jalanan yang berlampu jarang. Pukul 9, kulihat jam tangan Alba tuaku di pergelangan tangan kiri. Dua ratus meter lagi tikungan gudang cengkeh akan ku lewati.

Kaca mata minusku tidak banyak membantu mataku untuk merekam kejadian itu. Tapi aku yakin apa yang kulihat dan kualami itu nyata. Awalnya aku mendengar deru motor yang melaju dari arah berlawanan. Dari suara motornya yang keras, aku menduga sang pengendara memacu motornya dengan kencang. Aku belum melihat motor itu muncul di tikungan dan entah kebetulan atau tidak lampu yang biasanya menyala di atas jalan itu mati. Lalu, motor tanpa lampu depan itu membelok di tikungan yang gelap. Aku bisa melihat kelebatannya saja. Belum seluruh tikungan itu terlewati, lalu kulihat ada percikan api di bawah motor itu. Suara rem yang diinjak keras dan mendadak membuat decitan ban di aspal. Motor itu hilang kendali. Bukannya terus membelok ke Utara, motor itu malah melaju ke arah Barat. Aku hanya bisa berteriak, “Ya Allah, ya Allah bagaimana orang itu.” Motornya menabrak pembatas parit dengan suara tumbukan yang sangat keras. Bagian belakang motor itu terangkat dan aku melihat si pengendara terlempar menghantam pagar beton gudang cengkeh yang ada di situ. Kejadiannya begitu cepat, bahkan aku belum sampai membelok di tikungan sehingga kejadian tersebut terpampang seperti adegan film di depanku. Aku hendak menghentikan motor, kucari tempat yang agak terang di sekitar tikungan tapi itu sulit karena letak gudang ini memang agak jauh dari pemukiman. Rumah terdekat berjarak 300 meter di Utara gudang dan beberapa meter setelah tikungan. Kupikir berhenti di sini lebih baik karena cahaya lampu dari depan gapura gudang cengkeh masih remang-remang menjangkau tempatku. Dari tempatku berhenti mataku menangkap sesuatu tergeletak di tengah jalan tepat dimana percikan api tadi kulihat. Benda itu putih, kukira bagian motor yang terlepas karena kecelakaan tadi. Tapi demi Tuhan betapa terkejutnya aku, dengan pencahayaan yang sangat minim itu aku melihat seorang laki-laki tergeletak tengkurap, genangan gelap melingkari kepalanya. Dia bergerak-gerak sedikit, menelengkan kepalanya melihat ke arahku. Mungkin dia meminta tolong padaku.
Aku paling takut darah. Ya, aku memang phobia dengan cairan kental berwarna merah tua dan berbau anyir ini. Melihat genangan darah di sekeliling kepala lelaki itu sontak membuatku mual dan kalut. Aku sangat bingung, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak mungkin akan tahan melihat darah-darah itu tapi aku harus berbuat sesuatu karena bisa-bisa dia tewas di sana. Setelah beberapa saat akhirnya aku beranikan diri untuk menarik minggir tubuh itu tapi sebelum aku sempat bergerak sebuah cahaya melesat dari arah timur menghentikan langkahku yang ragu-ragu. Sebuah truk.

Pengemudi truk yang melaju cukup kencang tidak menyangka akan melihat seonggok tubuh di jalanan. Truk itu berusaha menghindar tapi jika dia banting setir mungkin truk itu bisa menabrak pohon atau terguling. Truk meliuk sedikit ke kiri dan ‘kraaass’ tubuh  bagian bawah lelaki itu terlindas. Cairan gelap dan gumpalan daging sepertinya melayang di udara. Tubuh itu terbalik dan terguling beberapa kali. Aku muntah dan terhuyung menyaksikannya. Orang-orang yang tinggal di sekitar situ mulai keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Aku berteriak semampuku untuk menarik perhatian mereka, “kecelakaan.. kecelakaan.. orang di tengah jalan ketabrak.” Truk itu terus melaju, kabur. Aku terjerembab di samping motorku. Lelaki itu tengkurap dengan wajah miring menatapku. Wajah berlumuran darah dengan mata melotot. Aku muntah lagi.
Aku tiba-tiba tersadar jika aku tetap disini urusan akan panjang. Jiwa pengecutku atau entah dorongan untuk melepaskan diri dari hal-hal yang tidak mengenakkan mendorongku untuk segera pergi. Sebelum terlalu banyak orang datang aku menekan starter motorku dan pergi pulang. Aku tidak peduli lagi. Biarkan orang-orang itu saja yang menolongnya. Untung aku tidak dikejar orang-orang yang mungkin menganggapku bertanggung jawab atas kejadian itu. Orang-orang itu memang tidak mengejarku dan aku merasa aman, tapi rupanya aku keliru.

