Aku menertawakan cinta bukan karena dia lucu, tapi
betapa cinta mampu menertawakan kita. Manusia yang terkena panah asmara hingga
cinta berkobar di dadanya mampu berbuat apa saja. Menjadi pemberani, menjadi
pemberontak, menjadi ceria, menjadi gila, menjadi hidup, menjadi mati ataupun
menjadi konyol. Dan apa yang dilakukan cinta saat sang korban bergulung-gulung
dalam kenikmatannya, lari pontang-panting mengejar cintanya atau duduk terpekur
dalam tangis meratap akan nafas cintanya? TERTAWA. Apalagi? Kau pikir dia akan
sedih atau bergembira menari-nari? Tidak, dia hanya tertawa saja. Dari pada
cinta saja yang menertawakan kita, izinkan aku untuk menertawakan cinta juga.
Mungkin lebih tepatnya si Cupid, dewa asmara. Tawaku mungkin tawa sinis.
Biarlah. Kau yang bahagia karena cinta, berbahagialah. Kau yang menderita
karena cinta, tertawalah bersamaku. Tapi jangan sangka aku juga sedang merana
sepertimu. Aku menertawakan Cupid dan panah cintanya karena dirinya sendiri
diciptakan buta dan tanpa kekasih. Saat dia mencoba memanah jantungnya agar
cinta datang padanya, matilah dia. Tapi aku juga tidak yakin apa yang dirasakannya
selama ini. Mungkinkah dia kesepian, atau mungkinkah dia bahagia karena melihat
manusia bercinta. Tapi yang pasti dia juga sedih karena ada begitu banyak cinta
yang kandas. Yang tak aku harapkan hanya satu. Cupid adalah dewa tanpa
perasaan. Tapi mungkin saja kan… lalu yang berikut ini adalah cinta yang
seperti apa. Cupid kah yang membuat cinta segi tiga, segi empat dan cinta
terlarang? Lalu seseorang berkata, “cinta itu hanya hati saja yang bisa
merasakan. Cinta itu buta. Cinta itu anugerah. Dan lain-lainnya.” Tak ada yang
salah, siapapun berhak memaknai cinta mereka sendiri-sendiri tapi jangan sok
tau dengan cinta orang lain.
Halooo….? Siapa Cupid? Siapa dewa cinta? Ada berapa Cupid?
Jangan memikirkannya terlalu dalam. Aku tahu di agamaku tidak ada dewa dan aku
tak tahu kamu percaya akan dia atau tidak. Sebenarnya aku hanya ingin tertawa
saja. Aku heran, kenapa juga aku minta izin kalian untuk menertawakan cinta.
Sebelum aku meneruskan cerita ini, jawab dulu satu pertanyaanku. Jika kamu
menjawab iya, lanjutkanlah membaca. Jika tidak, aku tidak akan memaksa.
Apakah kamu mencintaiku?
Lalu aku tertawa berderai-derai menertawakan pikiranku
yang kacau. Baiklah aku mulai saja.
Cinta
pertama Intan datang saat dia duduk di kelas dua SMP. Saat itu dia merasakan
degup aneh di dadanya. Duduk di kelas yang sama dengan Satria, melihatnya
bercanda, tertawa dengan teman-temannya atau melirik dia saat serius belajar
adalah sebuah debar menyenangkan. Intan tidak tahu harus menyebut apa perasaan
itu. Dia hanya menikmati setiap saat menatap Satria bergerak memenuhi
relung-relung hatinya hanya karena kejadian-kejadian kecil di kelas atau di
sekolah.
