Dari arah Utara aku melaju pelan-pelan dengan motor bebekku. Pekatnya malam
mulai menyelimuti jalanan yang berlampu jarang. Pukul 9, kulihat jam tangan
Alba tuaku di pergelangan tangan kiri. Dua ratus meter lagi tikungan gudang
cengkeh akan ku lewati.
Kaca mata minusku tidak banyak membantu mataku untuk merekam kejadian itu.
Tapi aku yakin apa yang kulihat dan kualami itu nyata. Awalnya aku mendengar
deru motor yang melaju dari arah berlawanan. Dari suara motornya yang keras,
aku menduga sang pengendara memacu motornya dengan kencang. Aku belum melihat
motor itu muncul di tikungan dan entah kebetulan atau tidak lampu yang biasanya
menyala di atas jalan itu mati. Lalu, motor tanpa lampu depan itu membelok di
tikungan yang gelap. Aku bisa melihat kelebatannya saja. Belum seluruh tikungan
itu terlewati, lalu kulihat ada percikan api di bawah motor itu. Suara rem yang
diinjak keras dan mendadak membuat decitan ban di aspal. Motor itu hilang
kendali. Bukannya terus membelok ke Utara, motor itu malah melaju ke arah
Barat. Aku hanya bisa berteriak, “Ya Allah, ya Allah bagaimana orang itu.”
Motornya menabrak pembatas parit dengan suara tumbukan yang sangat keras.
Bagian belakang motor itu terangkat dan aku melihat si pengendara terlempar
menghantam pagar beton gudang cengkeh yang ada di situ. Kejadiannya begitu
cepat, bahkan aku belum sampai membelok di tikungan sehingga kejadian tersebut terpampang
seperti adegan film di depanku. Aku hendak menghentikan motor, kucari tempat yang agak terang di sekitar
tikungan tapi itu sulit karena letak gudang ini memang agak jauh dari
pemukiman. Rumah terdekat berjarak 300 meter di Utara gudang dan beberapa meter
setelah tikungan. Kupikir berhenti di sini lebih baik karena cahaya lampu dari
depan gapura gudang cengkeh masih remang-remang menjangkau tempatku. Dari
tempatku berhenti mataku menangkap sesuatu tergeletak di tengah jalan tepat
dimana percikan api tadi kulihat. Benda itu putih, kukira bagian motor yang
terlepas karena kecelakaan tadi. Tapi demi Tuhan betapa terkejutnya aku, dengan
pencahayaan yang sangat minim itu aku melihat seorang laki-laki tergeletak tengkurap, genangan gelap melingkari kepalanya. Dia
bergerak-gerak sedikit, menelengkan kepalanya melihat ke arahku. Mungkin dia
meminta tolong padaku.
Aku paling takut darah. Ya, aku memang phobia dengan cairan kental berwarna
merah tua dan berbau anyir ini. Melihat genangan darah di sekeliling kepala
lelaki itu sontak membuatku mual dan kalut. Aku sangat bingung, tak tahu apa
yang harus aku lakukan. Aku tidak mungkin akan tahan melihat darah-darah itu
tapi aku harus berbuat sesuatu karena bisa-bisa dia tewas di sana. Setelah
beberapa saat akhirnya aku beranikan diri untuk menarik minggir tubuh itu tapi sebelum
aku sempat bergerak sebuah cahaya melesat dari arah timur menghentikan
langkahku yang ragu-ragu. Sebuah truk.
Pengemudi truk yang melaju cukup kencang tidak menyangka akan melihat
seonggok tubuh di jalanan. Truk itu berusaha menghindar tapi jika dia banting
setir mungkin truk itu bisa menabrak pohon atau terguling. Truk meliuk sedikit
ke kiri dan ‘kraaass’ tubuh bagian bawah
lelaki itu terlindas. Cairan gelap dan gumpalan daging sepertinya melayang di
udara. Tubuh itu terbalik dan terguling beberapa kali. Aku muntah dan terhuyung
menyaksikannya. Orang-orang yang tinggal di sekitar situ mulai keluar rumah
untuk melihat apa yang terjadi. Aku berteriak semampuku untuk menarik perhatian
mereka, “kecelakaan.. kecelakaan.. orang di tengah jalan ketabrak.” Truk itu
terus melaju, kabur. Aku terjerembab di samping motorku. Lelaki itu tengkurap
dengan wajah miring menatapku. Wajah berlumuran darah dengan mata melotot. Aku
muntah lagi.