keesokan harinya aku mendengar kabar dari penjual sayur keliling bahwa telah terjadi kecelakaan di tikungan gudang cengkeh yang menewaskan dua orang. Seorang pengendara sepeda motor mabuk yang masuk parit dan seorang bapak tua, warga sekitar situ, yang menyeberang jalan sepulang dari warung kopi. Jantungku langsung berdebar-debar mendengar hal itu. Bayangan kejadian semalan melintas di kepalaku lagi. Tapi aku tidak ingin kejadian itu terus menghantuiku, aku ingin segera melupakannya.

Siang itu aku menghabiskan waktuku bekerja di kantor. Aku pegawai baru sebuah bank swasta di kotaku. Sibuknya bekerja membuatku lupa akan kejadian kemarin malam tapi sialnya karena lembur maka aku harus pulang lebih larut malam itu. Aku maklum sebagai karyawan baru dan tepat di akhir bulan seperti ini tenagaku sangat dibutuhkan di kantor. Akhirnya waktu pulang pun tiba. Arlojiku menunjukkan pukul 10.15 malam. Hawa dingin karena gerimis malam itu cukup membuatku menggigil. Setelah memakai jaket kulit dan bertukar sapa dengan teman kantor aku memacu sepeda motorku.

Jalanan yang kulewati sebenarnya adalah jalan provinsi, tetapi karena ini kota kecil maka pukul 10 malam suasana sudah sepi ditambah gerimis sejak maghrib yang tak kunjung reda. Aku tidak memakai mantelku karena kurasa gerimis tidak terlalu deras tapi setelah sekitar sepuluh menit berkendara aku merasa kedinginan. Aku menghentikan laju sepeda motorku dan membuka jok untuk mengambil mantel. Kaca mataku yang terkena air hujan cukup mengganggu pandanganku sehingga aku tidak begitu fokus ketika mengambil mantel. Kuraih mantel yang ada di dalam jok akan tetapi aku kesulitan untuk mengambilnya. Aku rasa mantelku menyangkut sesuatu di sana tapi apa. Aku terus berusaha menariknya keluar tapi tidak berhasil. Aku lepas kaca mataku lalu ku ambil sapu tangan untuk menggosoknya, setelah air yang menutupi kacaku hilang kupakai lagi kaca mata itu. Kini pandanganku di jok lebih jelas. Mantel hitamku ada di situ. Ku tarik lagi mantel itu tapi tetap tidak bisa lalu aku membuka lipatan mantel untuk melihat mengapa mantelnya tidak bisa dikeluarkan. “Haaaa,” sesuatu terdengar di telingaku. Seperti bisikan, “Whaaa whaaa.” Aku celingukan melihat ke kanan dan ke kiri lalu kebelakang, tidak ada apa-apa. Jantungku mulai memompa lebih keras, degupnya mulai tidak teratur. Angin malam tiba-tiba berhembus lebih kencang membangkitkan bulu kudukku. Tatapanku kembali ke dalam jok, lalu kutarik sedikit lebih keras mantelku. Berhasil. Tapi bukan hanya mantel yang berhasil kutarik keluar, sebuah benda bulat ikut terlempar keatas mengarah ke wajahku. Aku menangkapnya dengan tanganku yang juga memegang mantel. Astaga, “Tidaaak…,” teriakku. Benda bulat itu adalah kepala berlumuran darah dengan mata yang melotot. Mulutnya membuka dan memuntahkan cairan merah ke jaketku. Jemariku terbenam ke pangkal leher yang putus dan basah itu. Lengket dan aroma anyir darah menyergap hidung. Aku menjerit ketakutan sambil melempar mantel dan kepala itu. Tubuhku limbung dan akhirnya jatuh terduduk di rerumputan pinggir jalan. Benda bulat itu tergeletak di dekat kakiku, aku menendang-nendang benda mengerikan itu. Tapi itu bukan kepala menyeramkan seperti tadi, itu hanyalah bola plastik kecil berisi pasir yang biasa dipakai adikku untuk berlatih tolak peluru. Segera saja aku bangkit dan memakai mantelku lalu meninggalkan tempat itu.