Suatu
hari, Pak Sujito, guru Bahasa Inggris Intan meminta murid-muridnya untuk
membentuk kelompok. Setiap siswa bisa memilih kelompoknya sendiri asal tidak
lebih dari 4 orang. Intan bukan siswa yang akan bergerak cepat memilih teman
kelompoknya. Dia akan duduk dan ikut teman sebangkunya, Ambar, dimanapun dia
akan membentuk kelompok. Tapi tidak untuk hari itu. Ambar telah bergabung
dengan teman-teman yang lain dan tidak ada lagi kursi untuknya. Kelas hanya
menyisakan Intan dan Putri, siswa tanpa kelompok. Tanpa diduga-duga Pak Sujito
berkata, “Intan dan Putri silakan pilih untuk bergabung dengan kelompok Arga
atau Dewi. Tidak masalah ada dua kelompok dengan lima anggota.” “Arga atau
Dewi,” batin Intan. “Di kelompok Dewi sudah ada 4 siswa dan mereka adalah
siswa-siswa yang rajin dan pandai, pasti akan sangat menguntungkan jika
bergabung dengan mereka. Tapi di tempat lain, di kelompok Arga, ada Satria yang
sedang tersenyum manis sekali, betapa senangnya hati ini bila bisa menatap dia
dari dekat,” Intan berkata pada dirinya sendiri dalam diam. “Mana yang harus ku
pilih? Kelompok Dewi yang pandai atau dekat Satria yang membuatku
berdebar-debar. Aku mungkin akan mendapat nilai bagus jika bekerja kelompok
dengan Dewi, Sinta, Ardi dan Joni tapi ini kan kesempatan langka bisa duduk
dengan Satria yang mungkin hanya sepersekian ratus bisa terjadi lagi,” batin
Intan terus menimbang. “Baiklah aku memilih Satria saja.” Tapi Putri telah
duduk diantara Rani dan Satria. Terlambat. Intan tidak sedih akan hal itu, dia
hanya tersenyum, menertawakan pikirannya yang konyol beberapa waktu yang lalu.
Perasaan
itu tidak berkurang sedikitpun, Intan hanya butuh melihat dan ada di sekitar orang
yang dia sukai untuk membuatnya bahagia. Perasaan yang begitu sederhana untuk
seorang gadis remaja. Hingga akhirnya, dekat saja tidak cukup untuk Intan.
Hingga dekat saja mampu membuat matanya kabur akan tangis. Saat itu adalah saat
mereka kelas 3 dan Satria telah mempunyai Dini sebagai orang yang mampu
membuatnya bahagia. Kata olok-olokan teman, mereka resmi pacaran.
Mungkin
Cupid memanah jantung Intan dengan mata panah dari jantung Satria tapi Cupid
tidak memanah Satria dengan anak panah dari jantungnya. Panah Dini telah
menancap di dada Satria dan Cupid memanah Dini juga, meninggalkan Intan dengan
segunung perasaan getir. Getir adalah kata yang tepat untuk 1 ton cemburu yang
diredam dengan sepotong senyum penghibur lara. Intan menghabiskan satu tahun
terakhirnya di bangku lanjutan pertama itu dengan segunung kegetiran dalam
hatinya.
Hingga
kelulusan sekolah tiba Intan masih menyimpan rasa itu sendiri. Dia mungkin
tidak berharap banyak tapi apa daya ketika senyum dan tawa Satria masih tetap
membuatnya bergetar. Bukankah dari awal memang hanya itu saja yang membuat
Intan bahagia. Dia menolak mengatakan dirinya jatuh cinta waktu itu. Tuhan
mungkin sedang menggodanya, melihat namanya ada di bawah peringkat kelulusan
Satria benar-benar membuat Intan meledak dalam kesenangan aneh. Satria nomor 10
dan dia berada di peringkat 11 sekolah. Meninggalkan Dini di nomor 20 adalah
anugerah yang pantas dia dapat karena telah begitu sabar menghadapi semua perasaan
tak terungkapnya. Mungkin saja ini yang namanya pembalasan rasa akan
kekalahannya terhadap Dini. Dia puas dengan alasan yang tidak begitu jelas tapi
dia cukup senang. “Tan, kamu rangking 11, aku 1 poin di atasmu haha. Tapi
selamat ya. Kamu memang selalu dekat-dekat dengan rangking ku dari dulu,” tanpa
diduga Satria berkata seperti itu pada Intan. Dalam himpitan siswa yang saling
berjejal membaca pengumuman, Intan merasa tangannya diraih dan ditarik
seseorang. “Sudah lihatkan? Ayo minggir saja dari pada kegencet teman-teman,”
orang itu adalah Satria lagi. Apa ini? Kenapa Intan begitu senang. Karena
peringkat kelulusannya atau karena tiba-tiba Satria begitu dekat dengannya.