Aku tiba-tiba tersadar jika aku tetap disini urusan akan panjang. Jiwa
pengecutku atau entah dorongan untuk melepaskan diri dari hal-hal yang tidak
mengenakkan mendorongku untuk segera pergi. Sebelum terlalu banyak orang datang
aku menekan starter motorku dan pergi pulang. Aku tidak peduli lagi. Biarkan
orang-orang itu saja yang menolongnya. Untung aku tidak dikejar orang-orang
yang mungkin menganggapku bertanggung jawab atas kejadian itu. Orang-orang itu memang
tidak mengejarku dan aku merasa aman, tapi rupanya aku keliru.
keesokan harinya aku mendengar kabar dari penjual sayur keliling bahwa
telah terjadi kecelakaan di tikungan gudang cengkeh yang menewaskan dua orang.
Seorang pengendara sepeda motor mabuk yang masuk parit dan seorang bapak tua,
warga sekitar situ, yang menyeberang jalan sepulang dari warung kopi. Jantungku
langsung berdebar-debar mendengar hal itu. Bayangan kejadian semalan melintas
di kepalaku lagi. Tapi aku tidak ingin kejadian itu terus menghantuiku, aku
ingin segera melupakannya.
Siang itu aku menghabiskan waktuku bekerja di kantor. Aku pegawai baru
sebuah bank swasta di kotaku. Sibuknya bekerja membuatku lupa akan kejadian
kemarin malam tapi sialnya karena lembur maka aku harus pulang lebih larut
malam itu. Aku maklum sebagai karyawan baru dan tepat di akhir
bulan seperti ini tenagaku sangat dibutuhkan di kantor. Akhirnya waktu pulang
pun tiba. Arlojiku menunjukkan pukul 10.15 malam. Hawa dingin karena gerimis
malam itu cukup membuatku menggigil. Setelah memakai jaket kulit
dan bertukar sapa dengan teman kantor aku memacu sepeda motorku.
Jalanan yang kulewati sebenarnya adalah jalan provinsi, tetapi karena ini
kota kecil maka pukul 10 malam suasana sudah sepi ditambah gerimis sejak
maghrib yang tak kunjung reda. Aku tidak memakai mantelku karena kurasa gerimis
tidak terlalu deras tapi setelah sekitar sepuluh menit berkendara aku merasa
kedinginan. Aku menghentikan laju sepeda motorku dan membuka jok untuk
mengambil mantel. Kaca mataku yang terkena air hujan cukup mengganggu pandanganku
sehingga aku tidak begitu fokus ketika mengambil mantel. Kuraih mantel yang ada
di dalam jok akan tetapi aku kesulitan untuk mengambilnya. Aku rasa mantelku
menyangkut sesuatu di sana tapi apa. Aku terus berusaha menariknya keluar tapi
tidak berhasil. Aku lepas kaca mataku lalu ku ambil sapu tangan untuk
menggosoknya, setelah air yang menutupi kacaku hilang kupakai lagi kaca mata
itu. Kini pandanganku di jok lebih jelas. Mantel hitamku ada di situ. Ku tarik
lagi mantel itu tapi tetap tidak bisa lalu aku membuka lipatan mantel untuk
melihat mengapa mantelnya tidak bisa dikeluarkan. “Haaaa,” sesuatu terdengar di
telingaku. Seperti bisikan, “Whaaa whaaa.” Aku celingukan melihat ke kanan dan
ke kiri lalu kebelakang, tidak ada apa-apa. Jantungku mulai memompa lebih
keras, degupnya mulai tidak teratur. Angin malam tiba-tiba berhembus lebih
kencang membangkitkan bulu kudukku. Tatapanku kembali ke dalam jok, lalu
kutarik sedikit lebih keras mantelku. Berhasil. Tapi bukan hanya mantel yang
berhasil kutarik keluar, sebuah benda bulat ikut terlempar keatas mengarah ke
wajahku. Aku menangkapnya dengan tanganku yang juga memegang mantel. Astaga, “Tidaaak…,”
teriakku. Benda bulat itu adalah kepala berlumuran darah dengan mata yang
melotot. Mulutnya membuka dan memuntahkan cairan merah ke jaketku. Jemariku
terbenam ke pangkal leher yang putus dan basah itu. Lengket dan aroma anyir
darah menyergap hidung. Aku menjerit ketakutan sambil melempar mantel dan
kepala itu. Tubuhku limbung dan akhirnya jatuh terduduk di rerumputan pinggir jalan. Benda bulat
itu tergeletak di dekat kakiku, aku menendang-nendang benda mengerikan itu. Tapi
itu bukan kepala menyeramkan seperti tadi, itu hanyalah bola plastik kecil
berisi pasir yang biasa dipakai adikku untuk berlatih tolak peluru. Segera saja
aku bangkit dan memakai mantelku lalu meninggalkan tempat itu.