Aku terkesiap setelah menyadari bahwa beberapa ratus meter di depanku adalah tikungan maut. Tapi kali ini aku melihat lampu penerangan jalan menyala. Aku bersyukur dalam hati. Aku menjadi begitu paranoid semenjak kejadian kemarin. Tikungan itu aku lewati tanpa ada sesuatu yang aneh. Kuhela nafas panjang karena aku lega kejadian tadi hanyalah imajinasiku yang terlalu berlebihan. Tiga detik setelah melewati tikungan tiba-tiba sudut mataku menangkap sesuatu dari spion kanan. Lampu penerangan di atas tikungan itu padam. “Astagfirullahaladzim,” kataku dengan gugup. Aku melihat lurus kedepan saja, aku tidak mau melihat spionku lagi. ‘Kreek’ sepeda motorku melindas sesuatu mau tak mau aku melihat ke belakang, sebuah kaki remuk terserak di jalan. Suasana yang dingin sudah tak kurasakan lagi. Panas, gerah dan takut yang amat sangat membuatku gila. Tak hanya itu, detik berikutnya lampu depan sepeda motorku mati. Aku tidak peduli, aku terus memacu sepeda motorku sambil menggigil hebat. Kos ku hanya berjarak 10 menit dari tempat itu tapi bagiku perjalanan ini bagaikan setahun. Aku hanya mengandalkan penerangan dari depan rumah warga dan kendaraan lain yang mungkin lewat. Ya kendaraan lain, kemana mereka? Belum ku jumpai satupun sampai akhirnya aku tiba di kosanku.

Nafasku memburu, keringat dingin mengucur deras di wajah dan tubuhku. Tanpa melepas mantel terlebih dahulu langsung ku aduk-aduk isi tas untuk mencari kunci pintu kamar kos ku. Entahlah, semua terasa begitu aneh seolah-olah malam, pepohonan, udara dan keadaan berkonspirasi untuk menakutiku. Kamar kos sebelah juga tampak lengang tak berpenghuni hanya bayangan daun pohon mangga yang yang berayun-ayun membayang di daun pintunya seperti bayangan hantu yang datang mendekatiku. Sial, kunci kamarku tak kunjung ku temukan. Lalu aku ingat kalau aku terkadang memasukkan kunci pintu di dalam jok motor. “Jok? batinku. Mau tak mau aku teringat kejadian 5 menit yang lalu. Jika tadi ada sebuah kepala di dalamnya maka tidak mungkin sekarangpun akan ada lagi.

“Tidak, aku tidak boleh takut,” kataku menenangkan diri sendiri. Aku harus membuka jokku dan mengambil kunci itu. Tanpa pikir panjang lagi aku membuka jok, menatap mantap pada lubang hitam yang diterangi lampu teras dari ujung kamar temanku. Kosong. Tak ada kunci pintu. “Ya Tuhan.. kunciku pasti terjatuh waktu aku mengeluarkan mantel tadi. Masa aku harus kembali ke tempat itu lagi?” aku merutuki nasibku malam itu. Sewaktu aku menutup jok motorku di depanku telah berdiri sesosok gelap menatapku. Aku terlonjak kaget dan berteriak, “whoooa”. Aku memalingkan wajah dan hendak berlari lalu makhluk itu bersuara, “Nak Dimas, hei ada apa? Ini Bapak.” Aku berhenti dan pelan-pelan memutar tubuhku, di sana ku dapati Pak Mail, bapak kos ku, berdiri keheranan. “Ada apa kok teriak ketakutan seperti itu? tanya pak Mail ingin tahu. “Ahh.. tidak pak Cuma kaget saja, maaf. Anu pak, kunci pintu saya hilang.” “Makanya jangan ceroboh dong, ini tadi ibu melihat kunci kamarmu masih menggantung di pintu. Nak Dimas pasti lupa mengambilnya. Untung ibu pas lewat dan melihatnya tadi. Kok pulangnya malam sekali?” “Untunglah pak, saya kira jatuh dimana gitu. Iya malam ini lembur tutup buku dan rapat.” Pak Mail menyerahkan kunci kamarku lalu kembali kerumahnya yang terletak di samping tempat kos.