Intan hanya bilang, “Selamat Sat. Kita sudah lulus.” Kita? Kita? Kita ….. “Hai
Din, 20 besar gak buruk. Selamat ya kita lulus. Kita jadikan ke SMA 1?” suara
Satria memecah euphoria kurang ajar dalam pikiran intan. Dia mendengar kata ‘kita’
dari mulut Satria tapi itu bukan Satria dan Intan, itu Satria dan Dini. Intan
menjauh dan bergabung dengan teman-temannya yang lain. Dia tidak pantas
menangis cemburu melihat dan mendengar Satria membuat rencana masa depannya
dengan Dini. Hari ini terlalu berharga untuk sebuah pikiran yang bodoh apa lagi
menangis konyol. “SMA 1. Aku juga akan kesana.”
Waktu,
tempat dan orang bisa berubah dan pasti akan berubah tapi perasaan Intan
tentang sosok Satria belum juga berubah. Waktu telah membawanya setahun lebih
tua, dan tempat telah memisahkan jarak kursinya beberapa puluh meter dari
Satria. Selain itu, Novan juga telah menemaninya selama setahun belakangan. Novan
yang senyumnya tidak semanis senyum Satria, Novan yang sikapnya tak selembut
sikap Satria, Novan yang tak sepintar Satria. Tapi dia adalah Novan yang terus keras
kepala untuk mendekatinya meski Intan tak acuh padanya. Novan yang mengajak
Intan melihat dunia baru dan Novan yang akhirnya menjadi kekasih Intan tanpa
tahu bagaimanan sejatinya perasaan Intan padanya. Mungkin kali ini Cupid hanya
memanah jantung Novan. Cupid yang semakin lama semakin terbukti tak
berperasaan.
Dunia
ini adalah tempat dimana dunia-dunia lain berada. Di dunia ini ada dunia
percintaan yang begitu sulit dipahami. Di dunia ini juga ada dunia mistis yang
begitu misterius. Dan di dunia ini ada dunia Intan dan Novan serta dunia khayal
Intan dan Satria. Dunia Intan dan Novan adalah dunia cinta palsu yang
dipertahankan. Cinta palsu yang suatu saat mungkin juga akan berubah menjadi
cinta yang sebenarnya.
Novan
adalah lelaki yang sangat menyukai dunia tari Jaranan atau sering disebut Kuda
Lumping. Tari yang mempunyai aura mistis di tiap gerakannya dan
ritual-ritualnya. Entah bagaimana awalnya, Intan pun ikut serta di dalamnya. Dia
menjadi salah satu penari kuda lumping di ekskul sekolahnya. Intan tidak
menyadari bahwa keikut sertaanya di ekskul tari ini akan merubah sesuatu dalam
sejarah hidupnya. Dia selalu datang dan berlatih bersama Novan di sekolah. Novan
sendiri adalah sosok yang begitu serius di bidang ini. Novan adalah ketua kuda
lumping di sekolah mereka. Kecintaannya akan kuda lumping membawanya menjadi
penari yang handal yang mampu menebar pesona mistis pada para penontonnya, tak
terkecuali Dini. Dini sering mengajak Satria untuk bergabung dengan kelompok
tari ini tapi dia menolak. Satria hanya mengantar Dini melihat latihan tari
anak-anak ekskul kuda lumping. Di antara penari-penari itu ada Intan yang gerakannya
semakin hari semakin seperti penari yang kerasukan. Hingga suatu hari hal yang tak
terduga terjadi.
Hari itu
adalah Jumat sore. Anak-anak ekskul kuda lumping mulai berlatih pada pukul 3.