Aku terkesiap setelah menyadari bahwa beberapa ratus meter di depanku
adalah tikungan maut. Tapi kali ini aku melihat lampu penerangan jalan menyala.
Aku bersyukur dalam hati. Aku menjadi begitu paranoid semenjak kejadian
kemarin. Tikungan itu aku lewati tanpa ada sesuatu yang aneh. Kuhela nafas
panjang karena aku lega kejadian tadi hanyalah imajinasiku yang terlalu
berlebihan. Tiga detik setelah melewati tikungan tiba-tiba sudut mataku menangkap
sesuatu dari spion kanan. Lampu penerangan di atas tikungan itu padam.
“Astagfirullahaladzim,” kataku dengan gugup. Aku melihat lurus kedepan saja,
aku tidak mau melihat spionku lagi. ‘Kreek’ sepeda motorku melindas sesuatu mau
tak mau aku melihat ke belakang, sebuah kaki remuk terserak di jalan. Suasana yang dingin sudah tak kurasakan lagi.
Panas, gerah dan takut yang amat sangat membuatku gila. Tak hanya itu, detik
berikutnya lampu depan sepeda motorku mati. Aku tidak peduli, aku terus memacu sepeda motorku sambil menggigil hebat.
Kos ku hanya berjarak 10 menit dari tempat itu tapi bagiku perjalanan ini bagaikan setahun. Aku hanya
mengandalkan penerangan dari depan rumah warga dan kendaraan lain yang mungkin
lewat. Ya kendaraan lain, kemana mereka? Belum ku jumpai satupun sampai
akhirnya aku tiba di kosanku.
Nafasku memburu, keringat dingin mengucur deras di wajah dan tubuhku. Tanpa melepas
mantel terlebih dahulu langsung ku aduk-aduk isi tas untuk mencari kunci pintu
kamar kos ku. Entahlah, semua terasa begitu aneh seolah-olah malam, pepohonan,
udara dan keadaan berkonspirasi untuk menakutiku. Kamar kos sebelah juga tampak
lengang tak berpenghuni hanya bayangan daun pohon mangga yang yang berayun-ayun
membayang di daun pintunya seperti bayangan hantu yang datang mendekatiku.
Sial, kunci kamarku tak kunjung ku temukan. Lalu aku
ingat kalau aku terkadang memasukkan kunci pintu
di dalam jok motor. “Jok?” batinku. Mau tak mau aku teringat kejadian 5 menit yang lalu. Jika tadi ada
sebuah kepala di dalamnya maka tidak mungkin sekarangpun akan ada lagi.
“Tidak, aku tidak boleh takut,” kataku menenangkan diri sendiri. Aku harus
membuka jokku dan mengambil kunci itu. Tanpa pikir panjang lagi aku membuka
jok, menatap mantap pada lubang hitam yang diterangi lampu teras dari ujung kamar temanku. Kosong. Tak ada kunci pintu. “Ya
Tuhan.. kunciku pasti terjatuh waktu aku mengeluarkan mantel tadi. Masa aku
harus kembali ke tempat itu lagi?” aku merutuki nasibku malam itu. Sewaktu aku
menutup jok motorku di depanku telah berdiri sesosok gelap menatapku. Aku terlonjak
kaget dan berteriak, “whoooa”. Aku memalingkan wajah dan hendak berlari lalu
makhluk itu bersuara, “Nak Dimas, hei ada apa? Ini Bapak.” Aku berhenti dan
pelan-pelan memutar tubuhku, di sana ku dapati Pak Mail, bapak kos ku, berdiri
keheranan. “Ada apa kok teriak ketakutan seperti itu?” tanya pak Mail ingin tahu. “Ahh.. tidak
pak Cuma kaget saja, maaf. Anu pak, kunci pintu saya hilang.” “Makanya jangan
ceroboh dong, ini tadi ibu melihat kunci kamarmu masih menggantung di pintu.
Nak Dimas pasti lupa mengambilnya. Untung ibu pas lewat dan melihatnya tadi.
Kok pulangnya malam sekali?” “Untunglah pak, saya kira jatuh dimana gitu. Iya malam
ini lembur tutup buku dan rapat.” Pak Mail menyerahkan kunci kamarku lalu kembali
kerumahnya yang terletak di samping tempat kos.