Kedatangan pak Mail tadi cukup memberiku energi positif. Ketakutan yang tadinya menghantuiku sedikit menguap. Tapi suasana hening yang kurasakan menyulut kembali perasaan itu. Aku malas  mandi malam itu, selain karena kamar mandinya berada di belakang kamar kos, udara dingin kembali aku rasakan. Aku tidak mau ke belakang rumah sendirian apalagi setelah kejadian mengerikan tadi.  Aku hendak merebahkan tubuhku yang letih dan syarafku yang kaku ke tempat tidur saat aku melihat sesuatu tergeletak di tengah kasur. Ada cuilan benda berwarna hitam. Aku memungutnya, mendekatkan ke wajah. Astaga benda yang kupegang itu tak lain adalah sebongkah kecil aspal yang terkelupas. Aspal itu lengket oleh cairan merah kehitaman. Aku melemparkan aspal berdarah itu lalu menggosok-gosokkan jariku ke celana. Lampu teras tiba-tiba padam, korden tertiup kesamping. Dari tempatku berdiri kaku kulihat sepotong tubuh tanpa kaki dengan kepala patah miring merangkak di halaman. Makhluk itu menyeret tubuhnya yang berantakan dengan kedua lengannya yang kurus dan hitam. Makhluk itu beringsut-ingsut dari jalan raya melewati halaman berpaving dan terus bergerak pelan ke pintu kamarku. Ketakutan telah melumpuhkanku. Pintu kamarku diketuk. Aku tak bisa bersuara, aku terduduk di ranjang menantikan kepala setengah hancur itu melongok dari balik pintu. Benar saja, kepala itu muncul menyeringai dan matanya melotot. Aku sudah tak begitu ingat lagi apa yang terjadi kemudian. Di tengah semakin melemahnya kesadaranku sayup-sayup ku dengar suara serak itu. “Kenapa kau tak menolongku? Kenapa? Aku akan terus mengikutimu.” Lalu suara tangis aneh. Aku tak sadarkan diri.

Adzan Subuh masih baru mulai berkumandang. Pak Mail berdiri di samping tempat tidurku, membangunkanku. Beliau bertanya, “Nak, kok pintunya tidak ditutup? Bapak kira kamu sudah bangun tapi waktu bapak coba panggil untuk bapak ajak ke Mushola, nak Dimas tidak menjawab jadi bapak coba tengok. Bapak kaget waktu melihat Nak Dimas tergeletak di kasur. Bapak berfikir nak Dimas kenapa-kenapa.” Lalu aku duduk dan menceritakan kejadian dua hari ini. Kejadiaan saat aku melihat kecelakaan dan kejadiaan tadi malam yang sampai membuatku tak sadarkan diri. Pak Mail mengucap Istiqfar lalu menyuruhku segera bersuci dan mengajakku ke Mushola. Di sana Pak Mail menyarankanku untuk datang ke makam korban kecelakaan itu dan turut mendoakannya. Pak Mail berkata bahwa bukan korban itu yang menghantuiku, itu hanya makhluk jahat yang mungkin ada di sekitar lokasi dan tidak suka padaku.
Aku menuruti saran pak Mail. Siang itu aku datang ke sekitar lokasi kejadian dan mencari tahu siapa nama bapak yang menjadi korban kecelakaan dua hari yang lalu. Seorang warga memberi tahuku bahwa namanya adalah Pak Suro. Aku juga datang ke makamnya dan mendoakan arwah beliau. Tak lupa aku meminta maaf atas ketidak sigapanku untuk menolongnya. Saat aku berdoa di makam itu, rerimbunan pohon bambu dibelakangku berkeriat-keriut lalu suara tawa cekikikan terdengar diantara ributnya angin dan batang pohon. “Hihi hihi hih hik.”

Aku segera pergi dari makam itu. Perasaan lega karena telah meminta maaf di makam Pak Suro membuatku lebih baik. Aku percaya aku akan baik-baik saja setelah hari ini. Semuanya terbukti benar. Tak ada lagi yang menggangguku. Hingga tujuh hari dari kejadian maut malam itu aku hidup dengan damai. Hanya saja, setelah tujuh hari kecelakaan di tikungan gudang cengkeh itu, ketika aku pulang kerja lebih larut aku sering melihat sesosok laki-laki berambut gimbal berdiri di atas parit di samping tembok gudang cengkeh. Matanya merah menatapku melewati tikungan itu.

by sup

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan dan kesediaannya membaca posting dari blog sederhana ini. Apresiasi anda akan menjadi kesan yang lebih mendalam bagi admin dan pembaca yang lain jika anda berkenan menuliskan komentar atau pertanyaan anda di kolom comment ini. <3 :)