Novan, Intan dan yang lainnya telah bersiap untuk latihan sore itu. Sebuah lomba
Jaranan tingkat kabupaten akan diadakan bulan depan. Mereka akan tampil
mewakili sekolah mereka, unjuk kebolehan untuk suatu predikat grup Jaranan
terbaik tingkat kabupaten kota. Latihan telah berlangsung selama setengah jam
ketika Intan melihat Satria datang bergandengan tangan dengan Dini. Satria tampak
begitu bahagia, dia tertawa dan sesekali mengangguk-angguk. Dini juga tampak
bahagia. Dia tersenyum manis, tangannya menggenggam erat tangan kekasihnya.
Intan ingat bagaimana rasanya ketika setahun lalu Satria mengandeng tangannya
dan menariknya keluar dari kerumunan anak-anak SMP. Tangan yang hangat, tangan
yang mampu membuat Intan merinding tak mampu berkata-kata. Perasaan yang
terlalu berlebihan untuk sebuah sentuhan yang sangat singkat waktu itu. “Tan,
yang serius dong. Kok tiba-tiba gak konsen? Kamu capek ya?” pertanyaan Novan
membawanya kembali ke dunia nyata. “Eh.. eh.. enggak. Maaf ya. Cuma kepikiran
sesuatu saja.” “Kalau tidak enak badan bilang ya. Kamu bisa istirahat dulu hari
ini.” “Aku tidak apa-apa. Mari kita lanjutkan lagi,” Intan menenangkan Novan.
Intan
memang kembali menari tetapi sudut matanya tak pernah lepas dari Satria dan
Dini. Perasaan cemburu tiba-tiba muncul di hatinya. Kemarahan mulai menguasai
tiap gerakannya. Suara gamelan yang ditabuh untuk mengiringi tarian mereka
terasa menghentak-hentak di dalam kepala dan dadanya. Lalu kejadian itu membuat
kesadarannya hilang. Saat Dini memandang kearah lain, Satria meletakkan ujung
jarinya di dekat pipi Dini lalu dia memanggil gadis itu. Dini menoleh dan
telunjuk Satria menekan pipi Dini. Dini berteriak kecil lalu pura-pura marah
memukul-mukul tangan Satria. Lalu Satria merangkul Dini menenangkannya. Hal itu
seakan menyulut sumbu cemburu dan sakit hati di diri Intan. Perasaan sakit dan
marah yang mengiris-iris hatinya membuat matanya mendelik lalu hawa panas itu
merasuk lewat telinganya. Sesaat setelah itu dia telah menjerit, “Aaaaaa aaaa
arrgh… ha ha ha.” Intan kesurupan.
Intan
roboh di tanah berumput. Tangannya menegang, jari-jarinya melengkung seperti
cakar binatang buas. Matanya melotot dan dadanya naik turun seperti orang sesak
napas. Novan segera berlari menghampirinya. Baginya, hal seperti ini bukan hal
yang baru di kesenian tari kuda lumpingnya. Tetapi apa yang dialami intan
berbeda. Biasanya yang kerasukan saat menari akan tetap menari bahkan
gerakannya akan semakin menghebat, tapi tidak dengan Intan. Dia roboh dengan
kondisi yang memilukan. Dia seperti mau menangis tapi dia juga mengeluarkan
suara geraman orang yang marah. Suasana menjadi kacau. Satria kaget sekali
melihat Intan yang begitu berbeda. Dia memang tidak suka melihat teman
perempuannya itu ikut ekskul ini. Tapi demi Dini yang begitu tertarik dengan
tari Jaranan, dia rela menemaninya melihat latihan-latihan mereka. Dini
ketakutan. Dia mencengkeram lengan Satria.