Kedatangan pak Mail tadi cukup memberiku energi positif. Ketakutan yang
tadinya menghantuiku sedikit menguap. Tapi suasana hening yang kurasakan menyulut
kembali perasaan itu. Aku malas mandi
malam itu, selain karena kamar mandinya berada di belakang kamar kos, udara
dingin kembali aku rasakan. Aku tidak mau ke belakang rumah sendirian apalagi
setelah kejadian mengerikan tadi. Aku hendak
merebahkan tubuhku yang letih dan syarafku yang kaku ke tempat tidur saat aku
melihat sesuatu tergeletak di tengah kasur. Ada cuilan benda berwarna hitam. Aku
memungutnya, mendekatkan ke wajah. Astaga benda yang kupegang itu tak lain
adalah sebongkah kecil aspal yang terkelupas. Aspal itu lengket oleh cairan
merah kehitaman. Aku melemparkan aspal berdarah itu lalu menggosok-gosokkan jariku ke celana. Lampu teras
tiba-tiba padam, korden tertiup kesamping. Dari tempatku berdiri kaku kulihat
sepotong tubuh tanpa kaki dengan kepala patah miring merangkak di halaman. Makhluk
itu menyeret tubuhnya yang berantakan dengan kedua lengannya yang kurus dan
hitam. Makhluk itu
beringsut-ingsut dari jalan raya melewati halaman berpaving dan terus bergerak
pelan ke pintu kamarku. Ketakutan telah melumpuhkanku. Pintu kamarku diketuk. Aku
tak bisa bersuara, aku terduduk di ranjang menantikan kepala setengah hancur
itu melongok dari balik pintu. Benar saja, kepala itu muncul menyeringai dan
matanya melotot. Aku sudah tak begitu ingat lagi apa yang terjadi kemudian. Di tengah
semakin melemahnya kesadaranku sayup-sayup ku dengar suara serak itu. “Kenapa kau
tak menolongku? Kenapa? Aku akan terus mengikutimu.” Lalu suara tangis aneh. Aku
tak sadarkan diri.
Adzan Subuh masih baru mulai berkumandang. Pak Mail berdiri di samping
tempat tidurku, membangunkanku. Beliau bertanya, “Nak, kok pintunya tidak
ditutup? Bapak kira kamu sudah bangun tapi waktu bapak coba panggil untuk bapak
ajak ke Mushola, nak Dimas tidak menjawab jadi bapak coba tengok. Bapak kaget
waktu melihat Nak Dimas tergeletak di kasur. Bapak berfikir nak Dimas
kenapa-kenapa.” Lalu aku duduk dan menceritakan kejadian dua hari ini. Kejadiaan
saat aku melihat kecelakaan dan kejadiaan tadi malam yang sampai
membuatku tak sadarkan diri. Pak Mail mengucap Istiqfar lalu menyuruhku segera
bersuci dan mengajakku ke Mushola. Di sana Pak Mail menyarankanku untuk datang
ke makam korban kecelakaan itu dan turut mendoakannya. Pak Mail berkata bahwa
bukan korban itu yang menghantuiku, itu hanya makhluk jahat yang mungkin ada di
sekitar lokasi dan tidak suka padaku.
Aku menuruti saran pak Mail. Siang itu aku datang ke sekitar lokasi
kejadian dan mencari tahu siapa nama bapak yang menjadi korban kecelakaan dua
hari yang lalu. Seorang warga memberi tahuku bahwa namanya adalah Pak Suro. Aku
juga datang ke makamnya dan mendoakan arwah beliau. Tak lupa aku meminta maaf
atas ketidak sigapanku untuk menolongnya. Saat aku berdoa di makam itu,
rerimbunan pohon bambu dibelakangku berkeriat-keriut lalu suara tawa cekikikan
terdengar diantara ributnya angin dan batang pohon. “Hihi
hihi hih hik….”
Aku segera pergi dari makam itu. Perasaan lega karena
telah meminta maaf di makam Pak Suro membuatku lebih baik. Aku percaya aku akan baik-baik saja setelah hari ini.
Semuanya terbukti benar. Tak ada lagi yang menggangguku. Hingga tujuh hari dari
kejadian maut malam itu aku hidup dengan damai. Hanya saja, setelah tujuh hari kecelakaan
di tikungan gudang cengkeh itu, ketika aku pulang kerja lebih larut aku sering
melihat sesosok laki-laki berambut gimbal berdiri di atas parit di samping
tembok gudang cengkeh. Matanya merah menatapku melewati
tikungan itu.
by sup
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan dan kesediaannya membaca posting dari blog sederhana ini. Apresiasi anda akan menjadi kesan yang lebih mendalam bagi admin dan pembaca yang lain jika anda berkenan menuliskan komentar atau pertanyaan anda di kolom comment ini. <3 :)