“Tuhanku ... Aku berdoa kepadamu,
berikan beberapa awan di langit sana saat ini", inilah doa yang Malik
selalu panjatkan setiap hari, tepat sebelum dia mengayuh sepeda Phoenix nya ke sekolah. Tiap kali menatap
sepeda itu, dia teringat ketika di kelas enam SD dulu dia mendapat beasiswa dan
menunjukkannya kepada ibunya, ibunya berteriak:
"Kamu akan punya sepeda baru anakku!!
Sebuah Phoenix, RRT, Made In China!! Emmuach! Kau benar-benar
anakku yang paling tampan .... ".!
Dan sejak saat itu, Malik mengendarai
sepeda itu setiap hari ke sekolah, dengan kebanggaan yang terpancar di wajahnya, selama
tiga tahun di SMP, sampai sekarang, di kelas satu SMA. Tapi rasa bangga itu tak
lagi ada di wajahnya.
Malik mendongak ke langit, menunggu awan
menutupi matahari. Ini Agustus, bulan ketika matahari menunjukkan panasnya yang
terkuat, dan kulit gelap Malik telah benar-benar membuatnya kesulitan untuk
menikmati sinar matahari. Di depan ‘Balai Desa Tumpuk Selip’, di kilometer 2
dari rumahnya, dahi Malik telah basah oleh keringat, "Tuhan, kenapa kau
tidak menjawab doaku?" Malik mengeluh, "Apakah sulit bagimu untuk
mengirim sedikit awan untuk menutupi mataharimu yang begitu terik ini? Apakah ini
sama sulitnya bagimu untuk membuat orang tuaku mampu membelikanku sebuah sepeda
motor?" keluhannya terucap begitu saja dari bibirnya lalu pikirannya kembali
ke kejadian di dapur pagi ini.
"Ibu .." Malik memanggil
ibunya dengan nada merajuk. "Hmmm ..." sang ibu menjawab tanpa
menoleh ataupun menghentikan tangannya yang sedang mengulek cabai di periuk. "Ibu
tahu kan, Pak Jemiran baru saja membeli sepeda motor baru untuk anaknya, F 1
ZR, bu! Itu merek baru, dari dealer .. Warnanya merah dan hitam, bagus sekali
.. Anton jadi kelihatan lebih gagah ketika naik itu .. mmm, bu .. Saya ...""Cukup
lee!" Ibu seketika menghentikan kegiatannya mengulek cabe. "Jangan
manja! Apa kamu kira ibumu ini seperti Pak Juri? Kaya, makmur sewaktu-waktu ingin
sesuatu langsung membuka lemari dan mengambil uang sebanyak yang diinginkannya?
Ibumu ini bukan orang seperti itu! Kita bukan orang kaya, Le! Bapak ibu mu ini
sudah berusaha, kita sudah lakukan apa saja untuk merubah nasib kita dari
kemiskinan ini, tapi dasarnya saja kita ini dilahirkan dari tulangnya orang
miskin! Tak mengertikah kau itu?" Ibu berbicara begitu keras dan
emosional, setiap kata yang keluar dari mulutnya berasal dari dalam hatinya,
menunjukkan kekecewaannya terhadap kondisi yang mereka miliki. Hati Malik pedih,
hancur.
"Dhiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin .......
Wheeerrrrr .. wheeeerrrrr ... "bunyi klakson dan mesin dari sepeda motor
membangunkannya dari lamunan. "Hei, jangan lupa cuci muka sebelum naik Phoenix tuamu itu!! Kulit hitam ...!"
Anton mengejek ketika dia mendahului Malik, naik sepeda motor barunya dengan
pongah. Malik tidak menanggapinya, perhatiannya tertuju kepada makhluk indah
yang sedang duduk di jok belakang sepeda motor Anton. Ayu, itulah nama makhluk cantik
itu. Gadis berusia 16 tahun yang cantik dan manis itu adalah tetangga Malik
yang selalu dia puja sejak di sekolah dasar. Rambutnya yang hitam, lurus
mengkilap berkibar indah, dia menoleh ke Malik dan tersenyum. Senyum manis,
tapi untuk Malik itu terasa seperti racun. Malik menjerit dalam hatinya:"TUHAN
BERI AKU SEPEDA MOTOR.. YA TUHAN!! "
Pada kilometer kelima belas, Malik telah
melihat gerbang sekolahnya. Tapi dia terkejut ketika ia melihat gerbang itu telah
ditutup. Dia bisa melihat beberapa siswa berdiri berbaris, mengangkat kepala
mereka memandang bendera dengan khidmad. Pak Mukasil sedang berjalan di sekitar
mereka, menunjuk hidung mereka, kemarahan jelas terpampang di wajahnya "Killer".
Menyadari bahwa dia dalam kesulitan, Malik serta merta membalik sepedanya untuk
melarikan diri, tapi terlambat. Pak Mukasil meraung, mengejar Malik seperti
singa kelaparan menangkap mangsanya. "Mau pergi kemana kau, tampan?" Pak
Mukasil menggelandang telinga Malik, dan membawanya ke bawah tiang bendera,
berkumpul bersama para tawanan lainnya.
"Tuhan, tidak cukup ini bagimu? Kapan
Engkau akan berhenti memberiku penderitaan? " Malik mengeluh dalam
hatinya, lagi. "Apakah kamu ingin tahu apa hukumanmu, tampan?” tanya
pak Mukasil. Malik diam seribu bahasa. "Angkat sepeda tuamu
ini! Taruh di bahumu, lalu kelilingi halaman ini tiga kali! Cepaaaaat!" Wajah
Malik berubah menjadi merah. Dia akan mengeluh kepada Tuhan lagi ketika
tiba-tiba awan menutupi matahari, angin lembut meniup wajahnya memberikan
perasaan dingin keseluruh tubuhnya. Dia memandang lama sepeda Phoenix nya. Bayangan tentang Anton dan F1ZR
nya tiba-tiba menari-nari dalam pikirannya. Tiba-tiba, dia tersenyum dan
berkata pelan, “Alhamdulillah...." "Kenapa kau senyum-senyum?"
bentak Pak Mukasil. "Tidak Pak, itu hanya .... Alhamdulillah ..
"Malik mengangkat sepedanya dan mulai membawa phoenixnya mengelilingi
halaman sekolah. Dia menahan tawanya mendengar Anton merengek-rengek.
By
Imam Malik
Translated
and edited by Supra D’Ocean
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan dan kesediaannya membaca posting dari blog sederhana ini. Apresiasi anda akan menjadi kesan yang lebih mendalam bagi admin dan pembaca yang lain jika anda berkenan menuliskan komentar atau pertanyaan anda di kolom comment ini. <3 :)