Novan
dan guru tari mereka mencoba mengangkat Intan ke tempat yang lebih teduh tapi
Intan berontak. Kekuatannya seolah-olah telah bertambah berlipat-lipat. Mereka
tidak mampu mengangkat Intan. Satria dan Dini berjalan mendekat untuk melihat
keadaan Intan. Mereka berdua tampak tegang dan was-was. Melihat Intan yang
nafasnya semakin tersengal-sengal dan tangannya yang terentang kaku membuat
Satria khawatir akan keselamatan temannya itu. Lalu tiba-tiba intan
memandangnya. Lalu kearah Dini. Dini menjerit ketika matanya saling bertemu
dengan Intan. Tanpa diduga, Intan bangkit lalu menerjang kearah Dini. Satria menghalangi
dengan tubuhnya. Intan tetap menerjang, dia merangkul tubuh Satria dari depan
dan mencengkeram badan Dini yang berada di belakang. Satria yang berada
diantara dua gadis ini kebingungan. Dia memegang bahu Intan lalu
mengguncangnya, “Tan, Intan, sadar Tan. Sadar Tan. Kamu menakutiku. Kenapa Tan?
Jangan sakiti Dini.”
Dini
yang dicengkeram Intan dari balik tubuh Satria tiba-tiba lemas. Dia roboh. Matanya
melotot, tangannya terentang dengan jari-jari melengkung seperti cakar. Dini
kerasukan. Novan mendekati Dini. Dia memegang tangan Dini, meluruskannya dan
melemaskan jari-jari Dini yang melengkung. Dirapalnya mantra khusus untuk
mengusir setan yang merasuk ke dalam tubuh Dini, dibisikkannya mantra itu ke
telinga Dini lalu ditekan telapak tangannya. Novan melakukan gerakkan
seolah-olah menarik sesuatu dari tangan tersebut tapi lagi-lagi hal aneh
terjadi. Novan terlempar ke belakang, sebuah kekuatan yang tak terlihat
mendorong tubuh Novan menjauh dari Dini dan Intan.
Di samping
Dini, Satria masih dicengkeram oleh Intan. Tubuh kaku intan seolah-olah enggan
lepas dari tubuh Satria. Pemandangan itu sangat kontras dengan keadaan
sekitarnya jika dilihat dari jarak agak jauh. Orang-orang akan mengira bahwa
Intan sedang menangis dalam pelukan Satria. Tapi memang itulah yang terjadi saat
ini. Perlahan tubuh Intan melemas, dia melepas pelukannya pada Satria lalu dia
terduduk lemas. Satria merebahakan Intan ke tanah. Intan masih tak sadarkan
diri, matanya setengah terbuka setengah terpejam dan nafasnya kembali sesak. Paru-parunya
tampak kesulitan menyedot udara sehingga tiap kali dia menarik nafas dadanya
terangkat. Keadaan Dini tidak lebih baik, dia juga tampak sesak dan tubuhnya
mengejang. Satria benar-benar tak berdaya melihat kekasih dan temannya ini
tampak begitu menderita. Untungnya guru tari yang dibantu tetua desa yang
tinggal dekat sekolah akhirnya mampu menyadarkan mereka berdua.
Intan
dan Dini terbaring di ranjang UKS, mereka tertidur karena lemas. Satria dan
Novan duduk di samping ranjang mereka. Beberapa menit kemudian Intan siuman. “Tan,
bagaimana keadaanmu?” Novan bertanya sambil memegang tangan Intan. Intan tak
menjawab dan dia menarik tangannya dari
genggaman Novan. Intan membuang mukanya ke samping dan dilihatnya Satria
duduk disana membelakanginya. Intan menggerakkan tangan kirinya lalu menyentuh
punggung Satria. Dia menoleh, “Kamu sudah sadar Tan? Kamu sudah tidak
apa-apakan?” Sebuah senyum manis yang selalu Intan impikan sekarang ada di
depannya. Intan berkata dengan lemah, “Maafkan aku Sat, maafkan aku. Aku telah
menyakiti kamu dan Dini.” Kini air mata mulai merebak di matanya. Novan yang
merasa bingung dan tidak dipedulikan hanya diam memandang Intan dan Satria. “Ya
aku tahu Tan, kamu kan tadi tidak sadar. Tapi kenapa kamu bilang seperti ini?” “Aku
masih setengah sadar Sat. aku bisa mendengar kamu berteriak padaku tadi. Aku tidak
sanggup melihat kalian tadi. Maafkan aku.” Tangis Intan semakin menjadi-jadi. Novan
memegang bahu Intan, “Sudah Tan, mari aku antar kamu pulang saja.” “Tidak Van. Tidak,”
kata Intan. Satria yang tidak mengerti maksud perkataan Intan tadi kini
bertanya, “Apa maksudmu Tan? Kenapa kamu tidak sanggup melihatku? Kalau aku ada
salah tolong katakan padaku biar aku bisa meminta maaf kepadamu.” “Tidak Sat,
bukan aku tidak tahan melihatmu tapi aku tidak bisa melihat kamu dan Dini
begitu dekat, begitu bahagia. Maafkan aku Sat, aku memang tidak berhak berbuat
begini tapi aku menyukaimu sejak kita menjadi teman sekelas dahulu.” Satria
terkejut bukan main mendengar pengakuan Intan. Novan tak kalah terkejut. Dia merasa
tak mendapat tempat di hati Intan. Mungkin selama ini dia memang telah memaksa
Intan untuk menjadi kekasihnya tetapi kejadian ini juga memukul harga dirinya. “Tan
kamu.. kamu selama ini tidak menganggapku sebagai ..” kalimat Novan terpotong oleh
suara tangis Intan yang semakin keras. “Maafkan aku Van, aku tidak bisa,” suara
Intan terpotong-potong karena tangisnya mencoba menjawab pertanyaan Novan. Lalu
Satria berkata, “Tan, aku tidak pernah tahu kamu mempunyai perasaan seperti itu
kepadaku. Tapi aku sudah ada Dini dan kamu ada Novan. Ini semua tidak
benar-benar terjadi kan?” Novan berdiri dan berjalan keluar UKS. Dia merasa
seperti makhluk paling tak berguna saat itu. “Aku tahu Sat, tapi aku tidak bisa
membohongi perasaanku” kata Intan. “Coba aku tahu hal ini dari dulu, mungkin
kejadiannya tidak akan seperti ini. Mungkin aku bisa menjaga perasaanmu.” “Jadi
kamu memang tidak punya perasaan apa-apa kepadaku ya Sat?” kata Intan. Dia sudah
lupa akan perasaan malu atau apapun itu. Semua sudah terlanjur terjadi dan dia
ingin Satria tahu bagaimana perasaannya meskipun itu berarti melukai Novan
ataupun Dini. “Tan, aku.. aku selalu menganggapmu sebagai temanku yang pintar
dan manis,” kata Satria sambil menggenggam tangan Intan untuk menguatkan. “Kamu
cantik Tan, kenapa kamu harus selalu melihatku selama ini. Ada banyak cowok
yang baik dan menyukai kamu. Itu pasti. Bukan aku tidak menyukaimu Tan tapi
kamu tahukan hidupku yang sekarang bukan hanya milikku sendiri, sudah ada Dini
yang harus aku sayangi karena dia juga menyayangiku. Maafkan aku, Tan. Aku tidak
bisa.” “Iya sat.”
Air mata
baru meleleh panas di pipi Intan yang sudah basah. Dia melihat lagi punggung
Satria. Lelaki itu membantu Dini bangun. Lelaki yang dia sukai sejak tiga tahun
lalu itu berdiri menuntun kekasihnya keluar. Intan bangun dari tempat tidur
kecil itu. Disentuhnya dada dimana tempat jantungnya berdetak. Sambil meringis
kesakitan, digenggamnya erat-erat benda itu. Dengan sekuat tenaga dicabutnya
benda tersebut keluar dari jantungnya lalu dia lemparkan ke lantai. Anak panah Cupid
bermata hati itu kini perlahan-lahan hilang memudar dari pandangannya. “Aku
salah jika terus mencintaimu.”
Supra D’ocean (24 Pebruari 2013)